Jumat, Maret 29, 2024

Nasib, Sepatu, dan Doa

Rizal Syam
Rizal Syam
Jurnalis di media lokal Maluku Utara, Jalamalut.com.

Apakah sepatu bisa mengubah nasib manusia? Jika pertanyaan itu ditujukan kepada Cinderella, tentu saja jawabannya adalah ya!

Alas kaki milik Cinderella adalah jenis sepatu yang paling masyhur. Ia bukan terbuat dari kulit paling mahal atau bersol paling kuat. Saking terpesona dengan kisah romantis itu, kita bahkan tak bertanya ‘bagaimana bisa sepatu kaca itu tak pecah berserakan tatkala Cinderella berlarian meninggalkan istana?’

Tapi bukankah sepatu itu memang bukan sepatu biasa? Tak peduli ia terbuat dari bahan apa, yang jelas sepatu itu tercipta dari mantra seorang peri yang mengasihani nasib Cinderella. Hanya dengan mantra itu, sepatu tersebut menjadi istimewa, sekalipun ia misalnya terbuat dari karung goni atau high heels ala sosialita ibu-ibu pejabat.

Mantra dari sang perilah yang membuat sepatu itu hanya pas jika dikenakan oleh Cinderella. Sebelum kembali di kakinya, sepatu itu lebih dulu dicoba oleh ratusan gadis desa, pasalnya ada seorang pangeran yang sedang disiksa rasa penasaran.

Tapi yang membuat sepatu itu semakin istimewa adalah, ia mengubah jalan hidup Cinderella setelah sebelumnya ia ditinggalkan begitu saja di pelataran istana. Cinderella jelas tak mau ambil pusing dengan sepatunya. Persis seperti maling yang meninggalkan sendalnya karena ketahuan menggondol ponsel di sebuah rumah. Tentu bayangan tentang wajah yang penuh darah dan tulang rusuk yang patah lebih menyeramkan ketimbang kehilangan sebuah alas kaki.

Begitupun dengan Cinderella; rasa takut jika identitasnya terbuka lebih masuk akal dijadikan prioritas ketimbang berbalik dan bersusah-payah memungut sepatu.

Namun pada akhirnya kita semua tahu, sepatu yang ditinggal itu justru menjadi jejak, membuka jalan bagi kebahagiaan Cinderella. Ya, nasib memang kesunyian masing-masing, kata si Binatang Jalang.

Nasib dan sepatu kadangkala berkelindan bak kekuasaan dan kerakusan. Ada banyak pesepakbola yang hidupnya bergantung pada sepasang sepatu. Saya mengenal seorang pemain bola professional yang dulunya pernah berada pada persimpangan jalan takdir. Ia harus rela menjual seekor kambing untuk membeli sepasang sepatu bola. Kebetulan saat itu ia hendak mengikuti sebuah seleksi penting.

Kebahagiaan datang pada orang-orang yang punya tekad, kata para bijak; ia lolos seleksi dan kini hidupnya tak semelarat dulu.

Bong Joon-ho, sutradara asal Korea Selatan yang menggemparkan Festival Film Cannes 2019 lewat film berjudul Parasite pernah menggambarkan alegori tentang sepatu dengan begitu gamblang dalam film bertajuk Snowpiercer (2013). Ini adalah kisah tentang nasib manusia dalam sebuah kereta. Kereta yang berjalan tanpa henti menyusuri bukit-bukit es dampak dari kecerobohan penguasa.

Gerbong bagian belakang diperuntukan untuk mereka yang hanya bisa mendengar dan menganggukkan kepala atas perintah. Saban hari, yang mereka santap adalah protein hasil olahan kecoak. Berbagai revolusi yang dirancang hanya berujung pada kegagalan dan kematian. Musuh mereka adalah orang-orang yang hidup di gerbong bagian depan, yang mulut dan telunjukknya lebih banyak berfungsi ketimbang telinga. Berbanding terbalik dengan gerbong belakang, di depan segala jenis makanan tersedia lengkap.

“Ini bukanlah sepatu! Ini pembangkangan,” ucap Mason, seorang perwakilan dari gerbong depan.

Sepatu yang dipegang Mason tampak kotor di segala sisi, namun bukan itu yang membuatnya penting, melainkan tempat ia mendarat beberapa menit sebelumnya: dahi seorang petinggi yang berakibat darah bercucuran deras.

“Ini kekacauan berukuran 10,” lanjut Mason. Sementara ia berpidato, tak jauh dari sana si pemilik kekacauan itu tengah disiksa: tangannya dijulurkan ke luar sepur lewat sebuah lubang. Dingin yang ekstrim membuat lengannya mengeras bak batu. Satu hantaman palu membuat lengan itu jatuh berkeping-keping.

“Ini kematian,” kata Mason “Kita semua di dalam kereta kehidupan ini tetap berada di gerbong yang ditetapkan. Kita semua harus menaati takdir yang diberikan pada kita. Akulah topi, sementara kalian adalah sepatu.”

