Belum lama ini umat Islam di Indonesia mendapat kabar gembira atas raihan kemenangan gemilang Syamsuri Firdaus, Mahasiswa UI asal NTB, yang dinobatkan sebagai Juara 1 Lomba qiroatul quran pada ajang MTQ Internasional ke-7 di Istanbul Turki.
Atas raihan tersebut, Presiden Turki Erdogan, tak segan-segan mengundang Syamsuri untuk menemuinya sebagai wujud apresiasi khusus dari sang Presiden atas keberhasilannya menjadi yang terbaik di antara 68 negara kompetitornya. Sebagai salah satu dari jutaan orang Muslim di Indonesia, saya turut bangga.
Sejak tahun 2013 hingga sekarang, ada salah satu stasiun televisi mainstream di Indonesia yang menggelar kompetisi lomba menghafal Alquran (hifzul quran) yang diikuti oleh 30 peserta berusia kisaran 5-10 tahun. Acara tersebut menjadi daya tarik tersendiri bagi penggemar acara pertelevisian di Indonesia.
Terbukti, pada tahun 2014, acara tersebut meraih penghargaan sebagai “Program Acara Ramadhan Terbaik” oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Sesaat, Saya membayangkan jika menjadi orang tua dari salah satu “Hafiz Cilik” yang sedang berlomba tersebut.
Sudah pasti saya amat bangga dan tak henti-hentinya mengucapkan syukur kepada Tuhan. Betapa tidak, menjadi salah satu orang tua yang punya anak berprestasi karena kebaikannya, bukan karena kriminal ataupun karena sensasi. Apalagi kebaikannya berkaitan langsung dengan Kitab Suci yang saya pedomani selama ini. Lantunan kata syukur alhamdulillah tak henti-hentinya terucap dari lisan dan hati.
Tanggal 28 Juli nanti, saya menjadi salah satu kontingen peserta dalam event perlombaan dua tahunan yang diadakan oleh Menristekdikti mewakili kampus saya. Dalam event perlombaan tersebut, terdapat lomba menghafal Alquran yang terbagi menjadi beberapa kategori jumlah hafalan yang diperlombakan, 5 juz, 10 juz, 20 juz dan 30 juz. Pada event tersebut, saya mengikuti ajang perlombaan lain (karena ada beberapa ajang lomba yang dihelat) karena saya tau diri, hanya beberapa gelintir ayat Alquran saja yang masih saya ingat.
Juz 30 saja terkadang saya masih suka lupa. Namun saya tetap turut bangga, karena masih mempunyai teman-teman sekontingen yang bisa mewakili kampus saya pada lomba hafalan Alquran tersebut sesuai kategori yang ditentukan. Hadiah dari lomba Hafalan Alquran tersebut bisa dibilang fantastis. Jika saya hitung-hitung, kira-kira bisa meng-cover uang makan harian saya hingga 7 bulan ke depan. Fantastis bukan?
Namun dari segenap rasa bangga dan bahagia yang saya utarakan di atas, terselip rasa sedih, galau, miris dan perihatin yang cukup mendalam. Jika saya buka apa penyebabnya, pasti kalian semua juga turut merasakan apa yang saya rasakan.
Dari banyaknya prestasi yang ditorehkan dari hasil interaksi umat Islam dengan Alquran, kenapa umat Islam per hari ini masih saja terpuruk, gampang diadu domba, gampang dimanfaatkan, masih banyak umat Islam yang miskin papa dan masih terjadi konflik antar negara Islam?
Kenapa umat Islam masih saja tertinggal secara IPTEK dari Barat? Bukankah Barat yang mayoritas beragama Kristen/Katolik itu tidak ada ajang lomba hifzul/qiroatul bibel ? kenapa mereka bisa begitu maju? Bukankah berinteraksi dengan Alquran, baik membaca/menghafalnya, itu mulia dan dijamin bahagia dunia akhirat? Kenapa Barat masih saja mendominasi dunia, dan Islam malah terbelakang?
Dari hasil perenungan mendalam, saya menyadari bahwa mayoritas umat Islam belum menjadikan Alquran sebagai sebenar-benarnya kitab suci yang mengandung hidayah. Sebagaimana yang disebutkan di surat Al-Baqoroh ayat 2, Alquran itu hidayah (petunjuk). Petunjuk untuk meraih kebahagiaan dunia dan akhirat.
