Sabtu, April 20, 2024

Jokowi, Kesederhanaan, dan Foucault

Fachrurrozy Akmal
Fachrurrozy Akmal
Ketua Dewan Pembina SIMPOSIUM (Serikat Mahasiswa Penggiat Konstitusi dan Hukum) Sulawesi Selatan, dan Pegiat Literasi dari Perpustakaan Rakyat Simposium Kab Gowa.

Tulisan ini tentu bukan kampanye, sebab masa kampanye sudah lewat dan pilpres dengan segala tetek bengek sengketanya juga sudah lewat. Sekarang presiden terpilih adalah Jokowi dan Wakilnya K.H Ma’aruf Amin.

Sebelum presiden dan wakilnya dilantik Oktober mendatang, ada baiknya kita bertanya kembali. Kenapa sih harus Jokowi (lagi) yang terpilih? Memangnya apa kelebihan pengusaha mebel ini sampai mendapat mandat sebagai orang nomor satu di Indonesia?

Suatu waktu saya terlibat perbincangan dengan seorang ibu-ibu yang kebetulan duduk bersebelahan dengan saya di salah satu bank. Perbincangan tersebut awalnya hanya perbincangan ringan terkesan basa-basi, sampai entah mengapa mungkin karena memasuki fase euphoria pemilu kami terlibat perbincangan soal pilpres.

Saat itu dia dengan nada (tanpa) malu-malu mengatakan “saya mau kalau 01 yang naik, karena ada program PKH-nya, kapan lagi dikasi uang tunai begini” pungkasnya dengan percaya diri. Saya tersenyum mendengar alasan ibu itu. Bukan karena menganggap pernyataannya terlalu tendensius di wilayah material (baca : uang) namun, lebih kepada karena saya mengingat pemikiran Michael Foucault sang sejarawan ide tentang History Of Sexuality-nya.

Foucault mengatakan bahwa kekuasaan ada dimana-mana. Kekuasaan bersemayam dalam pengetahuan dan kesenangan (pleasure). Menurut Foucault siapa saja yang mampu menawarkan pengetahuan dan kesenangan kepada orang lain, maka dengan mudah memperoleh kekuasaan.

Jika kita amati pada dasarnya kekuasaan tidak hanya melekat pada simbol (Presiden, Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota) melainkan ia melekat pada relasi sosial yang disebarkan melalui beragam saluran.

Hari ini dengan menawarkan kesenangan kepada seseorang atau sekelompok orang tentu siapa saja dapat memperoleh kekuasaan dari orang tersebut, bahkan membuatnya bergantung.

Namun, Lihat bagaimana rezim orde baru akhirnya runtuh ditangan rakyat. Hal ini disebabkan karena kurangnya saluran “kesenangan dan pengetahuan” bagi masyarakat. Kurangnya saluran tersebut justru ditambah dengan aksi terror, pembungkaman dan ketakutan (Petrus, penculikan, pembredelan) yang sampai detik ini (diyakini) melibatkan campur tangan rezim saat itu. Sementara menurut Foucault cara terbaik melanggengkan kekuasaan adalah dengan memberikan ruang seluas-luasnya bagi pelepasan hasrat (libido) di dalam kekuasaan itu sendiri.

Mengapa harus jokowi (lagi) yang terpilih ? Sederhana, sebab ia lebih lihai menawarkan dan memberikan kesenangan, selain menawarkan kesenangan ia juga telah membuat 10Juta orang penerima program PKH bergantung pada kebijakannya yang “menyenangkan”.

Di sisi lain yang tak kalah populer dari kebijakannya, Jokowi mendobrak tradisi kepresidenan yang dianggap tabu. Sebagai contoh, sepanjang yang kita ketahui pada umumnya seorang pemimpin negara haruslah memiliki kharisma dan wibawa tersendiri, tak bersikap biasa seperti orang kebanyakan, menjaga tutur kata agar tetap formal ditengah sorotan media dan tak gampang “rangkul-rangkulan” dengan orang banyak.

Sayangnya, yang kita lihat jokowi melakukan sebaliknya. Ia tak segan memakai setelan yang sederhana, tak terganggu ketika diajak warga untuk “Selfie”, tak sungkan Nge-Vlog bersama keluarga, masyarakat bahkan dengan Raja Salman sekalipun. Hal ini justru menyenangkan bagi sebagian masyarakat yang menyaksikan hingga terbentuk definisi bahwa seorang jokowi adalah sosok yang sederhana, bersahabat dan tak memiliki jarak dengan masyarakat.

Kesederhanaan

Setelah mendobrak tabu tradisi presiden terdahulu, jokowi melambung tinggi dengan citra kesederhanaannya. Pada bagian ini saya harus berhati-hati melekatkan penilaian kepada presiden ke tujuh ini.

Sebab, berbicara soal pejabat yang hidupnya sederhana saya tak mau melewatkan tokoh seperti Muhammad Hatta wapres yang bahkan tak mampu membeli sepatu Bally, atau Hoegeng Mantan Kapolri yang tak mampu membeli stick golf dan Baharuddin Lopa mantan Jaksa Agung yang hanya mampu menyicil mobil dari Jusuf Kalla.

Selain dari tiga orang itu, sedalam apa jokowi menerapkan kesederhanaannya? Hanya beliau dan orang terdekatnya yang tahu pasti. Yang jelas selama ini menurut pengamatan saya justru wacana kesederhanaan seorang jokowi menjadi salah satu komoditas politik paling menarik.

Tak dapat dipungkiri dinamika politik di era digital bertalian kuat dengan politik imagologi (Politik pencitraan). Kesederhanaan seorang tokoh publik, pada dasarnya adalah komoditi politik yang sangat ampuh. dan barang tentu citra kesederhanaan seorang jokowi adalah kesenangan bagi sebagian masyarakat, Mengapa demikian?

Sebab, citra kesederhanaan seorang presiden pada substansinya membuat masyarakat merasa terwakili dan sangat dekat dengan pemimpinnya. Sekali lagi kedekatan secara psikologis dengan orang nomor satu adalah sebuah kesenangan.

Mengapa akhirnya harus jokowi lagi? jawabannya karena ia sukses merebut tiga panggung sekaligus: membuat Kebijakan yang menyenangkan, mendobrak tabu tradisi kepresidenan, dan tentu saja, citra kesederhanaannya. Selamat Bekerja Pak Presiden!

Fachrurrozy Akmal
Fachrurrozy Akmal
Ketua Dewan Pembina SIMPOSIUM (Serikat Mahasiswa Penggiat Konstitusi dan Hukum) Sulawesi Selatan, dan Pegiat Literasi dari Perpustakaan Rakyat Simposium Kab Gowa.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.