Gus Dur pernah mengatakan bahwa membiarkan korupsi besar-besaran dengan menyibukkan diri pada ritus-ritus hanya akan membiarkan berlangsungnya proses pemiskinan bangsa yang semakin melaju. Perkataan itu masih terdengar relevan sampai saat ini, di saat korupsi semakin meraja lela dan kebanyakan masyarakat beragama kita terlena dengan ritus-ritus yang bersifat personal.
Maka tak ayal, jika perjuangan dalam pemberantasan korupsi haruslah menghadapi jalan yang panjang dan curam. Terlebih lagi, dengan kenyataan pahit yang harus dihadapi saat ini perihal pelemahan KPK oleh pemerintah dan DPR dengan merevisi UU KPK No. 30 tahun 2002. Sehingga kebijakan tersebut, harus membuahkan pro dan kontra dalam masyarakat kita. Tak terkecuali, dalam tubuh NU sendiri.
Sebagian besar warga NU, seperti yang tergabung dalam FNKSDA (Front Nahdliyyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam), jaringan Gusdurian, dan lainnya, menolak pengesahan RUU KPK, karena dianggap akan merugikan negara dan masyarakat dalam misi pemberantasan korupsi.
Walaupun sikap penolakan sebagian besar kalangan Nahdliyyin itu, tak selamanya selaras dengan sikap Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) yang turut mendukung revisi UU KPK. Kiai Said Aqil pernah mengatakan pada Republika (7/9/19), bahwa beliau mendukung sekali RUU KPK.
Memang selama ini, perbedaan pendapat dalam tubuh NU sendiri telah menjadi hal lumrah. Melihat begitu besarnya pengikut NU di berbagai wilayah, membuat perbedaan pendapat menjadi tak terelakkan dalam menanggapi situasi politik tertentu.
Maka tak mengejutkan, jika ada sebagian besar kalangan Nahdliyyin yang menolaknya, termasuk PCINU Belanda yang merilis pernyataan sikap terkait penolakannya terhadap RUU KPK. Semoga ini menjadi bukti dari pengejawantahan nilai-nilai demokrasi yang selama ini dijunjung tinggi oleh organisasi besar sekelas NU.
Karena itu, meski terdapat perbedaan sikap, keterlibatan NU dalam memerangi korupsi tak dapat dikesampingkan. Dalam buku Jihad Nahdlatul Ulama Melawan Korupsi (2016), Kiai Said Aqil menjelaskan bahwa perjuangan melawan korupsi merupakan perjuangan yang sejalan dengan spirit keagamaan (ruhul jihad). Perang mewalan korupsi bisa disepandakan dengan jihad fi sabilillah.
Dikatakan demikian, karena korupsi merupakan tindakan kejahatan yang luar biasa (extraordinary crime). Korupsi tidak hanya menjadi bagian dari kejahatan dalam negri, melainkan kejahatan lintas batas negara.
Korupsi menjadi masalah Internasional yang mengundang perhatian berbagai negara. PBB melalui Resolusi 58/4, tanggal 31 Oktober 2003, yang dibuka dan ditandatangani pada 9 Desember 2003 di Merida, Meksiko, menerbitkan Konvensi PBB Melawan Korupsi (United Nations Conventions Against Corruption/UNCAC). UNCAC adalah basis hukum untuk menyatakan kroupsi sebagai kejahatan transnasional. Dalam UNCAC, PBB meyakini bahwa “corruption is no longer a local matter but a transnational phenomenon that affects all societies and economies…”
Dalam fiqih Islam, beberapa istilah yang biasa dikaitkan dengan persoalan korupsi di antaranya; sariqah (pencurian), ghulul (penggelapan), risywah (suap), ghashab (mengambil hak milik orang lain), qath uth thariq (perampokan), ikhtilas (pencopetan/penguntilan). Istilah-istilah ini umum diperbincangkan dalam fiqih jinayah (hukum pidana Islam), dan unsur-unsurnya hampir semua ada dalam tindak pidana korupsi. Oleh sebab itu, tindak pidana korupsi sudah sepantasnya mendapatkan hukuman yang berat.
Korupsi merupakan tindakan yang bertentangan dengan prinsip keadilan, karena banyak menimbulkan kerusakan, pemiskinan, kehancuran tatanan kehidupan, dan sebagainya. Hal ini yang diperangi oleh semua agama. Dan di sinilah peranan penting NU dalam memberantas korupsi sebagai perwujudan dari hubbul wathan minal iman.
