Kamis, Maret 28, 2024

Oposisi Bungkam, Mahasiswa Melawan

Dhedi R Ghazali
Dhedi R Ghazali
Pecinta kopi, buku dan sastra. Penulis yang belum tenar.

Saat menulis opini ini, saya sedang mengingat kembali drama pemilu yang kembali mempertemukan Prabowo dan Jokowi. Sebuah pertarungan yang panas hingga membuat kalangan bawah terpecah menjadi dua kubu. Bahkan, muncul kata Cebong sebagai julukan bagi pendukung Jokowi dan Kampret bagi pendukung Prabowo.

Saya juga mengingat bagaimana kerusuhan yang pecah menjelang putusan Mahkamah Konstitusi yang menimbulkan korban jiwa. Namun, secepat kilat  ingatan itu menghilang. Saya justru tertarik untuk kembali mengingat drama rekonsiliasi yang saat itu dianggap menjadi sebuah win win solution untuk mengakhiri perpecahan antara pendukung dua kubu.

Drama itu mencapai antiklimaks ketika Prabowo dan Jokowi bertemu di Moda Raya Terpadu (MRT). Banyak pengamat yang mengatakan bahwa pertemuan itu menjadi sejarah penting, tapi bagi saya, pertemuan itu justru menjadi alarm bagi demokrasi yang mulai berjalan tidak sehat.

Pasca rekonsiliasi, kekuatan oposisi menjadi hancur lebur. Gerindra, PKS dan PAN sebagai partai politik yang seiring sejalan mulai kembali menari jalan masing-masing. Ketiga partai itu nyaris tidak lagi terlihat garang dan berisik kepada pemerintahan seperti saat pemilu berlangsung. Fakta ini semakin kentara menjelang pelantikan Jokowi sebagai Presiden periode 2019-2024.

Oposisi Bungkam, Mahasiwa Melawan

Menjelang pelantikan Jokowi sebagai Presiden periode 2019-2024, berbagai masalah datang menghampiri bangsa ini. Mulai dari konflik di Papua, bencana asap dan demo besar-besaran dari mahasiswa. Demo yang dilakukan mahasiswa sendiri cukup membuat masyarakat terkejut. Pasalnya sejak Jokowi mejabat sebagai Presiden 2014-2019, baru kali ini mahasiswa melakukan demo besar-besaran hingga menimbulkan kerusuhan.

Demo yang dilakukan oleh mahasiswa sendiri bermula ketika RUU KPK muncul ke permukaan sampai pada akhirnya disahkan. Fenomena yang cukup mengejutkan adalah jika selama ini PKS, Gerindra dan PAN getol mengkritik pemerintahan Jokowi terkait pemberantasan korupsi, justru kali ini DPR satu suara menyetujui RUU KPK. Hal yang sama juga terjadi dalam RUU KUHP.

Fadli Dzon tidak lagi terdengar berisiknya, begitu juga dengan Fahri Hamzah. Tidak ada suara penolakan pula dari anggota DPR dari kubu PKS dan PAN. Begitu juga soal konflik di Papua dan bencana asap. Ketiga partai itu, yang biasanya berisik setengah mati ketika pemerintah lamban dalam menangangi sebuah permasalahan, saat ini justru bungkam.

Padahal, posisi oposisi dalam alam demokrasi sangat penting sebagai Check and Balances di dalam lingkaran kekuasaan. Hilangnya Check and Balances memunculkan potensi kekuasaan yang bisa digunakan sewenang-wenang karena pemerintah tidak dikontrol. Mahasiswa akhirnya tersadar dari tidur panjangnya sebab tidak ada lagi kubu oposisi yang mengkritik kebijakan pmerintah.

Iklim demokrasi menjadi tidak sehat dan membuat gerah. Padahal, idealnya, pemerintah yang seharusnya mendorong agar ada partai politik yang mengambil peran sebagai oposisi. Mengapa begitu? Karena dalam negara demokratis berlaku paradigma absolutely power tend to corrupt. Kekuasaan yang mutlak cenderung korupsi.

Bungkamnya oposisi dan menyatunya suara di dalam DPR menjadi tanda bahwa ada yang tidak beres dengan demokrasi di negeri ini. Tanda itu pula yang akhirnya membuat alarm demokrasi yaitu mahasiswa, berbunyi keras. Mahasiswa turun ke jalan melakukan demonstrasi. Mereka mengambil peran oposisi sebagai check and balances. Namun sayangya, demonstrasi tersebut disikapi pemerintah dengan tindakan yang agresif.

Tidak cukup sampai di situ saja, pemerintah melalui Wiranto justru memperkeruh suasana dengan mengeluarkan statement yang serampangan dengan mengatakan bahwa demo mahasiswa ditunggangi kelompok radikal serta ada agenda untuk menggagalkan pelantikan Jokowi. Padahal, rekan-rekan mahasiswa mengusung tuntuntan yang jelas dan sama sekali tidak ada tuntutan untuk menggulingkan maupun menjegal pelantikan Jokowi.

Opisis harus tetap ada

Dalam konteks demokrasi, peran koalisi oposisi sangat di­perlukan mengingat demokrasi memerlukan fungsi check and balances yang pada esensinya justru melindungi kepentingan rakyat itu sendiri. Jika koalisi pemerintah dan koalisi oposisi sama kuatnya maka yang paling diuntungkan adalah rakyat. Koalisi pemerintahan yang terlalu “gemuk” justru akan mengurangi kualitas dari demokrasi di samping dalam perspektif politik praktis akan mengurangi kelincahan pe­me­rin­tah karena perlu meng­ako­mo­dasi banyak kepentingan.

Untuk menjaga agar iklim demokrasi tetap sehat serta agar setiap kebijakan-kebijakan pemerintah di periode berikutnya tetap terkontrol, sudah saatnya fungsi koalisi partai tidak hanya sebatas menyediakan kendaraan menjelang pemilu.

Memang menjadi oposisi tidak enak sebab bersebrangan dengan penguasa sehingga sulit untuk menjangkau sumber daya yang ada. Namun, jalan itu tetap harus ada yang menempuh demi tersalurnya aspirasi rakyat yang secara langsung terdampak atas kebijakan yang tidak berpihak kepada mereka. Dan tentu juga demi sehatnya alam demokrasi di bumi Pertiwi.

Dhedi R Ghazali
Dhedi R Ghazali
Pecinta kopi, buku dan sastra. Penulis yang belum tenar.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.