Assalamualaikum Buya, bagaimana kabarnya?
Buya, tentu masih ingat. Dulu, setiap ada yang wafat, Buya selalu mengirim pesan Whatsapp dan kesan ringkas tentang sosok tersebut. Setiap ada tokoh yang meninggal, tak jarang Buya mengirim esai obituari dari Hamid Basyaib atau Syaefudin Simon atau penulis obituari lainnya. Buya sangat menikmati tulisan dari para juniornya itu. Peristiwa kematian kadang menjadi titik balik momen bagi Buya untuk menggali pemikiran seseorang yang telah pergi.
Buya, saya sangat menikmati momen bersekolah kita itu. Ketika Buya mengenalkan orang-orang yang meninggal itu. Kini, Buya telah purna tugas menjadi guru dan menjadi orang tua yang tak pernah menggurui, tak pernah merasa selalu benar dan mau mendengar.
Di akhir Mei ini, ketika Buya wafat, ada banyak sekali esai obituari tentang Buya yang ditulis dari berbagai sisi. Mereka memberi kesaksian tentang kebaikan Buya. Banyak yang menggali kembali gagasan Buya.
Dulu, misalnya, ketika seorang tokoh di Jawa Timur, Mohammad Najikh wafat, dan Buya membaca ulasan obituari dari Dahlan Iskan, Buya mengirim pesan, “Aduh, dahsyat Ir. Nadjikh itu. Sayang sekali saya tidak sempat berjumpa dengan manusia hebat ini. Semoga beliau husnul khatimah, amin. Maarif.”
Kemudian Buya meneruskan sebuah pesan yang dikirim ke seseorang, “Mohon dibentuk tim penulis biografi Ir. Nadjikh, jadi panutan di dunia bisnis. Ini sangat penting dilakukan oleh Muhammadiyah. Nuwun. Maarif.” Masih di rangkaian pesan itu, “Nanti diminta Dahlan Iskan beri kata pengantar. Cari tim penulis yang berbakat. Maarif.”
Saat berbeda, sosok Arief Budiman wafat. Buya membaca obituari yang ditulis oleh Syaefudin Simon. Dalam percakapan dengan Simon yang diteruskan ke saya, Buya tertarik untuk mendalami buku-buku Arief Budiman. Pesan Buya, “Bung Simon, tulisan anda tentang Arief sangat menyengat, terlepas dari pengaruh Marxisme atas pemikirannya. Tapi analisisnya tentang Islam punya fakta sejarah yang kuat. Mohon saya diberi tahu di mana kita dapat menggali pemikiran Arief itu. Saya perlu baca. Nuwun. Maarif.”
Kata Buya selanjutnya, “Dahsyat dan tajam analisis alm. Arief Budiman, didukung fakta sejarah yang cukup kuat. Kita mesti cari sumber pemikiran Arief untuk diapresiasi lebih lanjut. Nuwun sanget. Maarif.”
Buya juga beberapa kali menulis obituari jika ada kolega atau tokoh yang meninggal. Misalnya, tentang Kuntowijoyo, yang Buya kirim ulang pada 2021. Buya menuliskan, “Sekitar empat jam sebelum wafat, pada 22 Feb. saya menengok Bung Kunto yang sudah tidak sadar di ruang ICU R.S. Dr. Sardjito, Jogjakarta, kemudian saya berangkat ke Jakarta. Dalam perjalanan dari Bandara Soekarno-Hatta ke Menteng, Dr. Salim Said yang sebelumnya saya beri tahu tentang kondisi Bung Kunto dari Rumah Sakit, malah menelepon bahwa sejarawan-sastrawan dan pemikir profetik ini telah tiada.”
Tentang Kontowijoyo, Buya menggambarkan sosok sahabat itu dengan kiasan yang juga tepat diarahkan ke diri Buya: manusia dengan wajah surga. Punya hati yang lapang dan berkawan dengan siapa saja. Kita kutip lanjutan tulisan Buya, “Tentu saja saya terkejut, tetapi itulah yang berlaku terhadap tokoh yang pernah saya lukiskan sebagai manusia dengan wajah surga. Sepanjang pengetahuan saya, Bung Kunto tidak punya musuh, semua adalah sahabatnya, semua adalah temannya berbincang dan bertukar pikiran tentang berbagai masalah bangsa, umat, dan negara.”
