Senin sore 15 Februari 2021, Indonesia kehilangan putra terbaiknya: Dr. Jalaludin Rakhmat, dosen UNPAD, penceramah, aktivis sosial, intelektual, dan sesepuh IJABI (Ikatan Jamaah Ahl Jalaludin Rakhmatul Bait Indonesia).
Aku mengenal Kang Jalal — panggilan akrabnya — sejak tahun 1980 di Yogya. Tepatnya di masjid Syuhada, base camp-ku selama studi di Kota Gudeg. Saat itu, sebagai aktivis dan pengurus masjid Syuhada, kami menyelenggarakan dialog antarnazhab: Ahlussunah Wal-Jamaah, Ahmadiyah, Syiah, dan Wahabi. Yang aku ingat, dari Syiah yang bicara Kang Jalal. Dari Ahmadiyah, Prof. Dr. Ahmad Muhammad, Guru Besar Fakultas Kedokteran UGM. Dari semua pembicara, aku hanya tertarik pada Kang Jalal.
Kenapa? Gaya bicara Kang Jalal enak. Tak membosankan. Ia mampu menggabungkan ilmu agama, sains, filsafat, dan tasawuf dengan cara yang mudah dipahami dan enak didengar. Kadang menguraikan filsafat dan tasawuf dengan cara jenaka. Aku sampai terheran-heran membatin, kok ada manusia sepinter dan secerdas Kang Jalal di Indonesia. Ia menguasai lima bahasa dengan fasih — Inggris, Perancis, Jerman, Arab, dan Persia. Kang Jalal menguasai kitab kuning, khasanah Islam klasik, Islam modernis, tafsir, hadist, filsafat barat, filsafat timur, psikologi, dan tasawuf. Tentu saja, ia menguasai ilmu komunikasi karena Kang Jalal adalah dosen ilmu komunikasi di UNPAD, Bandung.
Aku mempunyai hampir seluruh buku karya Kang Jalal, baik tentang Islam, tasawuf, komunikasi, psikologi, dan lainnya. Aku suka membaca buku karyanya karena bahasanya renyah, enak di otak, kadang kocak, inspiratif, dan mendalam. Hampir semua buku Kang Jalal bergaya features — menyajikan fakta lapangan, lalu masuk teori, dan analisis. Ini yang membuat buku-buku Kang Jalal — meski buku teks ajar komunikasi — laris manis dan selalu best seller. Namaku pun pernah disebut-sebut dalam salah satu buku Kang Jalal dengan gaya cerita yang mengejutkan dan membuatku tertawa.
Di Indonesia ini, hanya ada tiga intelektual yang karya-karyanya selalu aku baca tuntas. Gus Dur, Nurcholish Madjid, dan Jalaludin Rakhmat. Dari ketiganya, tulisan Kang Jalal paling top. Karena ia menulis dengan gaya hypnowriting. Sebuah gaya penulisan yang membuka otak kanan sehingga orang yang membacanya tidak mengantuk. Bahkan terinspirasi dan memuncratkan ide segar setelah membacanya. Membaca tulisan Kang Jalal seperti menonton konser Pamer Bojonya Didi Kempot dan Film Satria Bergitar Rhoma Irama. Asyik!
Tanpa aku sadari, aku sebetulnya belajar menulis dari Kang Jalal. Beberapa teman, setelah membaca tulisanku di medsos atau buku Pak AR Sang Penyejuk, memberitahu via WA..”aku suka membaca tulisan Pak Simon” — katanya. Enak dan tidak mengantuk, ujarnya. Kini aku beri tahu, itulah hasil belajar menulis dari Kang Jalal. A
ku seperti Palgunadi yang menjadi murid Dorna, Gurunya Pandawa Lima. Palgunadi tidak pernah belajar langsung kepada Dorna. Ia hanya berimajinasi seakan-akan menjadi muridnya ketika membaca dan mengamalkan ajaran Guru Dorna. Aku tak pernah jadi murid Kang Jalal langsung. Tapi aku merasa Kang Jalal telah memberikan pelajaran banyak hal, terutama hypnowriting padaku. Juga pelajaran tentang tasawuf, filsafat, dan terutama mazhab Ahlul Bait.