Secara jelas kita tahu bahwa Mason tidak sedang membicarakan sepatu. Ia tengah berbicara ihwal di mana ia berasal dan pada posisi mana ia berdiri, yang tentu saja lebih tinggi dari orang-orang di hadapannya. Bahwa ada tembok tebal bernama nasib yang memisahkan mereka. Mason sedang menegaskan persoalan kelas. Ia adalah wajah oligarki yang menyedot habis darah kelas terbawah.

“Akulah topi sementara kalian sepatu” adalah penegasan itu, dan seperti watak oligarki kebanyakan, para pekerja diminta untuk menerima nasib. Duduk sembari berdoa meminta keajaiban datang dari langit. Takdir kadangkala hanya menjadi alibi demi melanggengkan keadaan. Dan sudah barang tentu, ketika melakukan itu Mason sedang dikawal aparat bersenjata.

Sikap Mason seakan menyiratkan bahwa mereka yang berada di gerbong paling belakang tak lebih penting dari sepatu miliknya. Hal itu terlihat ketika ia menaruh sepatu itu di atas kepala pemiliknya yang sedang meronta akibat kehilang lengan.

Adegan itu mengingatkan saya pada kejadian yang menimpa George W Bush, presiden Amerika Serikat yang kelakuannya tak jauh berbeda dengan wajahnya; sama-sama bengis. 11 tahun lalu, dalam sebuah lawatannya ke Irak, Bush berbicara di depan awak media bersama Perdana Menteri Irak, Nouri Al-Maliki.

Di tengah pidato, tiba-tiba sepasang sepatu melayang ke arahnya. Bush mengelak cepat. Persis seperti ketika ia mengelak dari cibiran dunia karena kebijakannya terkait operasi militer di Irak. Pelakunya adalah Muntazer Al Zaidi, jurnalis Al-Baghdadia TV. Konon, dalam kebudayaan Irak, melempar dengan menggunakan alas kaki adalah sebuah kehinaan paling tinggi. Hanya kesakitan yang terlampau getir yang bisa membuat seseorang melayangkan sepatunya.

Snowpiercer tentu membawa dampak pada diri saya. Namun harus saya akui, film itu bukanlah satu-satunya. Ada sebuah film tentang bagaimana sepatu mengubah nasib anak manusia yang begitu terpatri di ingatan. Film itu berjudul Children of Heaven (1997). Jika Anda lahir pada dekade 90an tentu akan akrab dengan film asal Iran ini.

Alkisah, ada sepasang kakak-beradik yang menggantungkan cita-cita mereka pada sepasang sepatu busuk. Keduanya saban hari harus bergantian mengenakan sepatu itu untuk bersekolah. Jadi ketika sang adik pulang sekolah, ia telah ditunggu oleh kakaknya di sebuah gang. Sepatu yang semula dikenakan sang adik berpindah ke kaki kakaknya.

Untuk menggantikan sepatu adiknya yang hilang, sang kakak mengikuti sebuah perlombaan lari. Ia berhasil menyabet juara satu. Namun wajahnya murung, sebab yang ia incar justru posisi kedua, karena pada posisi itulah ia bisa memperoleh hadiah sepasang sepatu untuk adiknya. Apa yang melatarbelakangi itu semua? Tentu saja kemiskinan.

Lalu, apakah sepatu dapat mengubah nasib seseorang?

Cinderella, juga si pesepakbola kenalan saya, pemilik sepatu dalam film Snowpiercer, Muntazer Al Zaidi, dan kedua bocah dalam Children of Heaven tentu berbeda jalan hidup, juga berbeda dalam nasib. Namun Anda tentu sepakat jika mereka mempunyai kesamaan.

Sepatu, bagi mereka adalah perkakas terakhir dalam melindungi harga diri. Hanya sepatu yang mereka punya, maka dengan sepatulah mereka melawan –bukan topi atau mahkota. Dan bukan sebuah kebetulan jika posisi mereka tak jauh beda dengan perkakas itu: sama-sama berada paling bawah.

Kesamaan berikutnya adalah, mereka tak hanya mengandalkan doa. Bermunajat tentu saja perlu, namun itu dilakukan setelah ada tindakan. Sementara keikhlasan hanya bisa eksis tatkala tindakan sudah terjadi sebelumnya. Meminta orang ikhlas dan berdoa, tanpa ada satupun niat mengubah keadaan adalah sebuah hipokrisi yang bebal.

Jadi, apakah sepatu dapat mengubah nasib? Atau ijinkan saya sedikit mengubah pertanyaannya: Apakah sepatu dapat menentukan nasib seseorang, kendati sepatu itu kotor setelah menyusuri bekas kebakaran hutan?

Rizal Syam
Rizal Syam
Jurnalis di media lokal Maluku Utara, Jalamalut.com.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.