Sebuah curhatan mendadak viral dan menjadi perbincangan hangat di sosial media. Berikut curhatannya:
“Jadi tadi gue diundang interview kerja perusahaan lokal dan nawarin gaji kisaran 8 juta doang. Hello meskipun gue fresh graduate gue lulusan UI, Pak. Universitas Indonesia. Jangan disamain sama fresh graduate dengan kampus lain dong ah. Level UI mah udah perusahan luar negeri. Kalau lokal mah oke aja, asal harga cocok,” demikian post insta story alumnus Universitas Indonesia (UI) yang tidak diketahui namanya itu.
Lantas curhatan tersebut viral dan sempat menduduki trending topic Twitter. Banyak youtubers, seleb tweet dan selebgram menanggapi curhatan tersebut. Banyak yang menilai kurang bersyukur, sombong, dan segala hujatan bertebaran lewat sosial media menanggapi curhatan kontroversial tersebut.
Kalau dihitung-hitung, gaji 8 juta rupiah mungkin cukup besar untuk sebagian orang yang tinggal di daerah luar Jakarta. Lantaran masih banyak daerah-daerah di Indonesia yang memberi gaji karyawan dengan upah Minimum Kerja (UMK).
Menurut Badan Pusat Statistik pernah merilis bahwa rata-rata gaji bersih karyawan di kelompok umur 20-24 tahun hanya Rp 2.240.116 perbulan. Gaji tertinggi bagi fresh graduate ada di jenis pekerjaan tenaga kepemimpinan dan ketatalaksanaan, sekitar Rp 3.327.742 perbulan.
Kita harus menyadari bahwa pendidikan saat ini sering dikait-katikan dengan industrialisasi. Misalnya, orang yang berpendidikan tinggi ya pasti pekerjaannya di tempat prestise, keren dan menghasilkan uang yang banyak.
Hal itu membuat mindest masyarakat ingin menempuh pendidikan tinggi agar mendapatkan pekerjaan yang layak dengan gaji besar. Apakah salah? Nggak salah sikap pragmatis seperti itu, tapi ada yang lebih subtansial daripada hanya soal recehan uang. Tapi apa iya, pendidikan hanya soal lapangan kerja?
Berpendidikan tinggi ternyata tidak menjamin seseorang menyadari akan nasehat bapak pendidikan di Indonesia, Ki Hajar Dewantara. Beliau memaknai pendidikan begitu dalam. Menurutnya Pendidikan berarti daya upaya untuk memajukan budi pekerti (karakter, kekuatan bathin), pikiran (intellect) dan jasmani seseorang selaras dengan alam dan masyarakatnya.
Bahkan ia memisah definisi pendidikan dan pengajaran. Menurutnya, pengajaran bersifat memerdekakan manusia dari aspek hidup lahiriah yakni kemiskinan dan kebodohan. Sedangkan pendidikan lebih memerdekakan manusia dari aspek hidup batin seperti otonomi berpikir, mengambil keputusan, martabat, mentalitas demokratik.
Dalam arti luas, maksud pendidikan dan pengajaran adalah bagaimana memerdekakan, mendewasakan dan menjunjung tinggi nilai-nilai hidup bersama, manusia sebagai anggota dari sebuah persatuan rakyat. Oleh karena itu, setiap orang merdeka harus memperhatikan dan bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan dimana ia hidup.
Dari uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa makna pengertian pendidikan jauh lebih luas dari pada pengajaran. Karena pendidikan di dalamnya mencakup manusia seutuhnya, baik itu pendidikan intelektual, moralitas (nilai-nilai) dan budi pekerti dengan kata lain agar manusia mampu mengunakan rasa cipta dan karsanya untuk menciptkan sesuatu untuk kemaslhatan semesta.
Perkawinan Kapitalisasi pendidikan dan kapitalisasi Industri
Saat curhatan seorang alumns UI itu viral, pihak birokrat kampuas UI langsung mengunggah sebuah data melalui akun instagram Universitas Indonesia bahwa kepuasan kinerja UI sebesar 83 persen. Lulusan UI memiliki daya saing lebih baik dibandingkan lulusan non UI. Sementara itu, rata-rata masa tunggu lulusan UI memperoleh kerja pertama adalah 3 bulan.
Melihat data yang ditampilkan itu bukan membuat saya kagum, justru saya merasa sedih. mengapa lulusan perguruan tinggi hanya diukur dari cepat atau tidaknya mendapat pekerjaan.
Bukankah seharusnya ukurannya adalah seberapa banyak manfaat alumnus UI terhadap masyarakat pasca lulus? Sejauh apa pengabdian yang telah diberikan? Ilmunya bermanfaat untuk orang banyak atau tidak? Nah, hal ini dong seharusnya ditampilkan. Bukan hanya soal angka-angka yang berkaitan dengan uang.
Kedua, dari bahasa yang dipilih, akun Instagram UI itu seolah menyepakati bahwa lulusan UI lebih baik daripada lulusan kampus lainnya. Ini yang menjadi PR yang berat bagi kita, bahwa pemerataan pendidikan itu sangat penting. Agar tidak ada lagi pemikiran-pemikiran primodialisme semacam ini.
Sebenarnya tidak ada jaminan kualitas seseorang itu ditentukan dari lulusan dari sebuah perguruan tinggi negeri atau swasta. Kualitas kaum terdidik itu ditentukan dari sebarapa dalam alur berpikir seseorang sehingga perkataan, perbuatan dan setiap keputusan dalam menyelesaikan permasalahan hidupnya dan masyarakat.
Tetapi, lagi-lagi mindset soal pendidikan yang tinggi mampu membuat seseorang bergaji tinggi membuat kaum-kaum kapitalis meraup untung. Biaya pendidikan menjadi mahal hingga membuat kesenjangan di dunia pendidikan. Lalu pendidikan dijadikan investasi agar setelah lulus bisa mendapatkan pekerjaan dengan gaji tinggi. Lalu, orang yang bergaji tinggi disebut orang sukses. Perlu kiranya pemikiran ini harus ditinggalkan.
Kalau hanya untuk mendapatkan uang, di era industri 4.0, kamu tidak perlu bersekolah atau kuliah, kamu cukup terampil dalam satu bidang yang kamu sukai. Tetapi kalau kamu ingin berpikir kritis, berpikir runtut, logic dan memiliki nilai yang bisa mengubah kehidupanmu, kamu harus berpendidikan dan terus belajar.