Jumat, April 26, 2024

Kalau Ada Tuhan, Mengapa Harus Ada Kejahatan?

Muhammad Nuruddin
Muhammad Nuruddin
Mahasiswa Dept. Akidah Filsafat, Universitas al-Azhar Kairo, Mesir | Alumnus Pondok Pesantren Babus Salam Tangerang | Peminat Kajian Sufisme, Filsafat dan Keislaman.

Beberapa teks keagamaan seringkali menarasikan Tuhan sebagai sosok yang Maha Kasih, Maha Penyayang, Maha Pemaaf, Maha Baik, Maha Dermawan, Maha Lembut, Maha Melindungi, dan sifat-sifat kesempurnaan lainnya. Tapi, faktanya menunjukan bahwa keburukan dan kejahatan terjadi di mana-mana.

Ketidak-adilan, pembunuhan, pemerkosaan, kecelakaan, penelantaran, gempa bumi, longsor, badai, banjir, tsunami, dan semacamnya, merupakan fenomena-fenomena yang kerap membuat manusia bertanya-tanya: Kalau memang ada Tuhan—yang konon Maha Kasih dan Maha Penyayang itu—lantas mengapa harus ada keburukan dan kejahatan?

Seolah-olah mereka menangkap adanya pertentangan antara sifat Tuhan yang Mahakasih dan penuh kasih sayang dengan keburukan yang terjadi setiap siang dan malam. Di mana Tuhan ketika ada anak-anak kecil terlantar, orang-orang tua tak terurus, pemulung sampah yang kelaparan, rakyat kecil yang tertindas, bapak-bapak yang tertimpa sakit keras, ibu-ibu yang memiliki fisik lumpuh, dan pembunuhan yang terjadi pada orang-orang yang tak bersalah?

Di mana kasih sayang Tuhan ketika anak saya satu-satunya mati tertabrak mobil? Di mana kasih sayang Tuhan ketika istri saya terjangkit sakit keras selama bertahun-tahun? Di mana kasih sayang Tuhan ketika itu? Barangkali itulah beberapa pertanyaan yang kerap menggelayut di benak banyak orang.

Para teolog dan filsuf dari lintas agama mengemukakan setumpuk argumen untuk menjawab pertanyaan tersebut. Lembaran pendek ini tak cukup untuk menampung jawaban mereka yang beragam itu. Dalam filsafat, diskusi mengenai hal ini sering dikenal dengan istilah theodicy, yang secara harfiah bermakna “keadilan Tuhan”.

Di sana mereka mendiskusikan persoalan itu tadi. Yakni soal keterkaitan antara keadilan Tuhan dengan kejahatan dan keburukan yang kita saksikan. Apakah adanya keburukan itu lantas menafikan keberadaan Tuhan? Atau keberadaan Tuhan tidak bertentangan dengan adanya keburukan? Pertanyaan itulah yang melahirkan diskusi panjang di antara mereka.

Sayangnya, beberapa orang dari kita kadang terjebak dalam jawaban yang keliru. Misalnya, di antara jawaban yang keliru itu, ialah mengingkari keburukan itu sendiri. Bagi sebagian orang, keburukan itu hanyalah ilusi. Yang ditakdirkan Tuhan itu semuanya baik, kata mereka. Tidak ada yang namanya keburukan. Semuanya baik. Hanya saja akal kita terbatas untuk menangkap semua kebaikan Tuhan itu.

Tapi, masalahnya, kalau jawaban ini kita terima, konsekuensinya kita juga akan mengingkari kebaikan itu sendiri. Sebab, makna kebaikan itu diperoleh dengan adanya keburukan. Tanpa adanya keburukan, tidak akan ada yang namanya kebaikan. Konsekuensinya, kalau kita mengingkari keburukan, maka kita juga akan “dipaksa” untuk mengingkari kebaikan. Ini hanya salah satu contoh dari jawaban yang keliru itu.

Karena itu, sebelum menjawab pertanyaan di atas, harus kita katakan bahwa keburukan itu memang ada. Kita tidak menolak itu. Al-Quran sendiri mengakui adanya keburukan (QS: 17: 83, 41: 49, 41: 51, 70: 20). Hanya saja, adanya keburukan itu tidak serta merta menafikan keberadaan Tuhan. Mengapa? Sejujurnya pertanyaan ini membutuhkan jawaban panjang. Namun, untuk meringkas, saya akan pilih tiga jawaban sebagai berikut:

Pertama, adanya keburukan itu merupakan konsekuensi dari kebebasan yang dimiliki oleh manusia. Tuhan mentakdirkan manusia sebagai makhluk yang bebas. Konsekuensinya, dengan adanya kebebasan itu, mereka bisa berbuat baik, tapi mereka juga bisa berbuat buruk. Mengandaikan hilangnya keburukan sama saja dengan mengharapkan lenyapnya kebebasan. Dan ketika itu kita tidak menjadi manusia lagi.