Salah satu murid Kang Jalal, Ustad Al Habib Agus Abu Bakar Arsal pernah bercerita kepadaku tentang keajaiban kelahiran bayi bernama Jalaludin Rakhmat. Konon, waktu Jalaludin Rakhmat lahir, di kepalanya ada dua tanduk. Ayahnya kaget luar biasa. Malamnya, ia bermunajat kepada Allah, kenapa anaknya yang baru lahir bertanduk. Sang ayah mendapat petunjuk langit, bahwa kelak anak itu akan menguasai ilmu barat dan timur. Ia laduni. Mampu belajar apa saja dengan cepat. Terbukti, Jalaludin Rakhmat setelah dewasa menguasai khasanah keilmuan yang datang dari Barat ( Eropa- Amerika) maupun Timur (Arab, Persia, dan Hindustan).
Aku paham kenapa Kang Jalal memilih Syiah dalam bermazhab. Ya, karena hanya Mazhab Syiah yang mendapat pengakuan Allah dan tertera dalam Qur’an. Yang lain, hanya buatan manusia. Kebenarannya relatif. Itulah sebabnya, meski hujatan dan cacian menerjang Kang Jalal dengan kesyiahannya, ia tetap kukuh. Syiah adalah mazhab terbaik.
Salah satu tulisan pendek Kang Jalal yang sering aku baca berulang-ulang, berjudul Perampok di Jalan Tuhan. Aku sajikan tulisan tersebut secara utuh. Inilah:
“Sects and Errors are synonymous. If you are a peripatetic and I am a Platonist, then we are both wrong, for you combat Plato only because
his illusions offend you, and I dislike Aristotle only because it seems to me that he doesn’t know what he’s talking about”—Voltaire, Philosophical Dictionary.
“Aku tidak bisa melepaskan diri dari bayangan guruku. Ia masuk dalam mimpi-mimpiku. Pada suatu malam aku pernah terbangun. Aku duduk dalam lingkaran. Di situ ada guruku, Nabi Muhammad, Tuhan, dan Yesus. Guruku menyebutku Hafshah, salah seorang istri Nabi Muhammad. Aku pernah melihat Nabi Muhammad datang kepadaku; memanggilku dengan mesra. Pendeknya, kemudian terjadilah pergaulan suami-istri antara Hafshah dan Nabi Muhammad. Beberapa saat setelah itu, aku baru sadar bahwa Hafshah itu aku dan Nabi Muhammad itu adalah guruku itu,” Helen, bukan nama sebenarnya, mengadukan nasibnya kepadaku.
Helen sarjana dan profesional. Ia cerdas dan kaya. Ketika ia mulai tertarik pada hal-hal spiritual, kawannya membawanya ke pengajian tasawuf. Ia diperkenalkan kepada seorang ustad. Bukan ustad terkenal. Tampaknya ustad itu tidak mengisi pengajian umum. Ia memusatkan pengajarannya pada komunitas khusus dengan tema khusus.
Di seluruh alam semesta, hanya dia yang mempunyai pengetahuan khusus, ilmu makrifat. Ia mau berbagi ilmu makrifat itu hanya kepada manusia-manusia pilihan yang ingin berjumpa dengan Tuhan. Dengan mengamalkan ritus-ritus tertentu—berzikir, berpuasa, dan bersemadi—Helen berhasil melihat Tuhan. Berkali-kali sesudah itu, ia mengalami “trans”. Ia bukan hanya berjumpa dengan Tuhan. Ia juga dapat berkencan dengan para nabi.
