Jumat, April 19, 2024

Muhammadiyah dan Isu Radikalisme

Achmad Rofiki
Achmad Rofiki
Direktur KMI Daarul Ukhuwwah Malang

Pada 19 April 1995 bom seberat 2 ton meluluhlantakkan Gedung Federal Alfred P Murrah di Oklahoma City, Amerika Serikat. Kejadian itu terjadi lagi di Amerika saat gedung World Trade Center, New York City, Amerika runtuh pada tahun 2001. Negara adi daya sekelas Amerika masih juga kecolongan peristiwa besar yang mengakar kuat di benak masyarakat dunia. Kejadian dan aksi serta perang melawan terrorisme semakin luas pasca keruntuhan WTC di Amerika.

Radikalisme merajalela dan memunculkan radikalisme lainnya. Perang atas nama melawan terorisme terjadi di mana-mana hingga gerakan islamphobia muncul dan merenggut banyak nyawa kaum muslimin tanpa pandang bulu dan tanpa peradilan. Perang atas nama terorisme itu terus bergulir hingga Indonesia dan sekarang memasuki era baru dengan isu radikalisme.

Isu terorisme tidak lagi terdengar dan makhluk baru bernama radikalisme muncul sebagai “komoditi” baru. Pemerintah dengan gencarnya mengaitkan radikalisme dengan bibit-bibit gerakan terorisme di Indonesia. Semua paham keagamaan Islam yang tidak sejalan dengan “apa yang dimau” pemerintah masuk dalam kategori radikal. lagi dan lagi, muslim langsung dicap begitu saja.

Satu pelajaran dari kejadian bom Oklahoma Amerika adalah bagian dari perlawanan warga negara atas “keradikalan” pemerintah yang tidak bisa mengayomi warganya. Militansi, gerakan radikalisme dan terorisme bisa muncul dari individu itu sendiri, bisa dari lingkungan sekitarnya dan bisa juga karena rasa kecewa terhadap sesuatu yang tidak ada titik temunya. Di sinilah konsep yang semestinya ditempuh oleh pemerintah sebagai pemangku kebijakan tertinggi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, yang adil dan makmur.

Radikal vs radikal

Indonesia adalah negara  yang terdiri dari berbagai suku, bahasa, budaya dan agama. Indonesia adalah negara kepulauan yang  tempatnya saling terpisah tapi bisa disatupadukan dalam “Bhineka Tunggal Ika” yang berarti berbeda-beda tetapi tetap satu jua.

Konsep bernegara dan berbangsa Indonesia telah usai sebagaimana kita rasakan saat ini, bagaimana menciptakaan persatuan dan kesatuan, bagaimana bisa saling toleransi, dan bagaimana bisa hidup harmonis dalam keragaman adalah tugas kita sebagai generasi bangsa ini.

Kebinekaan dan kebebasan warga negara diusik kembali dengan pernyataan-pernyataan frontal ala Menteri Agama. Radikalisme hanya dilihat dari segi fisik; celana cingkrang dan wanita bercadar.

Sebagai tokoh yang mengemban jabatan sudah semestinya merangkul warganya dan menciptakan suasana yang nyaman apalagi berkaitan dengan keagamaan seseorang. Dari sinilah nampak “greget” pemerintah dalam menanggulangi radikalisme di Indonesia; ngawur, tebang pilih, seperti seseorang yang tidak mampu menahan rasa marah.

Negara hadir dalam keberagaman masyarakat muslim Indonesia, masuk dalam batas-batas pilihan keberagaman dengan asumsi menangkal gerakan radikalisme dan terorisme. Ironisnya ciri-ciri yang disampaikan tertuju pada salah satu paham keberagaman Islam yang notabene bagian besar dari pendukung lawan politik presiden terpilih saat ini. Entah ini disengaja atau memang karena menangkal isu radikalisme dan terrorisme sebagaimana pesan presiden kepada menteri agama terpilih.

Kaum “radikal” adalah sekelompok muslim Indonesia dengan ciri-ciri yang disebutkan di atas. Dalam beragama mereka berpegang teguh kepada tekstual al-qur’an dan hadist dalam rangka menjadi muslim kaffah, yaitu menjalankan ajaran Islam dalam seluruh aspek kehidupan. Sedangkan negara dan paham pendukungnya lebih cenderung kepada paham kontekstual al-qur’an dan hadist. Mungkin mereka berasusmi bahwa apa yang mereka anut saat ini “paling cocok” dalam memadukan agama, bangsa dan negara di Indonesia.

