Jumat, Oktober 11, 2024

Dinamika Politik Islam di Indonesia

Jacko Ryan
Jacko Ryan
Mahasiswa Ilmu Politik di Universitas Airlangga, Surabaya. Dapat dihubungi di jacko.ryan-2017@fisip.unair.ac.id.

Masa orde lama yang dimulai saat negara Indonesia terbentuk menunjukkan keharmonisan hubungan antara pemerintahan dan agama (Islam). Hubungan baik tersebut diperkuat dengan dibentuknya Kementrian Agama yang bertugas mengurusi keagamaan bagi agama Islam.

Perhatian pemerintah tersebut memuncak ketika dibentuknya Masyumi sebagai wadah organisasi politik kelompok Islam untuk dapat menyuarakan aspirasi mereka. Masyumi, pada awal-awal pembentukannya mendapat respon yang baik dan positif dari masyarakat. Hal tersebut setidaknya terbukti dari didapatkannya suara yang banyak dalam berbagai pemilihan umum tingkat regional seperti di Jawa (tahun 1946) dan Yogyakarta (tahun 1951).

Surutnya kekuatan tersebut harus terjadi ketika perpecahan internal terjadi di dalam tubuh Masyumi. NU yang keluar dari Masyumi. Sikapnya yang tidak menghormati ulama dan jatah menteri agama dipandang NU bahwa ada ketidakadilan yang dilakukan Masyumi.

Selanjutnya, pendukung Masyumi seperti Muhammadiyah, Mathla’ul Anwar, al-Ittihadiyah, al-Jami’ah al-Washliyah, al-Irsyad, dan Persis secara satu per satu keluar dari Masyumi. Akhirnya, Masyumi harus berakhir pada 1960 karena Soekarno menuduh para tokoh didalamnya terlibat dalam pemberontakan PRRI dan menghasilkan keputusan pembubaran Masyumi.

Perpecahan internal yang ada di tubuh Masyumi tidak merupakan faktor tunggal yang mereduksi hubungan agama (Islam) dan pemerintah saat itu. Soekarno yang justru memperlihatkan otoritasnya sebagai penguasa berdampak pada partai-partai Islam yang mengalami kemerosotan. Melihat keadaan itu, PKI kemudian memanfaatkan keadaan itu dengan melakukan pergerakan politisnya.

Islam dan Orde Baru

Pada tahun awal kemunculannya, hubungan keduanya, Islam dan orde baru dipandang demikian erat. Berbagai peran, salah satunya yakni mengeliminasi atau menetralisasi kekuatan Partai Komunis Indonesia (PKI), telah membuat Islam sebagai kekuatan yang sangat menentukan disamping ABRI. Dari hal tersebut, muncul pengharapan para pemimpin dan praktisi politik Islam pada rezim ini. Terlebih dengan diizinkannya Masyumi dan Piagam Jakarta.

Harapan tersebut nampaknya kian memudar. Tindakan rehabilitasi Partai Masyumi, keterlibatan tokoh pemerintah dalam panggung politik Islam modernis, penolakan mantan tokoh-tokoh Masyumi aktif dalam Parmusi dan penolakan pengesahan Piagam Jakarta pada sidang MPR Maret 1968 menjadi secuplik realitas yang menyimpulkan bahwa Orde Baru dipandang tidak lagi bersahabat dengan Islam.

Effendy (2000: 107) menyebutkan bahwa ada keterkaitan dengan depolitisasi politik yang terjadi pada masa Orde Baru dengan usaha mereduksi Islam (sekularisme atau depolitisasi Islam).

Berbagai tindakan yang dilakukan pemerintah seperti penyederhanaan partai yang ada, kooptasi berbagai lembaga kemasyarakatan, menyederhanakan berbagai organisasi politik dan mengontrol pendirian ormas agama menjadi cara pemerintah untuk membangun negara menjadi dominan dan hegemonik, sehingga Islam, salah satunya, harus mengalami depolitisasi dan sekularisme.

Ciri sekularisasi setidaknya terdiri dari tiga tahap: (1) simbol-simbol agama di dalam politik yang direduksi, bahkan cenderung dihilangkan, (2) berkurangnya peran agama dan kekuatan yang berkaitan dengan agama (deferentiation, societalization, and rationalization) dan pada tingkat yang terparah yakni (3) matinya agama dalam masyarakat.

Dari ketiga tahap itu, Marijan menyimpulkan bahwa sekularisasi bermakna adanya pemisahan antara domain negara yang merupakan publik dengan domain agama yang merupakan privat (Marijan, 2010: 311).

