Saya ingin mengajak untuk melihat persoalan Papua sebagai problem historiografis—satu bidang yang selama ini sering diabaikan. Karena itu, tulisan ini tidak akan berceramah tentang proses “integrasi” Papua, melainkan melihat relasi antara sejarah penulisan Sejarah Nasional Indonesia dan persoalan Papua.
Terbentuknya Sejarah Nasional Indonesia
Sejarah Nasional Indonesia layaknya sebuah biografi. Ia menjelaskan asal-usul nasion Indonesia, berbagai tantangan yang dihadapinya, bagaimana berbagai tantangan itu diatasi dan bagaimana bangsa Indonesia seharusnya.
Serupa dengan ranji atau silsilah, sejarah nasional Indonesia memiliki fungsi genealogis. Ia menunjukkan asal-usul bangsa Indonesia yang legitimate. Yang jelas, murni, asli. Karena itu ia harus lahir tanpa campur tangan sesuatu yang asing. Ia harus lahir dari Indonesia yang asli. Indonesia pra-kolonial.
Dalam pidatonya, Indonesia Menggugat (1930), Sukarno membuat semacam alur sejarah Indonesia. “Masa lalu yang gemilang”, “masa kini yang suram”, dan “masa depan yang cerah”. Dalam “masa lalu yang gemilang” itu, nasion Indonesia sudah ada. Ia tidak muncul di “masa kini yang suram”, di saat Kolonial Belanda telah mengotori banyak hal. Sejarah bagi Sukarno adalah sesuatu yang eskatologis, dengan “masa depan yang cerah” sebagai semacam taman firdaus.
Setelah kemerdekaan, Indonesia memasuki “masa depan yang cerah”. Namun masih rumpang, belum rampung. Taman firdaus masih jauh. Di semenanjung Malaya dan sebagian Borneo, apa yang dianggap kekuatan imperialis masih mengancam. Bagian lain yang dirasa belum lengkap adalah Papua.
Dalam kondisi di atas, kebutuhan untuk menulis sejarah nasional Indonesia semakin dirasakan. Penulisan sejarah Indonesiasentris, sebagai pembalikan atas sejarah Eurosentris, yang mulai ditulis pada masa Jepang, dirasa belum cukup.
Perdebatan mengenai sejarah Indonesia seperti apa yang akan ditulis terjadi. Perdebatan utamanya adalah apakah nasionalisme harus menjadi panduan bagi penulisan sejarah nasional Indonesia. Dengan kata lain, apakah sejarah nasional dan nasionalisme harus sejalan.
Puncaknya adalah Kongres Sejarah di akhir 1957. Pada kongres itu M. Yamin memperjuangkan terintegrasinya nasionalisme dan penulisan sejarah. Ia kemudian mengajukan konsepsi Falsafah Sejarah Nasional Indonesia yang dinamainya Catursila Chalduniah. Dalam pandangan ini, nasionalisme, yang diasalkannya pada masa Sriwijaya-Majapahit, merupakan determinan utama dalam penulisan sejarah Indonesia.
Yamin menyatakan tujuannya dengan jelas. Dalam bagian awal kertas kerjanya, dia melatarbelakangi konsepsi sejarah nasionalnya sebagai bagian dari revolusi yang belum selesai dan kembali bergelora dengan munculnya tuntutan atas “Irian Barat wilayah kita”. Sebagian peserta kongres sepakat dengan Yamin.
Kecuali Soedjatmoko yang menolak konsepsi tersebut. Menurutnya, sejarah nasional Indonesia harus ditulis berdasarkan ilmu sejarah, terlepas dari determinan tertentu seperti nasionalisme. Dengan begitu, sejarah Indonesia akan menjadi bagian dari sejarah dunia tanpa kehilangan keunikan sejarahnya.
Namun pandangannya dianggap tidak relevan sebab dinilai terlalu universalis dan individualis, bertentangan dengan semangat Indonesia asli yaitu kolektivisme. (Dokumentasi kongres ini telah dibukukan dengan judul Laporan Seminar Sejarah 14-18 Desember 1957 (Ombak, 2018).