Selain memerangi intoleransi, NU sebagai organisasi sosial keagamaan terbesar, telah lama turut serta dalam memerangi korupsi. Jihad melawan korupsi ini pun semakin ditegaskan, melalui kerja sama NU dengan KPK, dengan meluncurkan buku Jihad Nahdlatul Ulama Melawan Korupsi tersebut pada tahun 2016.
Namun, komitmen NU dalam memberantas korupsi telah nampak jauh sebelumnya, seperti pada muktamar 1999, yang membahas perihal bagaimana pencegahan wewenang dalam mengelola uang negara. Kemudian tahun 2002 ketika Munas Alim Ulama, perihal tindak pidana bagi koruptor dan politik uang. Pada tahun 2004, NU membahas tentang haramnya hukum suap menyuap.
Pada Muktamar 2010, NU pun mendukung hukuman sadap telepon demi kepentingan pelaksanaan amar ma’ruf nahi munkar dan ada ghalabah adh-dhann (dugaan kuat) atas terjadinya kemaksiatan dan kemungkaran. Serta yang paling kentara, pada Muktamar NU ke-33 tahun 2015 di Jombang Jawa Timur.
Dalam Muktamar NU ke-33 itu, disebutkan beberapa poin di antaranya: Pertama, tindak pidana korupsi dan pencucian uang adalah kejahatan luar biasa terhadap kemanusiaan yang menimbulkan mudarat dalam jangka panjang. NU harus memperkuat garis perjuangan antikorupsi untuk melindungi ulama, jama’ah, dan organisasinya; melindungi hak rakyat dari kezaliman koruptor; dan mendidik para calon pejabat untuk tidak berdamai dengan korupsi dan pencucian uang.
Kedua, sanksi untuk pelaku tindak pidana korupsi dan pencucian uang meliputi sanksi moral, sanksi sosial, pemiskinan, ta’zir, dan hukuman mati sebagai hukuman maksimal. Ketiga, penyelenggara negara yang terlibat tindak pidana korupsi harus diperberat hukumannya. Keempat, negara harus melindungi dan memperkuat semua pihak yang melaksanakan jihad melawan korupsi.
Kelima, NU menolak praktik kriminalisasi terhadap seluruh pegiat antikorupsi. Aparat penegak hukum harus dapat menegakan keadilan dan tidak berlaku sewenang-wenang. Dan yang terakhir, alim ulama dan pondok pesantren wajib menjadi teladan dan penjaga moral melalui pendekatan nilai-nilai dan perilaku anti-korupsi.
Dapat dilihat dari ke-6 poin rekomendasi tersebut, menunjukan secara jelas bahwa NU telah senantiasa melakukan praktik moral melawan korupsi.
Namun, persoalannya, sejauh mana poin-poin rekomendasi itu dapat diwujudkan, terutama dalam situasi saat ini ketika KPK berusaha dilemahkan oleh elit-elit politik dan oligarki? Saya menyadari, bukanlah perkara mudah dalam hal mewujudkannya.
Seperti yang dijelaskan Kiai Said Aqil, dalam Islam, upaya pencegahan dan penindakan terdapat dalam istilah dar’ul mafasid wa jalbul mashalih. Melakukan pencegahan korupsi pada dasarnya merupakan upaya mencegah terjadinya kerusakan (dar’ul mafasid), sedangkan melakukan penindakan dengan menangkap dan menghukum koruptor bisa disebut sebagai upaya jalbul mashalih.
Dalam qawa’id fiqihiyyah terdapat kaidah bagaimana merealisasikan pencegahan dan penindakan itu (darul mafasid muqqadamun ‘ala jalbil mashalih), upaya mencegah kerusakan (pencegahan korupsi) harus didahulukan tinimbang mencari kemashalatan (penindakan korupsi). Disinilah, peran aparat penegak hukum antikorupsi seperti KPK, menjadi sangat dibutuhkan dalam memperkuat upaya-upaya pencegahan korupsi, berserta masyarakat sipil dan organisasi keagamaan seperti NU.
Maka tak pelak lagi, revisi UU KPK yang dilakukan secara tergesa-gesa oleh DPR, sangat menghambat gerak pemberantasan korupsi yang selama ini dilakukan oleh lembaga antirasuah tersebut. Akhirul kalam, menyitir kembali perkataan Gus Dur, “Negeri ini tak akan hancur karena bencana atau perbedaan. Sebaliknya, negeri ini mudah hancur karena moral bejat dan korupsi.”