Pupus sudah perjuangan rakyat terhadap Revisi Undang-Undang (RUU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) setelah presiden Joko Widodo mengirim surat presiden (surpres).
Dalam keterangan konferensi pers yang dilakukan presiden beberapa waktu lalu memenuhi media menyatakan bahwa ada poin-poin tertentu yang dipandang berbeda oleh pemerintah.
Perbedaan pandangan yang diungkapkan presiden lebih mengarah pada teknis, bukan secara subtantif RUU KPK. Misal, poin terkait dewan pengawas yang dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) oleh presiden dipandang anggotanya harus berasal dari kalangan akademisi atau penggiat anti-korupsi.
Sebelumnya, RUU KPK yang diajukan oleh DPR dinilai masyarakat bertujuan melemahkan KPK. Publik menilai bahwa KPK tumbuh dan berkembang bersama demokrasi dan mendapat kepercayaan masyarakat luas.
Mulai dari kalangan awam, mahasiswa, akademisi hingga tokoh bangsa dan pegiat anti-korupsi berbondong-bondong menolak pelemahan lembaga anti rasuah karena dinilai juga telah melemahkan sendi-sendi demokrasi Indonesia.
Namun, tidak sedikit pula yang mendukung RUU KPK dengan dalih perlu adanya penyegaran dan penguatan. Selain itu, masyarakat ditingkatkan tensinya dengan pemilihan pimpinan KPK yang dinilai kontroversial.
Ada pun draf RUU yang diinisiasi DPR antara lain, yaitu: (1) terkait status pegawai KPK harus berasal dari pegawai negeri sipil dengan perjanjian kerja; (2) penyadapan dilakukan atas izin tertulis Dewan Pengawas dan dilakukan paling lama 3 bulan sejak diterbitkannya; (3) ketua dan anggota Dewan Pengawas diusulkan presiden dan dipilih DPR; (4) penyidik KPK berasal dari institusi kepolisian/bidang penyelidikan; dan (5) kewenangan penghentian penyidikan dan penuntutan perkara yang tidak selesai dalam jangka waktu satu tahun.
Independensi KPK digoyahkan sedari pegawai hingga status kelembagaannya. Status kelembagaan KPK tidak lagi menjadi lembaga negara independen karena diletakkan dalam ranah eksekutif atau bagian dari pemerintah.
Singkatnya, dalam menjalankan fungsi dan kinerja lembaga anti rasuah dibingkai dengan ketergantungan pada DPR dan presiden. Faktanya memang revisi telah disepakati oleh DPR dan presiden sehingga pengawalan hukum lebih pada subtansi penguatan KPK untuk memberantas korupsi secara efektif dan efisien. Hanya saja, perlu disadari bahwa telah terjadi ketidaksesuaian penggunaan kekuasaan dalam proses inisiasi RUU tersebut.
Secara umum di Indonesia dikenal tiga ruang kekuasaan, yaitu yudikatif, legislatif dan eksekutif. Seturut dengan gagasan trias politica seorang filsuf abad pencerahan, Baron de Montesquieu. Yudikatif erat kaitannya dengan konstitusi atau rule of the game elemen-elemen negara.
Dalam hal ini, lembaga yudikatif berwenang untuk memutuskan perkara melalui prosedur hukum acara yang berlaku. Di Indonesia, ranah ini dikenal memiliki dua institusi utama, yaitu Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK). MA dikenal sebagai pengadilan yang memutus perkara berdasarkan fakta-fakta secara konkret dapat dibuktikan didepan hukum. Sementara itu, MK dipahami sebagai lembaga terpisah yang berwenang menangani masalah konstitusional.
Selanjutnya, DPR pada hakikatnya merupakan institusi pemerintah yang menghubungkan rakyat dengan negara. Sebab, DPR dipilih langsung oleh rakyat untuk merepresentasikan suaranya dalam mekanisme demokrasi.
Selain representasi, secara konseptual badan legislative memiliki fungsi legislasi, deliberasi, otorisasi pengeluaran, pengawasan dan membentuk pemerintahan pada sistem parlementer (Hague, Harrop, & McCormick, 2016). Secara simbolik, suara legislatif dianggap mewakili kepentingan rakyat.
Kemudian, inti pemerintah adalah eksekutif yang memiliki seorang administrator tertinggi, yakni presiden. Dalam sistem parlementer seperti di Inggris administrator ini disebut Perdana Menteri (prime minister). Presiden sebagai kepala negara berwenang menentukan kabinetnya atau Menteri-menteri yang akan membantu dalam melaksanakan Undang-Undang dengan tujuan kemakmuran dan kedaulatan rakyat.
Konsep pemisahan kekuasaan yang lahir dengan gagasan dasar membatasi kekuasaan dengan kekuasaan bertujuan mencegah penyalahgunaan kekuasaan akibat kebebasan politik. Oleh karenanya, inisiatif DPR mengajukan draf RUU KPK harus melalui persetujuan presiden.
Gelombang penolakan RUU tersebut lebih dari sekadar hanya memiliki alasan yang bersifat pragmatis. Cacat konseptual jelas digambarkan dalam prosesnya. RUU yang merupakan produk badan legislatif itu salah alamat. Poin kritis yang harus dipahami adalah bahwa KPK lebih dekat ke ranah yudikatif, bukannya eksekutif.
Lembaga independen anti rasuah bersifat imparsial dalam penegakan hukum. Artinya, asas kesamaan didepan hukum (equality before the law) tetap harus berdiri tegak dalam memerangi kejahatan korupsi.