Kita tidak bisa menyalahkan Tuhan dengan adanya keburukan. Karena toh lahirnya keburukan itu sendiri tetap melibatkan peranan manusia, sebagai makhluk yang dikarunai kebebasan. Selama mereka bebas, keburukan akan selalu ada.

Yang patut disalahkan adalah manusia itu sendiri. Manusialah yang seharusnya bertanggung jawab atas keburukan dan kejahatan yang terjadi, sebagai konsekuensi dari kebebasan yang dia miliki.

Jadi, intinya, kita harus memandang keburukan itu sebagai konsekuensi logis dari kebebasan yang dimiliki oleh manusia, yang tanpa adanya kebebasan itu, kita tidak akan menjadi manusia. Ini jawaban yang pertama.

Kedua, Tuhan tidak menjanjikan kehidupan di dunia sebagai tempat bersenang-senang dengan meraih berbagai macam kenikmatan. Yang ada justru sebaliknya. Sejumlah ayat dalam kitab suci menegaskan bahwa dunia ini adalah ujian. Kita semua sekarang berada dalam ruang ujian.

Ada soal yang harus kita isi. Setelah kita mati barulah kita tahu hasilnya. Tempat bersenang-senang itu ada. Tempat yang bersih dari berbagai macam keburukan itu ada. Tapi bukan sekarang, melainkan di hari kemudian.

Boleh jadi Anda akan mengira Tuhan tidak adil ketika melihat keburukan itu terjadi. Apalagi Tuhan berkuasa untuk menghilangkan keburukan itu. Tetapi, asumsi negatif itu akan hilang dengan sendirinya manakala kita sadar bahwa Tuhan menjanjikan adanya hari akhirat. Dan di sana, semua keburukan yang Anda terima itu akan dibalas dengan ganjaran yang berlipat-lipat. Di sanalah keadilan itu akan ditegakkan setegak-tegaknya.

Mungkin Anda merasa kesal ketika ada orang berbuat jahat tapi dibiarkan tanpa diberikan hukuman. Mungkin Anda juga kecewa ketika ada orang berbuat baik tapi hidup sengsara dan tak kunjung mendapatkan balasan.

Tapi ingat, kata Tuhan, perbuatan mereka itu kelak akan dibalas dengan balasan yang setimpal. Bahkan lebih dari apa yang mereka kira. Yang baik diberikan balasan yang baik. Yang buruk diberikan balasan yang buruk.

Keadilan yang seadil-adilnya itu akan ditegakkan nanti, bukan sekarang. Lalu apakah kalau begitu sekarang Tuhan tidak adil? Tuhan adil. Tapi, yang jadi masalah, manusia kerapkali mengukur keadilan Tuhan dengan standar dirinya sendiri. Padahal penilaian seperti itu sangat tidak fair.

Bagaimana mungkin kita mengukur keadilan Tuhan yang Mahakuasa, dengan standar keadilan manusia yang tak jarang dilatarbelakangi oleh bisikan hawa nafsu yang buta?

Ketiga, adanya keburukan dan kejahatan tidak bertentangan dengan keberadaan Tuhan. Juga tidak bertentangan dengan sifat Tuhan yang dikenal sebagai Dzat yang Maha Kasih dan Maha Penyayang. Mengapa? Karena di sana masih terdapat kemungkinan bahwa keburukan bisa menjadi jalan untuk terwujudnya suatu kebaikan yang lebih besar.

Agama menegaskan bahwa keburukan yang diterima oleh manusia adalah ujian. Kalau mereka lulus melewatinya, kelak mereka akan mendapatkan balasan yang setimpal.

Bahkan, tidak jarang adanya keburukan itu sendiri berakhir dengan maslahat. Dan itu terjadi ketika mereka masih hidup di dunia. Kita sering mendengar kisah orang-orang yang mengalami musibah, malapetaka, bencana, atau peristiwa apa saja yang menyedihkannya.

Tapi di kemudian hari tiba-tiba dia justru mensyukuri keburukan yang telah menimpa dirinya itu. Dia tersadar bahwa ternyata keburukan itu hanya soal bungkus saja. Isinya maslahat. Memang itu buruk, tapi keburukan itu ujung-ujungnya berakhir dengan kebaikan juga.

Akal sehat kita pun tidak menolak adanya kemungkinan itu. Bahwa keburukan itu bisa saja jadi perantara akan terwujudnya kebaikan. Karena itu, adanya keburukan tidak bertentangan dengan keberadaan Tuhan.

Muhammad Nuruddin
Muhammad Nuruddin
Mahasiswa Dept. Akidah Filsafat, Universitas al-Azhar Kairo, Mesir | Alumnus Pondok Pesantren Babus Salam Tangerang | Peminat Kajian Sufisme, Filsafat dan Keislaman.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.