Sabtu, November 9, 2024

Fintech, Sebuah Teror Kemiskinan

Dhanny Sutopo
Dhanny Sutopo
Pengajar pada fakultas ilmu sosial dan ilmu politik (FISIP) Univ. Brawijaya Malang, sedang menempuh program doktoral pada Universitas Airlangga
- Advertisement -

Musim semi tengah dialami bisnis jasa keuangan berbasis teknologi, berdasarkan data hingga Februari 2019 telah tercatat 99 perusahaan. Padahal, per September 2018 masih sekitar 67 perusahaan tersebut yang membukukan namanya secara resmi di Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Dari jumlah itu, mayoritas adalah perusahaan fintech berbasis P2P lending. Dan gelontoran dana yang disalurkan per Januari 2019 telah mencapai Rp 25,92 Triliun (Kumparan.com, Februari 2019).

Padahal, jika merujuk data OJK semester I-2018, penyaluran kredit fintech P2P lending “masih” Rp 7,64 triliun. Bahkan jika disandingkan data 2015 jumlah itu begitu meroket, sebab pada tahun tersebut masih diangka Rp 200 miliar.

Namun seiring warta merdu tersebut, ada kabar yang tak sedap tersaji bahwa berdasarkan data Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, sampai dengan akhir tahun 2018, telah mendapat sekitar 10 jenis aduan dari 283 orang sejak 2016 terkait pelanggaran yang dilakukan perusahaan teknologi finansial (fintech), khususnya pinjam-meminjam.

Keluhannya, mulai dari bunga tinggi yang mencekik dan tak transparan hingga cara penagihan kasar yang dianggap tak sesuai Hak Asasi Manusia (HAM).

Memang bunga pinjaman yang membumbung tinggi adalah mata air persoalan yang paling deras, hingga jasa keuangan berbasis tehnologi tersebut seolah menjadi rentenir digital.

Rupanya fenomena tersebut seolah juga menjadi perhatian dunia bisnis internasional. Terbukti sebuah artikel bertajuk “For 51%, It’s Worth Living Dangerously in Indonesia” muncul di media yang banyak membahas tentang dunia bisnis (Bloomberg,11/11/2018). 

Sebuah opini mengenai ekspansi perusahaan financial berbasis tehnologi di Indonesia. Negeri ini rupanya tengah jadi “sorga baru” bisnis keuangan berbasis teknologi (fintech).

Ratusan perusahaan pinjaman keuangan dengan bunga raksasa tersebut, sebelumnya tengah menikmati kegiatannya di China namun derasnya persoalan yang dialirkan disana hingga memakan banyak korban, membuat pemerintah setempat memperketat bahkan menghentikan praktek rentenir digital tersebut.

Hal tersebut bahkan mengakibatkan merosotnya harga saham salah satu perusahaan jasa fintech yang cukup besar yakni Qudian Inc. China setelah listing di bursa New York dengan meraup USD 1 miliar. Hingga Industri fintech dengan platform pinjaman secara online ini bertumbangan.

- Advertisement -

Akibatnya, terjadi kepanikan di industri fintech China yang memiliki sekitar 50 juta pengguna terdaftar dan 1,3 triliun yuan atau setara USD 192 miliar pinjaman yang belum dilunasi.

Negara berpenduduk 260 juta orang ini adalah tempat yang sempurna untuk produk-produk fintech, mulai dari kartu kredit digital hingga kreditur peer-to-peer (pinjaman online).  Kondisi penduduk cukup mendukung membiaknya bisnis komoditas keuangan tersebut sebab, hanya separuh dari penduduk berusia di atas 15 tahun memiliki rekening bank, sementara hanya dua persen yang memegang kartu kredit.