Buya, beberapa kali kita mendiskusikan tentang kematian. Mulai tentang Chairil Anwar dan Soe Hok Gie yang mati muda, hingga tentang Stephen Hawking yang menjalani hidup di dekat malaikat pencabut nyawa. Pada usia 21 tahun, Hawking didiagnosis penyakit neuron motorik dan hidupnya diprediksi tinggal tersisa 2 tahun. Faktanya, ia bertahan hingga 55 tahun kemudian. Di tengah keterbatasannya dari atas kursi roda, ia melahirkan karya fenomenal. Kesadaran bahwa hidupnya segera berakhir, membuat Hawking tidak menyia-nyiakan napasnya. Kata Hawking, “I’m not afraid of death, but I’m in no hurry to die. I have so much I want to do first”. Kesadaran ditunggu oleh kematian, membuat semangat hidupnya menyala setiap saat. Sampai ulang tahunnya yang ke-74, Hawking masih merayakan hidup, “Saya bersyukur telah menjalani hidup di dunia yang menakjubkan ini.”
Buya mungkin juga masih ingat ketika “memuji” tulisan saya yang “dangkal” di Suara Muhammadiyah tentang tragedi kematian di tahun Covid-19 mengganas. Di artikel itu, terdapat kalimat, “Martin Heidegger menyatakan bahwa manusia merupakan makhluk yang keberadaannya menuju kepada kematian (being-toward-death/Sein-zum-Tode). Cepat atau lambat, semua manusia akan menghadapi kematian. Kematian hanya masalah waktu. Kematian merupakan kenyataan tentang keterbatasan hidup manusia. Manusia hidup dalam kefanaan, tetapi bukan tanpa makna. Kematian adalah misteri. Kenyataan bahwa ‘manusia ada menuju kematian’ atau ‘makhluk yang pasti akan mati’ merupakan suatu cara manusia berada di dunia.”
Buya, ada lagi kalimat di sana yang terinspirasi dari diskusi kita, awak redaksi dengan Buya, di suatu hari Selasa, “Kata Chairil Anwar dalam sajak Diponegoro (1943): Sekali berarti. Sudah itu mati. Hidup yang hanya sekali ini harus dijalani dengan ‘penuh seluruh’, tidak sesuka ‘binatang jalang’. Di hadapan hidup yang telah dinanti oleh mati, manusia perlu menampilkan diri autentik.” Di hadapan hidup yang telah dinanti oleh kematian, tugas manusia adalah terus bertumbuh dan berkembang dengan belajar pada setiap musim kehidupan. Salah satu filosofi Minang yang sering Buya kutipkan: alam terkembang jadi guru.
Buya, kami yakin bahwa bagi yang telah banyak berbuat baik dan mengupayakan hidup sebagai jalan pengabdian, kematian merupakan gerbang memasuki kehidupan baru yang lebih indah dan lebih abadi. Buya telah memanfaatkan umur untuk kemaslahatan banyak orang. Dari sosok tak berpunya, kemudian perlahan menjadi berada, dan lalu membantu mereka yang sengsara. Transformasi diri Buya dalam cara berpikir dan memandang dunia, sangat dipengaruhi oleh Muhammad Iqbal melalui sosok guru Fazlur Rahman. Buya pernah menulis, “Iqbal dengan filsafat egonya yang terkenal mengatakan bahwa seseorang sebaiknya menghindari harta warisan sekalipun itu sesuatu yang halal. Milik kita yang sejati ialah apa yang kita usahakan, bukan sesuatu yang diwariskan kepada kita.”
Bagi Buya, peristiwa kematian yang ditandai dengan kembalinya ruh kepada Allah, merupakan momen kesendirian pulang kampung yang penuh kegembiraan. Kematian merupakan masa istirahat dari pengabdian yang penuh seluruh selama umur yang dijalani. Buya pulang setelah menjalani 87 tahun dengan penuh makna. Sebuah usia yang sudah cukup berarti. “Rasanya umur 1.000 tahun pun tidak memadai. Ditambah 1.000 tahun lagi juga tidak akan cukup. Penyair Chairil Anwar (1922-1949) yang mau ‘hidup seribu tahun lagi’ meninggal dalam usia 27 tahun,” tulis Buya dalam Memoar Seorang Anak Kampung.
Buya, selama seminggu ini, ada banyak sekali fragmen tulisan obituari yang ingin kuteruskan ke Whatsapp Buya. Hamid Basyaib menulis “Senyum Mujahid Syafii Maarif” yang mengisahkan awal perkenalannya dengan Buya yang saat itu masih menggunakan sepeda motor Honda CB; serta “Buya Syafii dan Uang” yang mengisahkan betapa Buya sangat amanah ‘membelanjakan’ semua ‘titipan’ uang dari banyak donatur. Meskipun ada banyak tulisan, rasanya tidak mungkin kami bisa menggambarkan Buya yang seutuhnya.
Seperti kata Buya, “Orang tak mungkin mengetahui masa lampau secara utuh. Yang dikumpulkan adalah fragmen-fragmen yang berserakan kemudian disusun dalam sebuah bangunan yang kelihatan utuh dengan alur logika yang cermat di belakangnya.”