Rabu, April 24, 2024

Anak-Anak Juga Perlu Diajak Berfilsafat

Putra Pertama
Putra Pertama
Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional Unwahas, Pimpinan Umum LPM Menteng

Baru saja menamatkan buku Dunia Sophie, muncul ide untuk membuat tulisan dengan topik filsafat. Topik yang berat memang. Saya sendiri juga boleh dibilang awam dalam dunia ke filsafatan. Bahasanya yang sulit dicerna, substansinya yang kadang ngawang, dan tidak jelas arahnya, membuat seringkali filsafat menjadi obyek kajian yang berat. Dan persoalan itu menjadi semakin kompleks dengan tidak adanya literatur yang mudah untuk dipahami.

Perspektif seperti itu melekat pada orang-orang awam yang ingin belajar filsafat namun enggan untuk berpikir keras. Mereka terobsesi dengan yang instan, namun nyatanya, filsafat tidak se instan itu. Diperlukan perenungan mendalam tentang segala yang ada di dunia ini, meliputi dunia nyata sampai dunia ide.

Pandangan seperti itu juga melekat dalam diri saya ketika belum membaca buku Dunia Sophie. Sama dengan orang lain, saya berpikir filsafat itu susah dimengerti, dan tidak ada fungsi teknisnya untuk diterapkan di dunia nyata. Buat apa kita bersusah payah mempelajari ilmu yang tidak pasti. Hah, buang-buang waktu!

Namun, nyatanya, buku setebal 800 halaman tersebut mampu mengubah perspektif saya, dari yang semula menilai filsafat adalah obyek susah dipahami, berubah 180 derajat, berpikir bahwa filsafat merupakan obyek yang mengasyikan dan penting untuk diajarkan.

Hal itu ditambah dengan munculnya gagasan tentang bagaimana nilai filsafat agar diajarkan sejak dini dan menjadi selingan mata pelajaran di sekolah-sekolah. Seringkali kita menemukan fakta yang terjadi di lapangan, bahwa sebagian besar siswa di seluruh sekolah di Indonesia tidak tahu menahu tentang untuk apa mereka bersekolah, tentang untuk apa kita mempelajari berbagai hal.

Kita hanya dicekoki doktrin, tentang harus paham mata pelajaran A-Z, tapi tidak pernah diajarkan secara langsung apa fungsi mereka di dunia nyata, dan bagaimana cara menerapkannya. Hal ini mengakibatkan munculnya siswa-siswa premature, mereka mungkin cerdas secara kognitif, namun belum tahu kecerdasan itu mau mereka apakan.

Berangkat dari secuil persoalan tersebut, agaknya secara logika pun filsafat sangat penting untuk bisa masuk ke dalam kurikulum pendidikan. Filsafat merupakan ibu dari segala ilmu, atau asal dari segala cabang ilmu pengetahuan yang ada di dunia.

Filsafat mengajarkan hakikat, sebab, asal dari suatu kejadian atau peristiwa. Filsafat mengajarkan kita untuk berpikir kritis, menggunakan akal kita untuk memproses segala peristiwa untuk merenungkan segala fenomena.

Oleh karena itu, bukannya lebih baik untuk mengetahui asal suatu ilmu sebelum mulai berbicara tentang ilmu tersebut?. Oleh karena itu, bukannya lebih bagus jika kita mengetahui untuk apa ilmu itu diajarkan, ketimbang hanya sebatas pengajaran belaka?

Memang, di dunia yang berubah sangat cepat ini, mengajarkan filsafat secara penuh agaknya seperti menguras laut menggunakan sendok alias tidak berguna. Itu semua didukung dengan kemajuan teknologi yang semakin massive tiap detiknya, membuat anggapan mempelajari ilmu-ilmu terapan lebih berguna untuk digunakan di kehidupan.

Padahal, jika kita mau membuka mata kita, kemajuan teknologi yang tidak di sertai dengan kecukupan moralitas hanya akan mendatangkan mudharat bagi manusia dan alam. Bisa dilihat, sudah berapa hektar hutan yang digunduli buat penambangan batu bara, belum lagi ancaman perubahan iklim yang semakin mendekat di depan mata.

