Jumat, April 26, 2024

Masa Depan Indonesia dalam Bayang Politik Kartel

Dyah Ayu Widyarini
Dyah Ayu Widyarini
Mahasiswa Pasca Sarjana Ilmu Politik Univeritas Indonesia

Kekuasaan menjadi ajang elite politik mengukuhkan eksistensi. Melanggengkan kekuasaan adalah kewajiban yang haram untuk ditinggalkan. Negara berasaskan demokrasi, tak menjadi penghalang melancarkan strategi, dalam rangka melebarkan pengaruh atas kelompok. Indonesia terus dikuasai oleh golongan elit tertentu dari generasi ke generasi. Pemilu yang katanya bentuk dari demokrasi, nyatanya tidak pernah mempan merubah komposisi golongan elit dalam parlemen.

Politik kartel dikenalkan oleh Richard Katz dan Peter Mair pada 1995 pada edisi pertama jurnal Party Politics. Mereka beranggapan bahwa orientasi perjuangan partai dari catch-all party bergeser menjadi cartel party.

Tipologi catch-all party, mengharuskan partai melakukan banyak perubahan kebijakan untuk merebut suara pemilih dan partai akan berkompetensi secara bebas. Cartel Party, menekankan pada profesionalitas dari politisi yang berupaya untuk mememangkan partainya dengan segala cara. Akses dan sumber daya dalam pemerintahan tidak boleh lepas dari genggaman, dan berada dalam lingkup kekuasaan negara adalah suatu keharusan.

Sistem check and balance kemudian terganggu, karena realisasi dari politik kartel adalah saling merangkul partai politik yang berbeda secara ideologi untuk menghindari konflik dalam pengambilan keputusan dalam parlemen. Praktik ini yang kemudian merugikan negara demokrasi.

Kartel di Indonesia, terlihat pada tahun 2000-2001, dimana seluruh partai, kecuali Partai Keadilan Bangsa (PKB) melakukan kolusi untuk menjatuhkan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur), dan kartel terus menguat dari masa ke masa.

Politik Kartel 2019

Hasil pemilu serentak 2019, menunjukkan kuatnya bayang-bayang politik kartel pada peta kekuatan kursi partai politik di parlemen. Kompetisi hanya dilakukan untuk meramaikan pesta demokrasi, nyatanya negosiasi dan lobby di belakang layar adalah tindakan mutlak untuk melanggengkan eksistensi posisi.

Permainan elit politik kartel mulai terlihat pada upaya pembatasan jumlah capres dan cawapres dengan presidential threshold 20-25% oleh partai-partai pendukung Joko Widodo jauh sebelum pemilu dilaksanakan. Pembatasan tersebut tentu ditolak oleh Prabowo dan partai-partai pendukungnya dengan menginginkan presidential threshold 0%, sehingga semua partai politik dapat mencalonkan capres dan cawapresnya.

Pasca pemilu yang mengalahkan pasangan Prabowo-Sandi dengan perolehan suara 44.50%, tidak lantas membuat partai-partai pendukungnya menjadi partai oposisi. Kartel politik terlihat dengan perilaku partai Demokrat, Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Gerindra yang berbondong meminta restu Joko Widodo sebagai pemenang pemilu dengan suara 55.50% untuk bergabung menjadi koalisi pemerintah.

Terbukti dengan dilantiknya Prabowo yang merupakan rival dari Joko Widodo menjadi Menteri Pertahanan dan meninggalkan Partai Kesejahteraan Sosial (PKS) untuk menjadi partai oposisi sebatang kara, padahal PKS hanyalah partai pedukung.

