Kamis, Maret 28, 2024

Apa Asosiasi Nadiem dengan Dunia Pendidikan Kita?

Giri Lumakto
Giri Lumakto
Digital Ethicist, Educator | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital dan Teknologi | Alumni AAI STA Queensland Uni of Technology, 2019 | Awardee LPDP, 2016 | University of Wollongong, Australia | Mafindo Researcher | Kompasianer of The Year 2018 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | Email: lumakto.giri@gmail.com

Kita kini kaget dan bertanya-tanya. Saat Presiden Joko Widodo mengejawantahkan urusan pendidikan ke Nadiem Makarim di Kabinet Indonesia Maju. Sebagai mantan pendiri perusahaan penyedia layanan Gojek, ia tak ada sangkut pautnya dengan dunia pendidikan. Walau pernah mengenyam pendidikan di Harvard University, namun ia banyak berfokus pada bisnis.

Pengalaman membesarkan dan mengelola Gojek dan diversifikasi usahanya pun jauh dari kesan akademis. Jika banyak Mendikbud sebelumnya adalah akademisi dan peneliti. Penunjukkan Nadiem sebagai Mendikbud menjadi bisa jadi awan mendung untuk para penggelut pendidikan. Apalagi saat lembaga membawahi Riset kini dikembalikan ke dalam tubuh Kemendikbud.

Melihat rumit dan kompleksnya dunia pendidikan Indonesia. Lalu apa asosiasi Nadiem dengan dunia pendidikan di Indonesia? Dalam 5 tahun ke depan, gebrakan apa yang mungkin akan Nadiem lakukan?

Setidaknya ada asosiasi signifikan yang bisa kita amati. Nadiem yang sukses membesarkan startup seperti Gojek memiliki latar bisnis dan teknologi yang mumpuni. Maka ranah pendidikan vokasi atau dunia kerja begitu erat kaitannya dengan Nadiem. Dalam dunia pendidikan, VET (Vocational Education and Training) bukan ranah yang baru.

Pendidikan vokasi yang dicanangkan Nawacita dengan Program Revitalisasi Vokasi belum signifikan berkembang. Walau program tahun 2016 ini sudah dibawah lima kementrian yaitu Kemenperin, Kemendikbud, Kemenristekdikti, Kemenaker, dan Kemen-BUMN.

Pendidikan VET masih tergagap dan terseok dalam pengembangannya. Lulusan SMK masih banyak menganggur daripada lulusan SMA. Di awal tahun 2018 lalu, Mentri BPPN Bambang Brodjonegoro menyayangkan angka penggangguran dari SMK yang cukup tinggi.

Dengan data BPS menunjukkan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) SMK sebesar 11% di 2018. Persentase ini lebih tinggi dari SMA yang besarnya 7,95%. Ironisnya, jumlah SMK yang mencapai 14.000 dan masih terus ditambah. Belum mampu menjawab tantangan dunia kerja menurut Kemendikbud sebelumnya, Muhadjir Effendi.

Link and match antara SMK dan industri juga menjadi penyebab tertatihnya serapan tenaga kerja SMK. Walau menurut Kemenperin, ada lebih dari 4.000 perusahaan membuat MoU dengan SMK di tahun 2017.

Namun menurut Kemendikbud, banyak industri tidak akan menyerap 100% lulusan SMK. Hal ini karena dibutuhkan pre-service atau training lebih lanjut untuk lulusan SMK. Menteri BPPN waktu itu menekankan perlunya industri turut serta dari awal sampai akhir pendidikan vokasi di SMK. Dengan kata lain tidak menerima begitu saja tenaga kerja SMK di akhir pendidikan mereka.

Pendidikan vokasi telah menjadi fokus di Uni Eropa sejak 2005. Dengan peningkatan kerja tingkat lanjut vokasi (Continuing Vocational Training) cukup signifikan. CVT ini adalah upaya perusahaan melatih dan memberikan pelatihan lanjut bagi pekerjanya yang berbasis pendidikan VET.  Sebagai contoh signifikan, hampir semua perusahaan (90,4%) di Norwegia menyediakan CVT bagi pekerjanya. Di Australia sejak 2007 sampai 2016, para lulusan yang telah bekerja merasa puas (78%) atas skill vokasi yang mereka pelajari.

Nadiem pun dihadapkan pada peliknya latar profesi dan cita-cita Nawacita, yaitu revitalisasi pendidikan vokasi. Padahal, isu pendidikan Indonesia bukan hanya vokasi. Masih ada kesejahteraan guru honorer, infrastruktur dan akses pendidikan daerah 3T.