Keadaan seperti itu yang diyakini terjadi di Indonesia pada masa Orde Baru diperkuat dengan terjadinya pelarangan partai-partai politik yang secara khusus didasarkan pada agama tertentu dan keharusan organisasi agama untuk berazas Pancasila. Fenomena tersebut yang disebut Marijan sebagai kulturalisasi agama karena agama dipandang sebagai fakta kultural dan bukan fakta politik (Marijan, 2010: 306).

Islam dan Reformasi

Semangat demokrasi dan menguatnya kebebasan berpolitik pada pasca Orde Baru setidaknya membuka sekat sekularisasi dan depolitisasi Islam di Indonesia. Marijan (2010:318) menyebutkan bahwa terbukanya kembali pengaruh agama di dalam politik, justru memperlebar kembali perjuangan untuk mengembalikan nilai-nilai agama dalam kehidupan bernegara. Karenanya, reformasi dipandang sebagai sebuah awal periode kebangkitan kembali politik Islam di Indonesia.

Hal tersebut yang dimaknai Fealy (2004:112) sebagai munculnya kelompok islam yang radikal karena memanfaatkan iklim keterbukaan yang menguat pada masa reformasi. Karenanya, para aktivis Islam yang sebelumnya melakukan gerakan bawah tanah pada masa Orde Baru, justru pada masa ini memiliki keberanian untuk memunculkan diri.

Disamping itu, berbagai masalah multidimensional seperti korupsi, kemiskinan, inflasi, dan lain-lain menjadi dasar diterimanya gagasan Islam radikal, yakni diterapkannya syariah Islam sebagai ideologi karena bagi mereka itulah solusi dari berbagai masalah tersebut.

Setidaknya dalam tipologi partai-partai Islam yang dibuatnya, terlihat bahwa ada kelompok partai yang ingin memperjuangkan nilai islam ke dalam perundangan dan kebijakan negara (moderate formalist islamic) seperti PPP.

Perkembangan dari model tersebut, disebut Fealy sebagai usaha partai politik yang menghendaki diterapkannya syariah Islam secara komprehensif karena sifat ajarannya yang menyeluruh atau kaffah (radical formalist islamic parties). Tidak selalu bernilai negatif, tipologi partai Islam yang digagas Fealy ini justru menujukkan makna yang positif yakni terjadinya repolitisasi Islam semenjak sebelumnya terjadi depolitisasi Islam pada masa Orde Baru.

Tidak hanya dalam partai, Zada (2002:71-73) menyebut bahwa tipologi tersebut muncul juga dalam kalangan umat Islam. Pertama, mereka yang memiliki orientasi kebangsaan lebih besar daripada orientasi keagamaan. Kedua, mereka yang menjadikan Islam sebagai ideologi, yang manifestasinya berbentuk pelaksanaan ajaran agama (syariat) secara formal sebagai hukum positif. Ketiga, yakni mereka memiliki orientasi seimbang antara wawasan Islam dan kebangsaan sebagai jalan tengah diantara dua tipologi sebelumnya.

Dari penjabaran di atas, terlihat bahwa hubungan negara dan agama (Islam) di ketiga masa pemerintahan mengalami pasang-surut dan memiliki karakteristiknya tersendiri. Orde Lama yang menguat pasca terbentuknya Masyumi dan kemudian surut ketika muncul otoritas Soekarno dan PKI.

Orde Baru yang menguat ketika agama yang menetralisir kekuatan PKI namun harus surut kembali ketika berbagai kebijakan Soeharto yang sekular dinilai menyebakan depolitisasi Islam. Selanjutnya, atas nama demokrasi, pengaruh Islam dalam negara menjadi menguat di masa Reformasi. Namun, lebarnya keterbukaan tersebut menggiring terbentuknya aliran yang radikal.

Referensi

  1. Effendy, Bahtiar. 2000. (Re)politisasi Islam, Pernahkah Islam Berhenti Berpolitik?
  2. Marijan, Kacung. 2010. Sistem Politik Indonesia, Konsolidasi Demokrasi Pasca-Orde Baru
  3. Fealy, Greg. 2004. Islamic Radicalism in Indonesia: the Faltering Revoval?
  4. Zada, Khamami. 2002. Islam Radikal, Pergulatan Ormas-Ormas Islam Garis Keras di Indonesia
Jacko Ryan
Jacko Ryan
Mahasiswa Ilmu Politik di Universitas Airlangga, Surabaya. Dapat dihubungi di jacko.ryan-2017@fisip.unair.ac.id.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.