Sudah banyak fenomena politik praktis terjadi, setidaknya di tingkat nasional, yang menguatkan tesis bahwa politik sejatinya merupakan seni dari segala kemungkinan yang ada (the art of the possible).
Dari sudut pandang itu maka dapat dipahami jika berbagai hal yang tidak dipikirkan sebelumnya bisa saja memiliki peran, kuasa, dan pengaruh yang besar dalam politik. Sebaliknya, hal yang dianggap ideal justru tidak menjadi jaminan bahwa itu akan berjalan dalam dinamika politik praktis.
Berbagai kemungkinan itu tentu tidak terlepas dari kepentingan (political interest) yang ingin dituju dari setiap elit politik. Sehingga, kepentingan menjadi unsur sentral dalam politik.
Diplomasi kuliner telah menjadi salah satu cara yang ditempuh untuk mencapai berbagai kepentingan elite politik. Jamuan hangat yang dipersiapkan Megawati Soekarnoputri kepada Prabowo Subianto di kediamannya pada Rabu (24/7) tentu mengandung berbagai kepentingan implisit didalamnya.
Hal yang sama berlaku juga pada Anies Baswedan yang makan siang bersama Surya Paloh di DPP Partai NasDem, Jakarta. Keempat tokoh yang jika ditilik memiliki latar belakang politik yang saling bersebrangan namun dapat dipersatukan oleh hal sederhana: meja makan.
Juga tidak selalu bersoal tentang berbagai lobi demi kepentingan politik, diplomasi kuliner juga dilakukan sebagai upaya rekonsiliasi politik. Tentu kita masih mengingat di mana pertemuan antara Joko Widodo dan Prabowo Subianto pada Sabtu (13/7) terjadi di Stasiun MRT Lebak Bulus dan dilanjutlkan dengan makan siang bersama di restoran.
Tiga Model
Dalam kajian hubungan internasional setidaknya ada tiga model yang menjelaskan keterkaitan antara kuliner dan diplomasi di antara dua tokoh dan bahkan dua negara. Rockower dalam karya bertajuk Recipes for Gastrodiplomacy (2012) menerangkan bahwa diplomasi kuliner (culinary diplomacy) merupakan sebuah usaha memperkuat hubungan bilateral atau usaha mempengaruhi satu dengan yang lain melalui jamuan makan yang melibatkan pejabat negara lain.
Sebaliknya, jamuan makan yang lebih bersifat vertikal, antara pemerintah dengan masyarakat umum disebut citizen culinary diplomacy. Cara ini dipandang Rockower sebagai oasis di tengah banyak model negosiasi yang bersifat formal dan cenderung kaku.
Definisi itu yang membedakan diplomasi kuliner dengan gastrodiplomasi (gastrodiplomacy). Itu merupakan pendekatan dialogis yang dilakukan suatu negara kepada negara lain untuk menawarkan pesona kulinernya sebagai produk kebudayaan. Berbeda pula dengan diplomasi makanan (food diplomacy) yang lebih bersifat humanis. Diplomasi makanan adalah bentuk bantuan berupa makanan dari suatu negara kepada negara yang mengalami kekurangan pangan atau gizi buruk.
Kesamaan yang terletak pada ketiganya yakni makanan yang terhidang bagi kedua belah pihak. Makanan, satu hal yang lumrah kita temukan, nampak memiliki peranan penting. Ia nyatanya bisa digunakan sebagai alat untuk membangun hubungan antara negara, kerja sama, juga alat untuk mencapai perdamaian.
Namun tak menutup kemungkinan untuk munculnya kritik. Berbagai kajian mengenai diplomasi kuliner dipandang masih terlalu state-centered di mana pemerintahan baik yang terepresentasi dalam lembaga maupun personal yang berhak menjalankan diplomasi kuliner. Padahal, sebagaimana sudah disampaikan pada awal tulisan ini, diplomasi kuliner juga dilakukan oleh banyak tokoh politik.
Hal itulah yang mendasari kritik Mark dalam A Greater Role of Cultural Diplomacy (2003). Ia menyebutkan bahwa tindakan pemerintah sebagai aktor tunggal dalam berbagai model aktivitas diplomasi kuliner justru dapat dinilai audiens sebagai tindakan penyampaian pesan secara subjektif yang bertujuan untuk memengaruhi pendapat dan kelakuan masyarakat atau sekelompok orang (propaganda). Sudah seharusnya diplomasi ini mereduksi dominasi aktor negara demi menghilangkan stigma negatif itu.
Diplomasi Kuliner sebagai Soft Power
Salah satu tokoh yang setia menggunakan diplomasi model ini adalah Joko Widodo. Bahkan, hal itu sudah dilakukan sejak ia menjabat sebagai Walikota Solo. Citizen culinary diplomacy berhasil Joko Widodo jalani ketika ia merelokasi ratusan pedagang kaki lima yang berada di sekitar Monumen 45 Banjarsari. Tak tanggung-tanggung, lima puluh empat kali makan siang telah diselenggarakan sebagai bentuk dialog yang solutif dan tentunya nirkekerasan.
Disitulah, jika dikaitkan dengan pendekatan yang digagas oleh Nye dalam Soft Power and American Foreign Policy (2004), bahwa diplomasi kuliner merupakan suatu kekuatan yang halus (soft power). Sebuah pendekatan yang bukan dijalani dengan menggunakan ancaman, kekerasan, dan perang, namun menghadirkan ruang dialogis-solutif.
Tentu model ini sangat cocok dengan karakteristik Bangsa Indonesia yang dikenal beradab dan santun serta mengedepankan perdamaian. Terlebih, diplomasi kuliner dipandang menciptakan ruang dialog dalam menghadapi suatu permasalahan. Maka secara tidak langsung, pengamalan tindakan musyawarah dalam mencapai mufakat terkandung dalam aktivitas diplomasi kuliner.
Fenomena munculnya diplomasi kuliner yang dijalani berbagai elit politik di Indonesia baru-baru ini tentu menjadi angin yang segar bagi segenap masyarakat. Di meja makan, ada segenap harapan agar tercipta rekonsiliasi politik diantara kubu-kubu yang bersitegang sehingga tensi politik yang sempat meradang ini dapat segera mencair.
Di meja makan yang sama pula, terselip suatu harapan agar kiranya bukan kesepakatan-kesepakatan jahat yang tercipta disana. Tesis politik sebagai seni dari segala kemungkinan tidaklah diterjemahkan sebagai satu bentuk menghalalkan segala cara dalam mencapai kepentingan, namun sebagai suatu ruang yang memungkinkan terciptanya kesejahteraan bersama melalui berbagai cara unik yang terus menerus diusahakan oleh para elit politik, salah satunya melalui diplomasi kuliner.