Kurikulum nasional yang masih begitu tentatif dan non-solutif. Belum lagi ditambah beban ranah penelitian dan pengembangan Indonesia yang begitu kompleks. Menjawab semua tantangan ini dengan kecakapan membesarkan perusahaan teknologi belum tentu menjawab tantangan tersebut.

Kemudian asosiasi lain berhubung dengan kecakapan digital Nadiem. Dengan pemikiran ala ’Silicon Valley’ yang diasah via pengembangan aplikasi dan layanan dalam Gojek. Teknologi menjadi fokus kedua penguatan pendidikan vokasi.

Menjawab disrupsi 4.0 dunia pendidikan, dibutuhkan mindset move fast and break stuff ala pembuat perusahaan rintisan. Nadiem baiknya bisa membawa angin segar dalam konstelasi birokratif yang dianggap konservatif dan formil. Apalagi, Nadiem termasuk menteri muda dalam jajaran Kabinet Indonesia Maju.

Kecakapan digital adalah solusi ironis pendidikan. Pada satu sisi, literasi digital mampu meningkatkan life skill peserta didik. Guru yang melek literasi digital dan mampu beradaptasi dengan tantangan digital.

Akan menjadi pendidik yang menjadi role model peserta didik atau siswanya. Namun di sisi lain, kecakapan ini justru mampu di asah di luar sekolah. Google memfasilitasi belajar generasi one-click saat ini. Satu generasi yang terbiasa mencari informasi, mempelajari kecakapan, dan bebas beropini cukup dengan menekan satu/dua klik.

Literasi digital bukan hal baru juga di Indonesia. Setidaknya beberapa tahun ke belakang, literasi digital menjadi buzzword. Namun, dengan kepemimpinan Menteri yang berasal dari baby boomers atau digital immigrant.

Ada kesungkanan dan pesimisme yang tersirat dari publik. Saat pendekatan konservatif pendidikan menjawab tantangan digital dengan memperkuat dan mengadaptasi program yang sudah ada. Nadiem menjadi sosok pembawa optimisme karena dia berasal dari digital natives. Dan tentunya, program di dunia industri yang tidak cukup hanya inovatif, namun disruptif dalam nuansa yang positif.

Menggabungkan wawasan dunia digital dengan pengalaman dunia industri digital menjadi keunggulan Nadiem. Publik pun optimis jika ada kemampuan vokasi yang tepat dengan tuntutan dunia kerja. Dengan dunia yang dikuasai vendor teknologi The Big Five (Alphabet, Apple, Amazon, Facebook, dan Microsoft). Nadiem sudah memiliki wawasan yang cukup tentang bagaimana menjawab dunia kerja dibawah kuasa The Big Five. Dalam hal ini, mengubah mindset, skill, dan tuntutan dunia kerja di era disrupsi ini.

Kedua paduan asosiasi ini menjadikan Nadiem, Mendikbud rasa digital natives. Nadiem sebagai generasi Millenials setidaknya paham kebutuhan digital natives ke depan. Tantangan digital natives tidak saja menghadapi persaingan dunia kerja lokal dan regional, tapi juga secara global.

Gig economy yang menjamin profesi yang bisa dilakukan di mana saja dan kapan saja belum ada disentuh dalam pendidikan kita. Ancaman digital workforce yang menggantikan pekerja analog pun tidak dapat dielakkan. Saat ini New Zealand sudah menguji coba dan mengembangkan guru berbasis AI untuk mengajarkan siswa SD.

Nadiem kini patut menjawab tantangan vokasi sekaligus tuntutan ekonomi digital di Indonesia. Ibarat peribahasa sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui. Nadiem memiliki daya dayung dua tiga pulau tersebut.

Namun tidak dengan perahu yang akan digunakan. Perahu ini adalah Kementerian lain yang berkolaborasi dalam mengembangkan pendidikan dari hulu ke hilir. Namun, membangun perahu bersama ini akan tersangkut dengan ego sektoral. Nadiem pun harus bisa menyatukan banyak ego membangun sekocinya sendiri dari tiap Kementrian. Akankah ia mampu?

Giri Lumakto
Giri Lumakto
Digital Ethicist, Educator | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital dan Teknologi | Alumni AAI STA Queensland Uni of Technology, 2019 | Awardee LPDP, 2016 | University of Wollongong, Australia | Mafindo Researcher | Kompasianer of The Year 2018 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | Email: lumakto.giri@gmail.com
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.