Baiq Nuril, kembali menjadi pusat perhatian, setelah memutuskan menempuh langkah pengajuan Amnesti. Mahkamah Agung (MA) menolak langkah Peninjauan Kembali (PK) atas Putusan MA yang menerapkan pidana berdasar Pasal 45 ayat (1) UU ITE yaitu pidana penjara 6 bulan dan denda 500 juta.
Normalnya, berdasar hukum pidana Indonesia, kasus Baiq Nuril telah berkekuatan hukum tetap (inkracht) pada upaya hukum Kasasi, perbuatannya terbukti sebagai pelaku, subjek hukum yang bersalah memenuhi unsur Pasal 27 ayat (1) UU ITE, sehingga harusnya menjalankan pidana.
Namun, kontroversi penafsiran Pasal 27 ayat (1) UU ITE yang dianggap sebagai “sumber masalah”, diperkuat kampanye #saveibunuril dan narasi “korban pelecehan seksual” yang didukung media nasional maupun internasional, berhasil menampilkan fakta alternatif, di luar fakta pengadilan, memaksa Jaksa menunda eksekusi terhadap terpidana BAIQ NURIL.
Di samping itu, kasus Baiq Nuril sebagai “korban pelecahan seksual” bersamaan dengan momentum dorongan pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Baiq Nuril dianggap sebagai representasi “korban pelecahan seksual” yang perlu diselamatkan, sekaligus mendesak RUU Penghapusan Kekerasan Seksual segera disahkan.
Amnesti
Permohon Amnesti Baiq diyakinkan pula oleh Presiden Jokowi yang sebelumnya memberikan harapan untuk mempertimbangkan pemberian Amnesti, hal demikian tertulis dalam surat Baiq untuk Presiden yang di dalamnya menagih janji pemberian Amnesti oleh Presiden.
Tahapan permohonan Amnesti yang telah bergulir, Presiden Jokowi telah mengabulkan permintaan Baiq dengan dikeluarkannya surat tertanggal 15 Juli 2019, perihal permintaan pertimbangan atas permohonan Amnesti kepada Ketua DPR. Dengan demikian, tahapan Amnesti menanti pertimbangan politik DPR.
Dasar hukum
UUD NRI 1945 mengatur Amnesti pada Pasal 14 ayat (2), yang menyatakan “Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat”.
Pelibatan DPR dalam pengambilan keputusan memberikan makna bahwa hak prerogatif tersebut diperlukan pertimbangan politik (Hiariej, 2016).
Amnesti dalam Undang-Undang Darurat Nomor 11 Tahun 1945 tentang Amnesti dan Abolisi sebagaimana tercantum dalam Konsideran menimbang, adalah untuk melaksanakan Pasal 96 dan 107 Undang-undang Dasar Sementara Republik Indonesia.
Sementara, ketentuan Amnesti dibawah UUD NRI 1945 (setelah amandemen) belum dibentuk. Adapun, pemberian Amnesti berdasarkan ketentuan tersebut, diberikan kepada semua orang yang sebelum tanggal 27 Desember 1949 telah melakukan sesuatu tindak pidana yang nyata akibat dari persengketaan politik antara Republik Indonesia (Yogyakarta) dan Kerajaan Belanda.
Ketentuan tersebut memang tidak relevan terhadap dasar pertimbangan pemberian Amnesti Baiq, namun dapat dijadikan bahan hukum untuk menelusuri jejak Amnesti. Di samping itu, dalam pemberian Amnesti perlu menelusuri dokumen Risalah Sidang perumusan Pasal 14 ayat (2) UUD NRI 1945, mencermati lingkup dan dasar ketentuan pemberian Amnesti.
Dalil
Jikapun terhadap kasus Baiq terdapat dalil, “sebagai kasus yang tidak bisa dilihat sebagai kasus pidana biasa yang berdiri sendiri, tetapi berdimensi kepentingan negara yang luas, mengingat data kekerasan seksual, oleh karenanya perlu pemberian Amnesti, untuk melindungi para korban kekerasan seksual”.