Bergabungnya partai oposisi kepada pemerintah kemudian melemahkan sistem demokrasi dalam negara demokrasi, dimana perwakilan rakyat yang seharusnya menjadi “speaker” beralih fungsi menjadi “chairman” yang hanya mementingkan kepentingan kelompoknya untuk tetap berada dalam lingkaran pemerintah sebagai penopang keberlangsungan hidup. Fungsi check and balances kemudian ikut melemah karena minimnya oposisi terhadap pemerintah, padahal dalam negara demokrasi control terhadap pemerintah harus tetap berjalan, karena pada dasarnya, rakyat adalah pemegang kedaulatan.

Amerika Serikat, yang juga merupakan negara demokrasi, hanya memiliki dua partai besar, yakni Partai Republik dan partai Demokrat, meski terdapat banyak partai-partai kecil yang tumbuh, namun mereka harus tetap berkolalisi dengan partai besar untuk dapat ikut serta dalam sistem politik.

Apabila Donald Trump dari Partai Republik yang memenangkan pertandingan politik, maka Partai Demokrat akan otomatis menjadi partai oposisi, sehingga terjadi keseimbangan antara pemerintah dan pihak oposisi. Berbeda dengan Indonesia, yang merupakan negara multipartai, dimana partai-partai yang berada pada kubu kalah memiliki kesempatan untuk beralih koalisi dengan pemerintah.

Tidak stabilnya partai-partai di Indonesia disebabkan oleh rancunya sistem presidensial dan sistem multipartai, dimana dalam sistem presidensial yang merupakan sistem eksekutif tunggal memberikan jaminan pemerintahan yang stabil, dan hanya dapat dicapai dengan susunan kepartaian yang sederhana dan mendekati sistem dua partai.

Sistem multipartai kemudian menimbulkan permasalahan, dimana kursi-kursi pada badan perwakilan terpecah dan tidak ada suara mayoritas yang mutlak, sehingga setiap keputusan yang diambil adalah berdasarkan hasil negosiasi tentang siapa yang akan mendapatkan apa.

Presiden terlihat lemah dalam menjalankan pemerintahannya, padahal dalam sistem presidensial, presiden memiliki hak prerogatif untuk menentukan kursi-kursi menteri, namun kenyataannya hak tersebut tidak murni berlaku, karena tersandera oleh nama-nama kiriman partai politik koalisi.

Problem ketatanegaraan di Indonesia disebabkan karena Presiden Joko Widodo tidak memiliki basis partai seperti presiden sebelumnya, karena PDIP sebagai partai utama pengusung Joko Widodo dikendalikan oleh orang lain, sehingga keputusan-keputusan yang diambil oleh Joko Widodo tentu dipengaruhi oleh pengendali partai tersebut.

Politik Indonesia 5 Tahun ke Depan

Penyusunan kabinet yang menggandeng oposisi kemudian melemahkan demokrasi karena menyempitkan ruang partisipasi politik. Lantas, untuk apa ada pemilu jika pada akhirnya kekuasaan itu dibagi-bagi antara yang menang dan kalah?

Kepercayaan masyarakat akan pentingnya pemilu sebagai wujud negara demokrasi perlahan luntur, sehingga suara dalam pemilu, mereka jual dengan harga murah kepada elit-elit politik yang memiliki kepentingan pribadi terhadap kekuasaan. Apatis bukanlah suatu keraguan, tapi merupakan sebuah ancaman serius yang dapat membunuh demokrasi secara perlahan.

Oligarki merupakan wajah dari masa depan Indonesia, demokrasi pluralis dalam mekanisme kartel meniadakan idelogi, sehingga pragmatisme mendominasi dan menjadikan politik sebagai ajang kompetensi dari elit untuk elit. Koordinasi antar elit politik kemudian meminimalkan persaingan dan mengontrol keuntungan, sehingga oposisi mutlak adalah suatu kemustahilan. Untung rugi menjadi pembahasan wajib, dan kartel akan menjaga jaring-jaring korupsi.

Dyah Ayu Widyarini
Dyah Ayu Widyarini
Mahasiswa Pasca Sarjana Ilmu Politik Univeritas Indonesia
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.