Makin “dalam” pengalaman rohaniahnya, makin bergantung dia kepada sang ustad. Helen yang cerdas kehilangan daya kritisnya ketika ia mendengar kalimat-kalimat gurunya. Ia berikan apa pun yang dimintanya, mulai waktu, uang, kendaraan, rumah, sampai kehormatannya. Ia sudah menjadi `sujet’ di hadapan juru hipnotis.
Semua dilakukannya di bawah sadar, sampai ia disentakkan oleh salah satu kuliah psikologi. Sebuah buku dengan judul “Saints and Madmen” menyadarkan dia bahwa gurunya dan juga dia bukan orang suci, tapi orang gila. Ia bukan mengalami pengalaman rohaniah, tapi gangguan mental. Sayangnya, kesadaran itu muncul setelah ia kehilangan banyak.
Tak terhitung banyak orang seperti Helen. Manusia modern yang jenuh dengan materialisme gersang. Ia merindukan pengalaman rohaniah. Ada yang kosong dalam jiwanya. Kekosongan itu tidak bisa diisi dengan seks, hiburan, kerja, bahkan ajaran-ajaran agama yang dianut oleh kebanyakan masyarakat. Ia ingin ‘getting connected’ dengan Yang Ilahi. Ia sudah kecapaian dengan logika dan angka. Ia ingin meninggalkan dunia yang dingin dan kusam menuju alam yang hangat dan cemerlang. Ia ingin mendapat—sebut saja—pencerahan rohaniah. Ia tidak mendapatkannya dalam institusi-institusi agama.
Dalam kerinduan spiritual itu, muncullah guru. Ia menawarkan pengalaman rohaniah yang “instan”. Kalau kamu sudah kecapaian dengan logika dan angka, masuklah bersama guru ke dalam dunia rasa dan percaya. Bunuh rasionalitas dan tumbuhkan spiritualitas (seakan-akan keduanya bertentangan). Dengan memanipulasi ajaran-ajaran esoterik dalam setiap agama, guru menegaskan—sambil mengutip Rumi—”di negeri cinta, akal digantung”.
Kalau akal sudah digantung, terbukalah peluang bagi guru untuk memanipulasi pikiran para pengikutnya. Aku menemukan bahwa teknik-teknik menggantung akal yang dilakukan para guru itu sepenuhnya melaksanakan nasihat Dostoyevsky dalam “The Brother of Karamazov”: Ada tiga kekuatan, dan hanya tiga, yang dapat menaklukkan dan
melumpuhkan semangat para pemberontak ini. Yang tiga itu ialah mukjizat, misteri, dan otoritas. Tentu saja hampir tidak ada di antara para guru itu yang membaca Dostoyevsky.
Mukjizat sebenarnya adalah kumpulan dari halusinasi, ilusi, dan delusi. Guru menciptakannya dengan “merusak” otak pengikutnya melalui ritual yang aneh-aneh. Salah satu teknik yang paling populer dan paling efektif adalah pengurangan waktu tidur (sleep deprivation), apalagi bila dibarengi dengan tidak makan (food deprivation). Dalam
keadaan normal, otak kita mensintesiskan “pil tidur alamiah” sepanjang waktu bangun kita. Sesuai dengan ritme biologis, kita tidur pada waktu malam. Karena deprivasi tidur, pil tidur alamiah itu berakumulasi dan bermetabolasi menjadi produk-produk beracun.
Lalu timbullah mula-mula gangguan mood—pergantian antara euforia dan depresi. Menyusul gangguan mata yang menimbulkan halusinasi (melihat cahaya dan benda-benda bergerak), delusi, dan puncaknya disorganisasi pikiran (sederhananya, gangguan jiwa). Seperti pengurangan tidur, guru juga menciptakan pengalaman rohaniah dengan upacara, seperti latihan masuk kubur, gerakan kolektif yang berulang-ulang, atau penggunaan obat-obat kimiawi. Murid mengira mereka mengalami pengalaman gaib. Ahli neurologi menyebutnya kerusakan otak (brain damage).