Tidak hanya kebahagiaan akhirat saja, kebahagiaan di dunia juga harus dinikmati oleh segenap umat Islam. Sebagaimana yang dikatakan Nabi bahwa tidaklah baik orang lalai terhadap urusan dunianya karena sibuk mengurusi akhiratnya. Umat Islam harus menjadi umat yang terdepan dan berprestasi di segala lini kehidupan.
Untuk menguasai peradaban dunia, sudah pasti saratnya ialah penguasaan terhadap IPTEK yang hingga kini masih dalam cengkraman dominasi Barat. Model Interaksi dengan Alquran, yang jamak dijalani dan diyakini per hari ini, masih sebatas membaca dan menghafal. Alquran memang akan datang sebagai Syafaat bagi para pembacanya kelak di hari kiamat, ganjaran pahala juga membanjiri para pembaca Alquran.
Menghafalnya pun demikian, ganjaran surga dan berbagai kebaikan lain akan didapat. Tapi apakah hanya dengan itu umat Islam mampu mendatangkan kejayaan kembali setelah hampir 18 abad absen darinya? Maka Alquran di sini berperan penting menjadi pondasi dasar penyokong bangunan spirit, etos dan ghiroh meraih peradaban melalui penguasaan IPTEK.
Saat ini, kesadaran keilmuan di dunia Islam masih didominasi oleh sentripetal yaitu peradaban bergerak menuju titik pusat, sehingga otoritas dalam Islam bertumpu pada (hadlarah al-nash) (Amin Abdullah: 2010). Tidak heran interaksi oral berupa hafalan dan bacaan terhadap teks Alquran masih dianggap mewah hingga kini.
Berbeda dengan dunia ilmu pengetahuan modern-kontemporer yang bersifat sentrifugal yaitu peradaban yang menjauh dari titik pusat (hadlarah ‘ilm). Kemajuan sains (the progress of science) di Barat, dapat melaju bergerak cepat dan spektakular memimpin peradaban modern, karena berada di puncak perjalan filsafatnya, yakni pragmatisme. Basis filsafat pragmatisme adalah logic serta mentalitas dan aktivitas riset, baik di bidang sosial-kemasyarakatan maupun kealaman.
Dari empat tingkatan logic, yaitu the power of speech (logika oral), inference (logika kesimpulan), conceptual thought (logika konseptual) dan inquiry (riset), Barat lah yang maju dalam hal aktivitas riset. Umat Islam, terutama di Indonesia, masih pada tingkatan logika oral. Umat Islam lebih tertarik dengan aktivitas menghafal dan membaca Alquran terus menerus, masih jauh dari budaya riset.
Konsekuensi dari logika oral berakibat pada menguatnya apa yang disebut oleh Charles S. Pierce dalam Milton K. Munitz, sebagai habit of mind, yakni tradisi yang diajarkan secara turun-temurun dan telah mengkristal menjadi kebiasaan dalam pelbagai aspek kehidupan masyarakat. Bahkan bisa jadi, tradisi menghafal dan membaca Alquran masih dipahami dan dipegang secara absolut, masih jauh dari nalar kritis, lebih-lebih riset terhadapnya.
Sayangnya, di saat dunia Barat sudah banyak menciptakan berbagai produk sains berupa teknologi, justru di kalangan ilmuan Muslim masih sibuk memperdebatkan relasi Islam (Alquran) dan sains yang tak kunjung usai. Mulai dari Islamisasi Sains (Al-Faruqi dan Al-Attas), Sains Islam (Nasr, Gholshani dan Sardar), Saintifikasi Islam (Kuntowijoyo), I’jaz (Buccaile), Integrasi-Interkoneksi (Amin Abdullah) dan Rekonsilasi Sains (Nidhal).
Upaya tersebut dicurahkan supaya umat Muslim sadar akan urgensi IPTEK bagi Islam. Sadar bahwa upaya aktivitas riset untuk pengembangan IPTEK itu tidak kalah Islaminya dengan sekedar membaca dan menghafal Alquran. Sadar bahwa meraih peradaban dunia itu dengan IPTEK.
Maka, cukupkah hanya membaca dan menghafal Alquran?.