Dalam masa-masa yang sama, M. Ali juga mengritik pandangan Yamin. Ia melihatnya sebagai upaya absolut uniformity sejarah. Menurutnya sejarah nasionalisme yang diasalkan pada “masa lalu yang gemilang” tidak dapat dipakai sebagai representasi dari berbagai nasion serta sejarah yang spesifik di Indonesia. Bagaimana pun, Falsafah Sejarah Nasional Indonesia muncul sebagai pemenang. Karenanya, membicarakan sejarah nasional berarti membicarakan nasionalisme.
Papua dan ‘Takdir Bersama’
Penulisan Sejarah Nasional Indonesia baru terwujud pada masa Orde Baru. Kanon sejarah Indonesia, enam jilid Sejarah Nasional Indonesia (SNI) yang diterbitkan pada 1977, diproduksi di bawah kontrol rezim.
Dalam SNI, Orde Baru mengondisikan alur sejarah. Dari yang sebelumnya bersifat eskatologis, menjadi sesuatu yang teleologis. Dengan menempatkan Orde Baru sebagai periode sejarah mutakhir, Indonesia dibuat seolah telah sampai pada akhir sejarahnya.
Begini alur sejarah SNI. Setelah kolonialisme Belanda ditumbangkan, kemerdekaan Indonesia berhasil dicapai. Namun, Indonesia mengisi kemerdekaan dengan cara yang salah maka terjadilah kekacauan.
Puncaknya adalah peristiwa 30 September 1965. Papua tiba-tiba memperoleh kesadaran untuk secara suka ria berintegrasi dengan Indonesia. Suharto dan militer muncul sebagai pahlawan. Para pahlawan kemudian mengawal pembangunan yang berkesinambungan serta stabilitas permanen.
Alur teleologis itu, sebagaimana dilihat McVey (2011), bertujuan untuk mencangkokkan pemahaman akan suatu “takdir bersama”. Takdir bersama itu tak lain adalah Orde Baru sendiri. “Masa kini yang suram” telah dilalui, revolusi telah selesai. Orde Baru datang untuk memenuhi takdirnya sebagai “masa depan yang cerah”. Dengan kata lain, melalui penulisan sejarah, Orde Baru ingin mengatakan bahwa Indonesia memang sudah seharusnya seperti ini.
Akibatnya, kondisi-kondisi Indonesia pada masa itu, serta masa lalunya, tidak mungkin lagi dipertanyakan. Kasus Papua, Pembantaian 65, pendudukan Timor-timur, serta kasus lainnya, harus dilihat sebagai gejala sejarah yang normal saja.
Keyakinan akan “takdir bersama” ini lalu diedarkan lewat sekolah-sekolah, disebut di ceramah-ceramah resmi atau mau pun non-resmi. Ia menjadi demikian mapan, merasuk jauh ke dalam kesadaran orang Indonesia semasa rezim Orde Baru. Bahkan terus subur hingga hari ini.
Vido “bekraf” yang beredar tempo hari hanyalah salah satu contoh mutakhir untuk melihat bagaimana keyakinan akan “takdir bersama” bekerja. Kekerasan masa lalu, di sana hanyalah gejala sejarah biasa dalam perkembangan bangsa Indonesia. Peristiwa 1948, krisis 1950-an akhir, pembantaian 1965, kasus Aceh, sampai kekerasan 1998, dilihat sebatas gejala pubertas yang harus disikapi secara “dewasa”.
Akhir Sejarah Indonesia (?)
Dalam SNI, Papua bukan bagian utama dari “masa lalu yang gemilang” Indonesia. Karena itu, Papua tidak pernah dianggap sebagai bagian dari yang asli. Namun, dalam SNI wilayah Papua telah menjadi bagian dari Indonesia yang seharusnya. Itulah kenapa bagi sebagian orang Indonesia, seperti dilihat Made Supriatma, kehadiran manusia Papua diingkari tapi tanahnya dimaui mati-matian.
Bagi pendukung vidio “bekraf”, serta bagi orang Indonesia yang selalu merasa lebih tahu apa yang terbaik bagi Papua, Indonesia akan tetap seperti ini. Bagi mereka ini Indonesia sudah tidak bisa kemana-mana lagi. Alternatif telah lama ditutup. Inilah takdir bersama. Indonesia sudah sampai pada akhir sejarahnya.
Bagi kamu bagaimana?