Karena pengalaman rohaniah yang mereka alami, mereka merasa dibawa ke alam gaib. Di sekitar kehidupan guru berkumpul berbagai misteri. Guru pemilik ilmu-ilmu yang sangat rahasia. Guru malah mengembangkan bahasa sendiri. Istilah-istilah agama diberi makna baru. Perjalanan bersama guru adalah perjalanan menyingkap tirai-tirai kegaiban. Murid tidak bisa menyingkap rahasia itu tanpa bimbingan guru. Seperti kata Dostoyevsky, dengan menggabungkan mukjizat, misteri, dan otoritas, bertekuklah jiwa-jiwa kritis ke kaki sang Pembawa Pencerahan.
Helen sekarang sadar bahwa ia telah jatuh kepada perampok di jalan Tuhan. Hati-hati, dalam perjalanan menuju pencerahan jiwa, Anda akan disabot oleh apa yang disebut Jean Marie-Abgrall sebagai Soul- Snatchers, para pencuri jiwa. Helen masih berjuang menyembuhkan luka-luka jiwanya; sebenarnya kerusakan dalam otaknya. Aku menganjurkan dia untuk berobat ke psikiater. Ia menolaknya.
Lama aku kehilangan Helen. Secara kebetulan, aku menemuinya dalam satu acara. Aku menanyakan mengapa ia tidak lagi mengontak aku. Ia menarik aku ke tempat sepi. Dengan muka yang penuh ketakutan, ia berbisik: gurunya sudah tahu bahwa ia telah melaporkan keadaannya kepadaku. Ia mendapat ancaman. Ia diperingatkan agar memutuskan semua hubungan dengan masyarakat di luar komunitasnya.
Bersamaan dengan hilangnya Helen, Juliet Howell, peneliti sufisme urban, muncul lagi di hadapanku. Lebih dari sepuluh tahun yang lalu, ia mewawancaraiku perihal tasawuf di masyarakat kota. Waktu itu aku menyelenggarakan kelas-kelas tasawuf di daerah elite. Kali ini ia bertanya tentang pengalamanku membina tasawuf. Ia juga bertanya tentang yayasan kajian tasawuf yang aku kelola. Aku bilang aku sudah tidak lagi berurusan dengan tasawuf. Ia bertanya tentang muridku yang paling “sufi”. Aku jawab,” Ia sudah mencapai makrifat setelah belajar dikuburkan hidup-hidup”. Howell mendesak bagaimana caranya membedakan gerakan tasawuf yang benar dengan gerakan para perampok di jalan Tuhan.
“Gunakanlah ukuran UUD dan UUS,” jawabku, “apabila Anda menemukan gerakan itu ujung-ujungnya duit atau ujung-ujungnya seks, Anda sudah disimpangkan dari jalan Tuhan. Ada dua juga yang membedakan saints dengan madmen: bila setelah mendapat pengalaman rohaniah, Anda merasa diri Anda rendah dan bergairah untuk menyebarkan kasih ke seluruh alam, Anda adalah orang suci. Bila Anda merasakan diri Anda lebih saleh daripada semua orang dan Anda hanya bergairah untuk mengasihi guru Anda, Anda adalah orang gila. Anda sudah masuk perangkap Soul-Snatchers. Gitu aja, kok repot!”.
Tulisan Kang Jalal di atas, bagiku sangat penting. Karena banyak orang yang jiwanya kering, lalu masuk tarekat sufisme, dan terjebak di sana. Ia merasa mendapat guru untuk memperkaya batin dan spiritualnya. Tapi ternyata, ia tertipu. Alih-alih mendapat pencerahan, ia jadi orang gila. Otaknya rusak.
Terimakasih Kang Jalal atas ilmu dan kearifan yang pernah engkau ajarkan kepada kami. Kau telah menyelamatkan kami yang acap tersesat dan dirampok dalam perjalanan menuju Tuhan. Selamat Jalan Kang Jalal. Tuhan selalu mengasihimu! God Bless U.