Bahtiar Effendy dalam bukunya Islam dan Negara; Transformasi Gagasan dan Praktik Politik Islam di Indonesia (2009) menyumbangkan rumusan strategis tentang hubungan Islam dan negara dalam formula demokrasi secara lebih fungsional dan ideal.
Buku yang merupakan hasil dari penelitian disertasinya di Departemen Ilmu Politik, Ohio State University, Amerika Serikat dengan judul “Islam and the State: The Transformation of Islamic Political Ideas and Practices in Indonesia” (1994) menawarkan konsep demokrasi sebagai jembatan terbaik dalam menghubungkan Islam dan Negara untuk tidak saling mengalahkan dan saling mencurigai.
Jembatan inilah yang kemudian dikenal sebagai Pancasila, sebuah doktrin kebangsaan yang merangkum pandangan dunia Islam dalam setiap aspek kehidupan mulai dari ketuhanan, kemanusiaan, tata nilai kehidupan dan keadilan.
Dalam mendamaikan gagasan Islam dan Negara, Bahtiar Effendy sepenuhnya menyandarkan pemikirannya pada argumen kontekstualisasi nilai-nilai Islam dalam kehidupan bernegara.
Baginya, Islam tidak seharusnya dipahami dengan kecenderungan yang sempit, literal, yang hanya menekankan dimensi “luar” (exterior)-nya. Hal ini akan menyebabkan kaburnya dimensi “kontekstual” dan “dalam” (interior) dari prinsip-prinsip Islam yang sejatinya jauh lebih substantif.
Kecenderungan seperti ini akan menghalangi sementara kaum Muslim untuk dapat secara jernih memahami pesan-pesan al-Qur’an sebagai instrumen ilahiah. Dampaknya, umat Islam akan mengabaikan nilai-nilai moral dan etis yang benar bagi kehidupan manusia dan justru terjebak pada formalisme agama.
Dalam pandangan Bahtiar Effendy, pemahaman Islam yang legalistik dan formalistik, khususnya dalam kerangka idealisme dan aktivisme politiknya, hanya akan memancing lahirnya ketegangan dan konflik dalam sebuah masyarakat yang secara sosial-keagamaan dan kultural bersifat heterogen. Solusinya Islam jangan diposisikan sebagai penentang demokrasi, Islam harus diletakkan sebagai penggerak lahir dan terjaganya nilai-nilai demokrasi di seluruh lapisan masyarakat Indonesia.
Oleh karena itu, Bahtiar Effendy menegaskan bahwa umat Islam di Indonesia dalam memahami kedua sumber sucinya, al-Qur’an dan Sunnah, haruslah dalam kerangka kontekstual yang substansialistik, yakni Islam yang mampu menjadi garda depan bagi perjuangan keadilan, kesejahteraan, kesetaraan, dan musyawarah. Ia sepenuhnya meyakini bahwa, Islam dengan model kecenderungan seperti inilah yang akan dapat mensintesiskan antara Islam dan Negara, dan melahirkan prinsip demokrasi yang sebenarnya.
Gagasan Demokrasi
Guru Besar Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini merupakan sosok yang selalu giat menyumbangkan ide-ide segarnya dalam memperbaiki kondisi demokrasi di Indonesia. Bahtiar Effendy banyak dikenal sebagai tokoh yang selalu aktif memproduksi berbagai ide dan analisis kritis dalam rangka memperbaiki kondisi perpolitikan dan keagamaan di Indonesia.
Pria kelahiran Ambarawa 10 Desember 1958 ini merupakan pribadi yang memiliki kombinasi pendidikan Islam tradisional model pesantren di Pabelan, Magelang dan pendidikan Barat di Ohio State University, Amerika Serikat. Konvergensi pendidikan ini menjadikannya sosok yang inklusif sekaligus kritis terhadap carut marutnya perpolitikan di Indonesia. Di berbagai tulisannya, ia senantiasa menyuarakan perlunya memperbaiki kualitas demokrasi di Indonesia untuk mendukung terbentuknya civil society (masyarakat madani).
Sosok yang juga kader Muhammadiyah ini sepenuhnya menyadari bahwa dengan kondisi Indonesia yang pluralistik bukan sesuatu hal yang mudah untuk mengelolanya. Dibutuhkan keseriusan dan energi yang besar untuk bisa menyelesaikan permasalahan-permasalahan bangsa.
Menurutnya, jalan demokrasi adalah salah satu jalan terbaik dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Demokrasi memungkinkan terpenuhinya hak-hak politik rakyat dan mampu mengatur stabilitas negara, menjamin kebebasan dan persamaan hak di mata hukum serta menciptakan kemaslahatan umum. Demokrasi juga mencegah lahirnya benih-benih kesewenang-wenangan (otoritarianisme) dan bentuk pemerintahan yang pongah.
Bagi Effendy, demokrasi ibarat suatu bahan dasar yang dapat disesuaikan dengan konteks pemakainya, yaitu konteks sosial-budaya di mana sistem demokrasi tersebut diterapkan. Sehingga, bangsa Indonesia tidak bisa sepenuhnya meniru model demokrasi Barat yang memang secara mikro maupun makro memiliki latar belakang dan sistem kebudayaan yang berbeda dengan bangsa Indonesia.
Ia menegaskan bahwa konsep dan praktik demokrasi itu sesungguhnya tidaklah tunggal. Apa yang kemudian disebut sebagai unsur-unsur dasar demokrasi sangat dipengaruhi, dibentuk dan diperkaya oleh kultur dan struktur yang ada pada suatu kebudayaan negara. Atau dalam istilahnya bahwa konsep dan praktek demokrasi sepenuhnya digerakkan oleh konstruksi sosiologis-historis dari kebudayaan masyarakat setempat.
Akhirnya, kita bisa menikmati sumbangan terbesar Bahtiar Effendy dalam bidang politik-keagamaan di Indonesia melalui gagasannya tentang hubungan harmonis-dialektis antara Islam dan Negara dalam format negara demokrasi. Yakni ide terhadap betapa pentingnya mengorganisir dalam kerangka mewujudkan negara demokrasi yang berdasar pada nilai-nilai keislaman dan kemanusiaan universal.