Disinilah letak perbedaan yang mencolok antara kelompok radikal kanan dan kelompok radikal kiri. Keduanya memiliki kelebihan dan kekurangan. Keduanya memiliki potensi positif dan negatif. Keduanya tidak perlu mengaku paling benar, paling cinta NKRI karena kelompok pertama bisa jadi menjadi Khawarij-khawarij baru sedagkan kelompok kedua bisa menjadi Kamal Attaturk-nya Indonesia.

Sikap Muhammadiyah

Agama dan politik adalah barang lama yang tiada habis dikupas. Islam sebagai agama yang ajarannya masuk dalam seluruh ranah kehidupan, tentu memiliki andil bagi inividu muslim itu sendiri, orang lain dan lingkungan sekitar. Begitu juga dengan Muhammadiyah sebagai wadah organisasi Islam akan menempatkan dirinya untuk bisa diterima dimana dan kapanpun berada tanpa mengesampingkan nilai-nilai Islam dan Pancasila.

Dalam menyingkapi isu radikalisme yang ramai dibicarakan masyarakat, para tokoh Muhammadiyah tampil di depan publik memberikan gambaran komprehensif tentang radikalisme. Hal ini dipandang perlu karena bagian dari politik kebangsaan Muhammadiyah yang menjunjung tinggi nilai-nilai kebangsaan daripada kepentingan lainnya.

Dr. Anwar Abbas menilai isu radikalisme yang digembar-gemborkan elit politik sudah melibihi dosis dan porsinya. Radikalisme menurut Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah bukanlah hal mendasar dalam menyelesaikan persoalan negeri ini karena bidang ekonomi, politik dan pendidikan harus menjadi perhatian lebih.

Ketua Umum Muhammadiyah Prof. Dr. Haedar Nashir juga berpesan agar pemerintah menjalankan amanah rakyat Indonesia dan membangun pemerintahan untuk seluruh rakyat Indonesia. Bukan untuk satu golongan, tapi merengkuh semua kekuatan masyarakat.

Bahkan di tempat lain, Haedar Nashir menyindir Fachrul Razi tentang ciri-ciri radikalisme yang disampaikannya dengan kata gubyah uyah, yang artinya menyamaratakan. Hal ini menandai akan posisi Menteri Agama yang melihat kemajemukan muslim Indonesia dan paham radikalisme dari satu sudut pandang tanpa melihat sisi lain yang lebih luas.

Muhammadiyah sendiri masih terus eksis menekankan kepada hal yang produktif. Amal usaha Muhammadiyah di bidang pendidikan, kesehatan, pelayanan sosial dan pemberdayaan masyarakat adalah cara Muhammadiyah menjalankan perannya. Peran Muhamamdiyah dalam mengurangi-menangkal paham radikalisme nampak pada amal usaha pendidikan, mulai dari TK hingga perguruan tinggi.

Muhammdiyah akan selalu komitmen dalam bernegara berdasar Pancasila yang sesuai dengan nilai-nilai Islam. Di dalam organisasi ini juga ada sekelompok muslim dengan ciri-ciri radikalisme, ada pula yang gemar memakai sarung, jubah, bahkan ada pula yang merokok meski majlis tarjih mengharamkannya. Intinya dalam ber-Muhammadiyah tidak ada ekstrim radikal kanan atau pun kiri.

Muhammadiyah akan selalu komitmen dalam politik kebangsaan dengan melihat kemaslahatan ummat. Bangsa adalah umat, maka merekalah yang harus didahulukan dan diperjuangkan melebihi kepentingan lainnya.

Miladi 107 tahun Muhammadiyah menguatkan amal usahanya terus bergerak membantu negara dalam segala aspek kehidupan tanpa mengharap imbalan apa pun. Muhammadiyah tidak pula menyatakan diri “yang paling” cinta NKRI, “yang paling” alim, “yang paling” benar, “yang paling” berjasa karena semua itu bentuk keangkuhan dan kesombongan yang mendorong pada kehancuran. Bukankah iblis diusir dari sorga karena sikapnya yang ekstrim radikal?

“Anda sedang bercermin dan Anda kesengsem dengan apa yang Anda lihat. Ketahuilah bahwa Anda melihat diri Anda dengan keadaan terbalik”.

Achmad Rofiki
Achmad Rofiki
Direktur KMI Daarul Ukhuwwah Malang
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.