Walaupun dalil tersebut kemudian menimbulkan banyak pertanyaan dan secara hukum Baiq tidak dapat dibuktikan sebagai korban, pengampunan harus tetap berdasar hukum.
Sebagai bangsa yang beradab, kekerasan seksual harus di lawan, secara logis. Negara telah menyediakan saluran peradilan untuk membela diri secara adil, sayangnya saluran tersebut dituding menjadi robot hukum, tidak progresif. Presiden didesak turun tangan mengatasi kekacauan, untuk menjadi “hakim”.
Dasar pemberian Amnesti tidak patut jika memberi kesan menabrak norma, catatan sejarah serta dasar hukum Amnesti harus selalu dipertimbangkan. Catatan pemberian Grasi dan Amnesti yang ditulis oleh Daniel Pascoe (2017), diberikan oleh Presiden Jokowi kepada tahanan politik, dan terjadi dilema.
Keputusan Presiden Jokowi mengabulkan Amnesti BAIQ NURIL, mencatatkan sejarah pemberian Amnesti di luar “kejahatan politik”. Amnesti dan pengampunan adalah instrumen yang sah menurut hukum internasional dan karenanya solusi yang sesuai dan dapat diterima untuk penyelesaian hukum tindak pidana dalam konteks konflik bersenjata (Fernando Travesí dan Henry Rivera, 2016).
Fungsi
Perlu diingat bahwa, kurang tepat apabila Presiden menafsirkan konstitusi dan undang-undang. Hak prerogatif presiden sudah ditentukan macamnya dengan pembatasan tertentu. Jika diberikan ruang penafsiran oleh Presiden, maka sangat berbahaya, karena akan mudah terjatuh pada deteurnement de pouvoir.
Memang, siapapun berhak menjadi penafsir, dalam konteks pengembanan hukum praktis, itu hanya dimiliki aparat penegak hukum. Tapi hanya hakim yang bernilai secara yuridis. Tugas dan kewajiban presiden sudah ketat diatur melalui undang-undang. Dalam kondisi negara darurat sekalipun kekuasaan presiden selalu terkontrol. Dia harus harus tunduk dan taat pada Konstitusi dan undang-undang.
Negara telah menyediakan fungsi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) sebagai langkah antisipasi mendesaknya kondisi sebuah negara. Peraturan Pemerintah dan aturan kebawah hingga perda dibuat secara jelas dan terang benderang agar penguasa bisa mengetahui apa yang harus dilakukannya. Warga negara mengetahui apa hak dan kewajiban. Jika ada konflik maka peradilan lah jalan untuk menyelesaikannya.
Pilihan
Presiden memang memiliki kewenangan untuk memberikan Amnesti Baiq, tapi berdasarkan hukum, mengeluarkan peraturan perundang-undangan, dengan jalan membuat Perppu. Hukum progresif memiliki roh bergerak dari norma. Peluang yang seharusnya selalu dipertimbangkan menghadapi kegentingan adalah pembentukan Perppu. Dengan demikian, pemberian ampunan dan langkah Presiden memiliki dasar hukum yang jelas.
Dari kenyataan yang terlanjur terjadi, sepatutnya publik memperkuat apresiasi terhadap Putusan MA yang berkekuatan hukum tetap (inkracht), menghentikan diskursus mendelegitimasi peradilan dan narasi seolah-olah Baiq tidak menjalani proses sidang yang tidak adil, hal demikian menyuburkan ketidakpercayaan dan kecurigaan mendalam terhadap lembaga peradilan. Semua upaya hukum sudah ditempuh untuk membela diri secara adil dalam perspektif hukum.
Kasus Baiq Nuril dan kasus-kasus lain harusnya menjadi refleksi bagi hukum pidana Indonesia, di samping tuntutan penegakan hukum yang progresif dalam pembacaan moral teks hukum dan revisi UU ITE, perlu mendesak pembahasan RKUHP dan RKUHAP. KUHP dan KUHAP sebagai sistem induk hukum pidana Indonesia perlu diintegrasikan dengan hukum pidana diluar KUHP, termasuk ketentuan dalam UU ITE.