Indonesia sebagai negara yang berdaulat tentu menginginkan adanya hubungan diplomatik dengan negara lain yang baik dan memenuhi kepentingan strategis negara, salah satunya ASEAN.
Hubungan yang baik tersebut tentu dapat membantu mencapai tujuan menjalani kehidupan berbangsa dan bernegara. Maka dari itu, Indonesia menggunakan politik bebas-aktif karena memang prinsip tersebut sangat sesuai dengan konstitusi dengan pembukaan UUD 1945 yang dimana berusaha untuk ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, tanpa meruntuhkan kepentingan strategis yang ingin diraih di dunia, utamanya di Asia Tenggara.
Indonesia dalam perjalanan politik luar negerinya mengalami dinamika yang luar biasa untuk menjaga kerja sama yang kooperatif dengan negara-negara di Asia Tenggara. Di dalam menjalankan politik luar negerinya, Indonesia menggunakan Assocoative Diplomacy, yang artinya Indonesia selalu berupaya untuk mengembangkan hubungan signifikan dalam sebuah kerja sama dengan negara lain, di luar kepentingan transaksional dan hubungan-hubungan yang bersifat rutin.
Indonesia mempunyai tujuan menciptakan menciptakan kemandirian serta stabilitas regional dan membangun pilar-pilar kerjasama antar bangsa sekawasan untuk kemakmuran rakyat (Bhakti, 1997). Maka dari itu, perwujudan dari Asscociative Diplomacy ini adalah dibentuknya ASEAN atau Association of South East Asia Nation.
ASEAN, yang didirikan pada Agustus 1967 telah mengoptimalkan kerjasamanya di wilayah Asia Tenggara dengan menjunjung tinggi nilai saling menghargai dan menghormati, berpegang pada prinsip non-intervensi dalam urusan domestik negara lain, penolakan penggunaan kekuatan yang bisa memicu konflik, konsultasi, serta mengutamakan konsensus bersama dalam mengambil sebuah keputusan (Suryadinata, 1998). ASEAN ibarat pekarangan dan harus terus dibenahi untuk mempercantik Indonesia dan Asia Tenggara di mata internasional.
Untuk mewujudkannya, Indonesia memulai integrasi regional di kawasan Asia Tenggara dengan penanaman sense of belonging. Ketika rasa kepemilikan dan saling menjaga ini muncul di ASEAN, maka Indonesia baru bisa melangkah lebih jauh dengan goes beyond from asia. Untuk mewujudkan Indonsia yang mengeluarkan semua potensinya di Asia Tenggara, Indonesia harus menjalin kerja sama dengan negara tetangga dan mematuhi peraturan khusus yang mengikat bagi seluruh negara-negara anggota ASEAN agar negara-negara tersebut tidak saling mengintervensi satu sama lain (Anwar, 2010).
Indonesia memprioritaskan hubungan politik luar negerinya dengan negara di kawasan Asia Tenggara, ketika dibawah pemerintahan Soeharto. Melalui Presiden Soeharto juga rekonsiliasi antara negara-negara yang pernah berkonflik ketika orde lama kembali dipulihkan, contohnya seperti Malaysia.
Kebijakan politik luar negeri Soeharto dimulai dengan menekankan pada normalisasi dan peredaan konflik dengan negara-negara tetangga yang dulunya sempat terjadi konfrontasi dengan Indonesia dibawah pemerintahan Soekarno (Suryadinata, 1998). Peredaan konflik itu dapat dijumpai dengan keterlibatan Indonesia dalam pembentukan sebuah organisasi regional di kawasan Asia Tenggara, yaitu ASEAN.
Bagi negara Indonesia, ASEAN merupakan salah satu faktor utama yang mempengaruhi kebijakan politik luar negerinya. Dengan adanya ASEAN, Indonesia dapat memainkan perannya sebagai pemimpin di wilayah Asia Tenggara karena Indonesia merupakan negara terbesar dalam asosiasi tersebut (Suryadinata, 1998). Yang kemudian menciptakan hubungan kerja sama dalam berbagai aspek dengan negara ASEAN, hal ini menciptakan stabilitas yang sesuai dengan tujuan terbentuknya ASEAN.
Hubungan Indonesia dengan negara-negara tetangga contohnya seperti Malaysia terbilang rumit (Suryadinata, 1998). Hubungan Indonesia dan Malaysia pada sudah dijalin selama 52 tahun. Diikat karena hubungan diplomatik, kondisi geografi yang berbatasan langsung, dan kultur yang mirip. Kesamaannya memang banyak, tetapi justu kesamaan ini yang membuat potensi konflik menjadi lebih besar antara Malaysia dengan Indonesia.
Keduanya sempat tergabung dalam Maphilindo pada tahun 1963, namun hubungan ini menjadi renggang karena adanya politik konfrontasi di kepemimpinan Soekarno. Hubungan ini mulai membaik ketika dibawah pemerintahan Soeharto, ia dengan Hussein Onn menjadi PM Malaysia menghasilkan Doktrin Kuantan (Suryadinata, 1998). Namun, hubungan Indonesia dengan Malaysia kembali renggang pada tahun 1990-an ketika ada fasilitas latihan militer Indonesia untuk Singapura yang dianggap sebagai ancaman oleh Malaysia, hukuman gantung yang diberikan oleh seorang WNI di Sabah, hingga sengketa pulau Sipadan dan Ligitan.
Dengan negara Singapura, hubungan keduanya sempat renggang karena kasus dua marinir WNI yang dijatuhi hukuman gantung terkait kasus bom di McDonald House of Orchard Road Bor (Suryadinata, 1998). Karena hal ini, hubungan keduanya renggang dan memerlukan waktu lima tahun untuk memperbaikinya. Pada Mei 1975, merupakan momentum Indonesia membuka hubungan kembali dengan Singapura, ditandai dengan PM Lee Kuan Yew diundang untuk datang ke Indonesia.
Dari pemaparan diatas, disimpulkan bahwa Indonesia sebagai salah satu negara anggota ASEAN yang melihat kawasan Asia Tenggara sebagai wilayah yang strategis untuk melaksanakan politik luar negerinya yang berprinsip bebas-aktif. Adanya kepentingan strategis yang ingin dicapai oleh Indonesia menjadi salah satu latar belakang untuk melakukan kerjasama dengan negara lainnya. Hubungan Indonesia dengan negara di kawasan Asia Tenggara pun terjadi dinamika di setiap era kepemimpinan yang berbeda.