Jumat, Maret 29, 2024

Lahan Menyempit, Petani Sedikit, Mau Makan Apa?

Fariz Ilham Rosyidi
Fariz Ilham Rosyidi
Fariz Ilham Rosyidi, Peminat Sejarah Asia Tenggara, Belajar Ilmu Sejarah di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga Surabaya.

Indonesia sejak lama dikenal sebagai negara agraris, karena sebagian besar penduduknya sudah mengenal mata pencarian di bidang pertanian. Masa kebudayaan Austronesia misalnya, kita sudah mengenal beberapa jenis tanaman pangan, seperti pisang, singkong, dan umbi-umbian yang digunakan untuk bercocok tanam.

Lalu sewaktu masa penjajahan, tepatnya masa tanam paksa, banyak sekali komoditas pertanian unggulan. Sebut saja padi, tebu, jagung, keledai, sampai kacang-kacangan. Itu semua dibutuhkan untuk menyokong kebutuhan kolonial.

Dan masih ingat dibenak, ketika masa revolusi hijau yang digalakkan masa Orde Baru. Waktu itu, ekonomi menyasar pada lumbung pangan beras, hingga pada tahun 80-an kita dinobatkan sebagai salah satu negara swasembada pangan dunia.

Namun, itu semua seakan menjadi kenangan. Ya, tinggal kenangan ketika kita melihat kondisi saat ini. Dimana tanah-tanah yang potensial untuk pertanian mulai di blok-blok untuk kavling, pupuk-pupuk organik mulai diganti dengan pupuk kimia yang kurang ramah lingkungan, dan bahkan, sistem pertanian keluarga yang mulai ditinggalkan, karena dianggap sudah apak basi serta kurang prestise untuk dilanjutkan.

Masalahnya, semakin hari kebutuhan pangan kita semakin bertambah. namun jumlah petani, ketersedian lahan, dan makanan semakin menipis. Laporan Kajian Regenerasi Pertanian tahun 2015 mengungkap, dari kurun waktu sepuluh tahun, yakni tahun 2003 hingga 2013, jumlah rumah tangga petani semakin berkurang hingga 5 juta penduduk. Selain itu, usia petani semakin tua, dimana rata-rata usianya adalah 60,8% diatas 45 tahun yang masih produktif menggarap lahan pertanian.

Artinya, Teori yang diungkapkan Robert Malthus tentang ketahanan pangan perlu dijadikan peringatan serius di masa depan. Malthus menyebut, “Laju pertumbuhan penduduk itu seperti deret ukur, dan laju pertumbuhan pangan seperti deret hitung”. Jika dimaknai, laju pertumbuhan penduduk lebih cepat dibandingkan laju pertumbuhan pangan. Yang dampaknya, dalam jangka waktu panjang, kita akan mengalami krisis sumber daya alam, dan berebut untuk mendapatkan pangan karena laju pertumbuhan semakin bertambah tak terkendali.

Untuk itu, ini adalah jawaban atas keresahan saya sebagai salah satu anak petani di Indonesia, yang berharap mungkin, tulisan remahan ini bisa dijadikan teguran atau saran kepada masyarakat untuk memajukan pertanian Indonesia di masa mendatang.

Pertama, memberikan pelatihan pertanian modern kepada petani. Masa Orde Baru, pernah menerapkan Bimbingan Masyarakat (Bimas) dan Intensifikasi Masal (Inmas), meski dalam penerapannya belum maksimal, namun dijaman yang memasuki Revolusi Industri 4.0 dan Society 5.0 ini, sudah saatnya petani diberikan pemahaman pengelolaan pertanian yang lebih modern, dan tentunya ramah lingkungan.

Di Jepang misalnya, sudah mulai mengkaji Internet of Think (IoT) dalam pertanian. Jepang menerapkan konsep smart agriculture, yaitu mengolah lahan pertanian yang terkoneksi dengan gawai yang akan diberdayakan kepada petaninya di masa depan.

Sejumlah peralatan seperti traktor bisa membajak sawah sendiri sesuai alur yang diinginkan. Pemanfaatan drone untuk keperluan menyemai bibit. Termasuk aplikasi yang dapat memantau prediksi perubahan cuaca untuk masa tanam.

Kedua, menjadikan pertanian sebagai suatu sistem satu kesatuan lewat aplikasi resmi. Maksudnya, antara petani, akademisi, pedagang, investor, dan pemerintah bermitra bersama dalam kegiatan pertanian.

Lewat aplikasi itu, diharapkan proses penggarapan lahan pertanian bisa mendapatkan akses permodalan yang baik oleh investor, petani memperoleh akses teknik budidaya pertanian oleh pakar akademisi yang efisien, mendayagunakan inovasi lulusan mahasiswa pertanian milenial dengan segala idenya, serta yang terakhir, pemerintah dapat melakukan studi kebijakan yang terkait dengan kondisi di lapangan untuk kebutuhan di masa mendatang.

Ketiga, untuk menjaga ketahanan pangan adalah meningkatkan diversifikasi pangan. Masa Revolusi Hijau sangat berdampak pada penyeragaman beras. Hal ini menyebabkan ketergantungan akan beras semakin meningkat di tiap harinya.

Jenis pangan pokok seperti jagung, ubi jalar, sorgum, dan talas bisa dimanfaatkan dan diolah agar ketergantungan terhadap beras bisa dikurangi. Tentunya dengan kebijakan serta inovasi makanan dari Pemerintah-lah hal itu bisa dilakukan.

Yang terakhir, dan yang paling penting menurut saya adalah menjamin sumber daya petani lewat dana pensiun. Ya, sudah seharusnya petani mendapatkan jaminan pensiun atas jasanya menghidupi orang banyak.

Jaminan dana pensiun juga diharapkan dapat menarik minat kawula muda agar tertarik dan tidak malu lagi berprofesi sebagai petani. Semoga tulisan ini dapat menggungah dan menjadi upaya perbaikan pertanian di masa mendatang, seperti yang diharapkan pemerintah yakni lumbung pangan pada 2045, semoga.

Fariz Ilham Rosyidi
Fariz Ilham Rosyidi
Fariz Ilham Rosyidi, Peminat Sejarah Asia Tenggara, Belajar Ilmu Sejarah di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga Surabaya.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.