Kamis, April 25, 2024

Menyoal Keterpilihan Megawati

Rudi Hartono
Rudi Hartono
Penulis lepas dan penikmat kopi. Tertarik pada kajian ekonomi politik, poilitik lokal, dan kebijakan publik.

Kongres ke-V Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) di Bali kembali mengukuhkan Megawati Soekarnoputri sebagai ketua umum. Memimpin partai pada usia tak lagi muda jelas sekali memperlihatkan tingginya komitmen politik beliau, di samping adanya ‘krisis’ kepemimpinan berkarakter di partai. Dengan keterpilihan secara aklamasi ini membuat Megawati memegang rekor sebagai ketum partai terlama dalam sejarah politik tanah air.

Terlepas dari rekor tersebut. Masalah krusial dan menarik untuk di telaah adalah bagaimana iklim demokrasi di internal partai berlambang banteng tersebut. Keterpilihan Megawati bukan perkara budaya politik feodal semata atau buruknya demokrasi partai. Perkaranya tak semudah apa yang kita pelajari dalam kepustakaan politik.

Ada kencenderungan kekosongan figur-figur politik yang tak mampu menyaingi ketokohan Megawati di PDIP. Ini merupakan konsekuensi logis dari kosentrasi pengaruh yang terpusat pada sosok mantan presiden ke lima Indonesia tersebut.

Kecenderungan kekosongan itu mesti di letakkan dalam konteks bagaimana proses regenerasi partai selama ini. Apakah kekosongan figur itu mencerminkan stagnasi dalam proses regenerasi kepemimpinan partai? Atau tengah mempersiapkan kepemimpinan yang berasal dari trah-Soekarno?

Bagi politisi PDIP terpilihnya Megawati merupakan kehendak kolektif para kader yang masih mengingini beliau memimpin. Jawaban normatif semacam itu secara implisit merefleksikan realita di internal partai yang menjadi rahasia umum.

Demokrasi mengharuskan adanya sirkulasi kepemimpinan dalam rentang waktu tertentu yang di persyarati oleh proses kaderisasi supaya terjadi regenerasi, justru pada kasus PDIP itu tidak terjadi.

Soekarnoisme yang mengakar kuat dalam tubuh partai berlambang banteng ini juga menjadi faktor determinan bagi proses regenerasi. Faktor ‘trah-Soekarno’ nampaknya membuat PDIP cenderung lamban melakukan regenerasi, di samping pragmatisme elite.

Seperti ada ‘kewajiban’ jika tonggak kepemimpinan partai harus berasal dari trah-Soekarno. Persis di titik ini timbul masalah. Sebab Soekarno sendiri tidak menginginkan nepotisme politik. Lagi pula istilah ‘trah’ itu sendiri lebih pada relasi biologis, ketimbang ideologis. Seperti adagium bahwa “biologis, belum tentu ideologsi”. Artinya politik trah itu tidak relevan bagi PDIP sebagai partai ideologis.

Baik Puan Maharani dan Prananda Prabowo, selaku putra/i Megawati, sekalipun trah-Soekarno, masih belum terlihat jejak ideologis pada diri mereka – terlepas dari pelbagai wacana terkait potensi mereka memimpin partai di masa mendatang.

Kalau memakai pertimbangan pragmatis, kedua anak dari sang ketum tersebut, juga kurang punya pengaruh. Ketokohan mereka di internal partai lebih pada faktor Megawati semata. Karenanya tak heran bila sampai sekarang masih terjadi kekosongan figur.

Bila berkaca pada kasus Partai Demokrat (PD). Terlihat bahwa kesadaran Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) akan nasib partai yang pada Pemilu 2014 mengalami penurunan suara yang signifikan. Mengharuskan ia mengambil keputusan ekstrem dengan menarik Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) keluar dari karir Militer untuk masuk ke Politik, meski belum pada waktunya.

Menurut Muhtadi (2019) AHY sebenarnya tengah di persiapkan pada 2024. Namun kondisi “darurat” PD dan peluang saat itu, mengharuskan SBY untuk megambil keputusan tersebut.

Pada dasarnya langka SBY bukan perkara persiapan kepemimpinan 2024. Lebih jauh lagi adalah membangun pengaruh trah-Yudhoyono agar mengakar kuat dalam tubuh PD. Dengan kata lain, suatu langkah untuk mengurangi ketergantungan pada tokoh sentral. Hal ini berbeda dengan Megawati di PDIP. Tapi bisa dipahami kondisi sikologis para kader PDIP yang mengukuhkan kembali Megawati. Karena memang tidak ada alternatif lain selain beliau.

Keterpilihan Megawati setidaknya bisa membuat aman partai untuk sementara waktu. Meski keputusan ini sendiri bukan tanpa masalah. Dalam artian friksi-friksi itu bisa saja muncul. Bagaikan bom waktu yang dapat meledak kapan saja. Kehadiran Megawati dapat mengatasi potensi timbulnya friksi dengan instrumen kuasa otoritas kepartaian, tapi dengan ketokohannya sebagai politisi senior yang punya pengaruh kuat.

Juga terlalu sempit bila terpilihnya Megawati dimaknai serta (sekadar) diorientasikan untuk kepentingan power sharing untuk kepemimpinan Jokowi jilid-2 dan Pemilu 2024. Tanggungjawab moral PDIP sebagai partai Soekarnois yang mengemban tugas sejarah untuk memperjuangkan keadilan harus termanifestasi dalam kerja-kerja kongkrit. Bukan atas dasar klaim, tapi gagap menjalankan tugas.

Rudi Hartono
Rudi Hartono
Penulis lepas dan penikmat kopi. Tertarik pada kajian ekonomi politik, poilitik lokal, dan kebijakan publik.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.