Disempurnakan lagi bank-bank tradisional tidak tertarik untuk memasuki ruang konsumen dan pinjaman mikro. Sebab keuntungan perbankan nasional dari margin bunga bersih telah cukup menafkahinya. Berdasarkan data net interest margins atau margin bunga bersih perbankan kita adalah paling tinggi sekawasan, dibandingkan Philipina, Malaysia dan Singapura. rata-rata 5,1 persen direguk perbankan kita.

Perempuan dan kemiskinan

Bila jumlah korban dari sepak terjang pinjaman digital kita bentangkan, mayoritas yang tertindih persoalan adalah kaum perempuan. Berdasarkan beberapa studi jelaga persoalan kemiskinan di Indonesia lebih kepada masalah feminisasi kemiskinan yang merupakan sebuah kenyataan dimana sebagian besar angka kemiskinan diisi oleh kaum perempuan dan kaum perempuan lebih menderita karena kemiskinan dibandingkan oleh laki-laki (Cahyono, 2005; Chant, 2007 dalam (Andari, 2011, hal. 311).

Dari data United Nation (1997) dikemukakan bahwa situasi kemiskinan yang paling hebat terjadi di negara-negara berkembang, di mana terdapat sekitar 1,3 miliar warga dunia yang miskin, 70 persen di antaranya adalah kaum perempuan.

Kondisi ini didukung data yang dikemukakan ILO (2004), yaitu: terdapat 550 juta pekerja miskin di dunia, atau orang yang tidak mampu mengangkat dirinya dan keluarga mereka berpenghasilan di atas USD 1 per hari. Dari jumlah tersebut, terdapat sekitar 330 juta atau 60 persen adalah perempuan (Kumurur, 2009, hal. 74).

Pemiskinan perempuan (feminisasi kemiskinan) dapat dilihat dari berbagai aspek. Aspek yang pertama adalah akses perempuan terhadap pekerjaan dimana terjadi diskriminasi pekerjaan, peraturan tentang hak bekerja perempuan yang dianggap merugikan perusahaan serta rendahnya partisipasi perempuan di sektor formal.

Aspek lainnya adalah pembagian kerja perempuan, selain pekerjaan domestik/rumah tangga seperti mencuci piring, mencuci pakaian, menjaga anak dan membersihkan rumah, pada kenyataannya di kota besar seperti Jakarta, perempuan harus ikut serta bekerja di ranah publik untuk menambah biaya kehidupan keluarganya.

Disinilah gerbang petaka dimulai, lubang kebutuhan yang harus ditambah oleh para perempuan (baca: ibu rumah tangga) seolah menjadi gayung bersambut dengan bisnis jasa keuangan digital.

Dengan persyaratan mudah, tanpa survei kelayakan nasabah bahkan tanpa agunan disempurnakan dengan pencairan pinjaman yang singkat melalui transfer ke rekening nasabah. Beberapa kemudahan memang tidak berbanding lurus dengan bunga atau jasa dari pinjaman.

Bunga raksasa yang menurut artikel pada Bloomberg, hingga mencapai 51 persen dari pinjaman yang kita terima adalah aturan yang harus ditunaikan. Dan pada akhirnya kemudahan yang diberikan bagi jasa keuangan digital diawal pengajuan justru berakhir menjadi bencana.

Maka rasanya selain kita berharap terhadap pemerintah untuk terus memberikan kemudahan modal usaha bagi para pelaku ekonomi mikro agar tidak tersandera para rentenir, dan pengawasan ketat terhadap perusahaan jasa pinjaman berbasis tehnologi pantang disurutkan

kesadaran pribadi harus kita tumbuhkan. Bahwa pinjaman online dengan segala kemudahannya harus dipikir terlebih dahulu sebelum memutuskan mengajukan pinjaman. Sebab langkah tersebut bukan solusi mengatasi persoalan keuangan.

Dhanny Sutopo
Dhanny Sutopo
Pengajar pada fakultas ilmu sosial dan ilmu politik (FISIP) Univ. Brawijaya Malang, sedang menempuh program doktoral pada Universitas Airlangga
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.