Filsafat mengajarkan kita untuk merenungi, bahwa apa yang terjadi di alam semesta juga akan berdampak pada kita, karna kita sendirilah alam semesta itu!.  Ia juga mengajarkan etika, bagaimana kita untuk berhubungan dengan orang lain, merasa seperti orang lain, dan bertindak tanpa harus merugikan orang lain.

Oleh karena kajian filsafat cukup kompleks dan fundamental, maka timbul pertanyaan, bagaimana mengajarkan filsafat sejak dini, khususnya terhadap anak-anak.

Sedikti demi Sedikit

Filsafat mengajarkan untuk mempertanyakan segala sesuatu, bertanya akan segala fenomena yang terjadi, serta mencari sebab akibat suatu kejadian. Hal ini akan melahirkan suatu penalaran  logis sebelum kita beranjak untuk mempercayai suatu kondisi. Atau dengan kata lain, skeptitsisme diperlukan dalam rangka memaknai segala yang terjadi.

Bukan maksud penulis untuk curiga terhadap segala sesuatu, namun lebih untuk memaksimalkan akal kita dalam mencari asal muasal terjadinya suatu fenomena sebelum kita mencernannya dan menyebarkan kepada orang lain.

Inilah yang disebut dengan critical thingking atau berpikir kritis. Seni berpikir kritis merupakan salah satu kemampuan dasar abad 21, atau biasa disebut 4C. Skill ini antara lain adalah critical thingking, communication, colaboration, dan creativity. Keempat skill inilah yang menjadi modal awal kita untuk bisa bertahan dan melangkah maju menghadapi laku perubahan zaman.

Nah, berpikir kritis ini sangat penting untuk diajarkan kepada anak-anak sejak dini. Tidak perlu tergesa- gesa. Cukup berikan pemahaman untuk bertanya ketika si anak tidak paham akan sesuatu atau menemukan masalah baru yang tidak bisa mereka selesaikan. Bertanya merupakan modal awal untuk memperoleh jawaban. Bahkan, bertanya merupakan separuh dari jawaban itu sendiri.

Fakta yang terdapat di lapangan seringkali menunjukan minat para siswa Indonesia yang malas untuk sebatas mengajukan pertanyaan. Mereka lebih menyukai diam selagi guru menawarkan adakah yang ingin bertanya dan mereka lebih memilih berisik ketika guru sedang menerangkan. Itulah budaya kita.

Padahal, proses berpikir kritis lahir dari adanya peertanyaan akan sesuatu yang dianggap masih membingungkan pada si anak. Hal ini juga akan melatih perkembangan kognitif pada anak untuk mencari tahu sebab terjadinya sesuatu dan mengapa sesuatu itu terjadi. Daripada hanya menerima apa adanya, filsafat mengajarkan untuk bertanya terhadap semua kondisi sehingga akan menghasilkan pandangan penuh tanpa tersekat-sekat.

Pointnya adalah, para pendidik mestinya harus membiasakan siswanya untuk mau bertanya, dan mempertanyakan segala sesuatu. Cobalah berdiskusi dengan para siswa dengan mengecek kembali suatu argumen atau teori yang dimulai dengan pertanyaan dan diakhiri dengan kesimpulan pendapat masing-masing. Itu merupakan suatu proses terciptanya critical thingking dan merupakan salah satu metode mengajarkan filsafat kepada anak.

Selain membiasakan murid untuk bertanya, pendidik juga harus menekankan untuk melihat suatu fenomena tidak dari satu sudut pandang saja, melainkan dari beragam sudut pandang yang lain. Inilah point kedua metode pengajaran filsafat pada anak.

Komitmen

Jadi, sisanya adalah komitmen dari para guru untuk mau mengajarkan secuil dari intisari filsafat kepada pada muridnya.  Pendidik tidak hanya mengajarkan mata pelajaran umum saja, melainkan, daripada itu, pendidik juga harus mampu untuk mengajarkan anak didiknya nilai-nilai moral dan rasa ingin tahu yang tinggi.

Oleh karenannya, agaknya akan sangat bermanfaat jika pemerintah dapat ikut andil dalam memajukan pendidikan di Indonesia dengan jalan pengajaran filsafat kepada anak-anak. Caranya, tidak dengan langsung diberi pelajaran filsafat, melainkan dengan cara yang sederhana dahulu, seperti meningkatkan rasa ingin tahu dan berpikir kritis.

Putra Pertama
Putra Pertama
Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional Unwahas, Pimpinan Umum LPM Menteng
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.