Hari ini penikmat film tanah air dimanjakan oleh kehadiran salah satu film pahlawan super lokal berjudul Gundala. Film ini merupakan adaptasi dari komik Gundala Putra Petir ciptaan Harya Suraminata alias Hasmi pada tahun 1969. Sutradara kawakan Joko Anwar dipercaya untuk menggarap cerita klasik ini dengan sentuhan yang lebih modern dan kekinian.
Kesuksesan film adaptasi novel sudah banyak dilakukan di Indonesia, beberapa film bahkan berhasil masuk ke dalam kategori box office. Namun, adaptasi komik menjadi sebuah film bisa dibilang masih jarang dilakukan, terutama apabila dibandingkan dengan negara lain seperti Amerika Serikat melalui Marvel Entertainment maupun The Walt Disney Company.
Tidak hanya berhasil memasarkan produknya dalam bentuk film, strategi pemasaran kekayaan intelektual juga dapat mendorong distribusi karakter dalam berbagai format lain seperti acara televisi, permainan video, hingga mainan dan pakaian.
Tidak mau kalah dengan cerita superhero alam semesta buatan luar negeri, beberapa waktu lalu masyarakat sempat dihebohkan dengan adanya pengumuman mengenai Bumilangit Cinematic Universe.
Tingginya antusiasme masyarakat Indonesia terhadap film adaptasi komik luar negeri menjadi cahaya terang bagi produksi serupa termasuk Film Gundala maupun film Bumilangit Cinematic Universe selanjutnya. Meski begitu, dibutuhkan strategi yang tepat agar film ini tidak kalah bersaing dengan film adaptasi karya luar negeri yang mengusung konsep serupa.
Hubungan antara Hak Kekayaan Intelektual (HKI) dan produk kreatif tidak dapat dipisahkan, hal tersebut disadari betul oleh penggarap Film Gundala. Mengutip dari CNN Indonesia, Joko Anwar sebagai sutradara film mengatakan bahwa dengan adanya Film Gundala diharapkan masyarakat Indonesia mulai memiliki kesadaran atas kepemilikan kekayaan intelektual.
Menurut data dari Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) tahun 2017 film, animasi, dan video merupakan subsektor dengan kepemilikan HKI tertinggi sebanyak 21,08% pelaku kreatif yang memiliki HKI terdaftar.
Namun, saat ini banyak pemilik HKI masih fokus pada penjualan produk atau karya kreatif saja padahal manfaat ekonomi juga bisa didapatkan dari upaya pemasaran kekayaan intelektual.
Berdasarkan riset yang dilakukan CIPG, pemasaran kekayaan intelektual sudah menjadi penyokong perekonomian berbagai negara maju termasuk Amerika Serikat. Keberhasilan Amerika dalam dalam mengembangkan sektor kreatif didukung oleh adanya inisiatif promosi produk kreatif dari pelaku bisnis yang kemudian mempengaruhi jangkauan pasar. Terwujudnya hal tersebut juga tidak lepas dari dukungan pemerintah dalam menciptakan iklim perdagangan yang kondusif melalui berbagai regulasi.
Pada dasarnya terdapat dua bentuk pemasaran HKI yang menjadi strategi jitu pelaku bisnis dalam melakukan penetrasi pasar produk kreatif, yaitu perlindungan merek dagang (trademark protection) dan kegiatan lisensi. Perlindungan merek dagang memungkinkan pemilik HKI memperoleh manfaat ekonomi dari penjualan karyanya. Kemudian, komersialisasi karya kreatif juga dapat dilakukan melalui aktivitas perjanjian lisensi.
Sayangnya, riset CIPG menemukan bahwa pemilik HKI di Indonesia belum secara optimal mendapatkan manfaat kekayaan intelektual padahal kualitas karya kreatif Indonesia tidak kalah dengan karya dari negara lain.
Hal tersebut disebabkan karena kebanyakan praktik lisensi yang dilakukan oleh pelaku bisnis di Indonesia masih menggunakan karya dari negara lain. Padahal, Indonesia memiliki potensi ekonomi kreatif yang menjanjikan, dibuktikan dengan semakin meningkatnya kontribusi ekonomi kreatif terhadap perekonomian nasional pada tahun 2010-2016.
Kehadiran Film Gundala memberikan angin segar bagi peningkatan potensi pemasaran HKI di Indonesia. Saat ini, hak cipta atas Gundala dipegang oleh Bumilangit Studios yang juga menaungi lebih dari 1.100 kekayaan intelektual utamanya komik dan karakter.
Tidak hanya diangkat dalam bentuk film, manfaat ekonomi atas kekayaan intelektual dari Gundala juga dikembangkan melalui pembuatan Webtoon atau komik daring yang diproduksi di bawah lisensi perusahaan yang sama. Kemudian, komik Gundala juga akan kembali dirilis dengan mengangkat cerita berbeda dengan komik buatan Hasmi. Komersialiasi HKI pun dilakukan oleh Bumilangit Studios dengan menjual produk fesyen serta alat tulis dan alat makan bertemakan Gundala.
Hal ini menunjukan adanya kemajuan dalam upaya pemasaran aset kekayaan intelektual oleh pemilik HKI di Indonesia. Strategi lisensi membuka peluang pasar baru di samping keuntungan yang mungkin didapat dari produksi film.
Melalui Film Gundala dan Bumilangit Cinematic Universe diharapkan dapat membuka kesempatan bagi pemiliki HKI karya kreatif di Indonesia untuk mendapatkan nilai tambah ekonomi dari ciptaannya tidak hanya di pasar domestik tapi juga di pasar internasional. Di Indonesia sangat mudah ditemui film-film buatan negara lain seperti Amerika, India, Korea dan Thailand, dengan segala keunggulan dan potensi yang dimiliki oleh Indonesia sepatutnya film buatan anak bangsa juga bisa diterima oleh masyarakat internasional.
Mesi begitu masih banyak pekerjaan rumah yang perlu diselesaikan dalam rangka meningkatkan pemasaran HKI buatan anak bangsa. Peran pemerintah didukung oleh asosiasi eksportir film masih dibutuhkan untuk membentuk iklim kondusif bagi pemasaran HKI terutama dalam rangka mengubah perspektif masyarakat terhadap komersialisasi kekayaan intelektual.