Penegasan sikap partai untuk menjadi oposisi mulai diperbincangkan setelah penetapan presiden dan wakil presiden terpilih oleh Komisi Pemilihan Umum pada 29 Juni lalu. Para elite politik partai angkat suara untuk rekonsiliasi paska tiga kali berturut-turut tumbang. Khususnya Gerindra dan PKS sebagai partai paling konsisten dalam hal ini.
Aroma rekonsiliasi mulai membungkus wacana politik nasional. Perceraian antara Prabowo Subianto dengan Persatuan Alumni 212 seakan memberikan sinyal bahkan oposisi seperti tidak konsisten dan terkesan lemah. Entah karena lelah tampil di luar pemerintahan ataukah para elite politik mulai miskin jabatan. Entahlah.
Jika merujuk pada pengertian sebenarnya, oposisi diartikan sebagai pihak yang tidak berada di lingkaran kekuasaan. Pemerintahan parlementer menjadi wadah paling efektif memainkan kritik terhadap eksekutif. Jika dibawa dalam konteks demokrasi, peran aktif oposisi menjamin keseimbangan politik nasional.
Menurut Firman Noor dalam artikelnya di jurnal LIPI berjudul ‘Oposisi Dalam Kehidupan Demokrasi’, mengemukakan oposisi merupakan bagian penting dari demokrasi yang berfungsi melakukan kritik dan kontrol atas sikap, pandangan, atau kebijakan pemerintah berdasarkan pada perspektif ideologis.
Dikuatkan lagi menurut ilmuwan politik, Ian Shapiro dalam bukunya yang berjudul the Moral Foundation of Politics (2003) mengemukakan Demokrasi tidak akan maju dan berkembang tanpa kehadiran oposisi. Demokrasi hanya akan dapat berkembang dengan dinamisnya kontestasi gagasan antara pemerintah dan oposisi.
Setelah Joko Widodo-Ma’ruf Amin ditetapkan sebagai presiden dan wakil presiden terpilih, banyak yang beraharap Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno tetap berdiri pada posisinya sebagai oposisi. Walaupun beberapa partai koalisi memilih bergabung dengan partai pemenang, masih ada harapan pemerintahan lima tahun akan datang tetap berjalan pada koridor yang sebenarnya.
Namun pada faktanya, keseimbangan itu sedikit menjauh dari harapan. Penegasan oposisi Partai Gerindra seakan luntur dengan lobi-lobi kursi menteri. Sementara PKS tetap teguh pada pendirian dan memiliki pandangan berbeda dari partai Koalisi Probowo-Sandi.
Prabowo Subianto menyatakan dengan tegas kepada para pendukungnya bahwa akan terus memperjuangkan cita-cita yang selama ini diperjuangkan. Bisa melalui forum legislatif maupun forum lainnya. Sementara PKS ingin mempertahankan Koalisi Adil Makmur pendukung Prabowo Subianto-Sandiaga Uno dengan menjadi oposisi terhadap pemerintahan Jokowi-Ma’ruf Amin.
Keseimbangan politik semakin menjauh saat Amien Rais angkat bicara soal bagi – bagi kursi dengan formula 55 persen berbanding 45 persen sesuai perolehan suara masing-masing kubu di Pilpres 2019 sebagai sarat rekonsiliasi. Awalnya Amien Rais paling getol mengkritisi lewat untaian kalimat pedas nan keras. Entah kenapa Amien Rais bisa seperti itu.
Sulit rasanya mengukur konsistensi oposisi di Indonesia. Di saat aura kritik menggema di seluruh pelosok nusantara, agenda perlawanan tersusun secara sistematis, ratusan komunitas senasib bergabung dalam satu frame gerakan PrabowoPresiden2019, seketika berantakan hanya persoalan piring makan. Apa yang salah dari Pilpres 2019?
Di sisi lain, ada baiknya bergabung di pemerintahan meski bukan bagian dari Koalisi partai pemenang dengan dalil sistem pemerintahan presidensial yang mana dalam pembentukan pemerintahan hak prerogatif presiden. Ini sudah jadi hukum mutlak Presiden dan tidak dapat diganggu gugat oleh siapa pun.
Tapi apakah benar pemerintahan bisa terbentuk secara teoritis? Mengingat politik sangat dinamis dan fleksibel. Bisa dibilang pesimis jika Presiden Jokowi mengambil kader dari partai oposisi mengisi kursi kabinet ditengah jutaan pendukung yang telah bersusah payah memenangkan Presiden Joko Widodo.
Fakta sebenarnya, konsep teknis bagi-bagi kursi memprioritaskan kepada para pendukungnya. Sungguh tidak mungkin posisi strategis diberikan kepada partai oposisi. Kalaupun hak prerogatif mengedepankan asas kebersamaan dengan bersandar pada kompetensi sumber daya manusia, bisa dipastikan akan berbenturan dengan sumber daya manusia dari partai pendukung.
Memang konsep teknis bagi-bagi kursi tidak sebatas pada pengisian kabinet, tapi seluruh segmen paling terkecil juga bisa diisi oleh partai oposisi, seperti posisi direktur jenderal, lembaga-lembaga independen, dan komisaris badan usaha milik negara.
Namun, apakah partai oposisi sekelas Partai Gerindra dan PKS mau ditempatkan pada posisi itu? Hemat saya, sulit dan tidak mungkin terjadi. Kalaupun ada, mereka adalah kader “ecek-ecek” dan tidak masuk dalam hitungan elit politik.
Tapi lagi Wakil Ketua Majelis Syura PKS, Hidayat Nur Wahid memperjalas bahwa rekonsiliasi bukanlah bagi-bagi jabatan. Jika bukan bagi-bagi jabatan, apa manfaat rekonsiliasi itu? Rekonsiliasi tanpa kursi sama artinya sayur tanpa garam.