Sebagai rekdaktur halaman opini Berita Buana, Daru Priyambodo memuat tulisan pertama yang saya kirimkan ke koran itu, tentang terpilihnya Bill Clinton sebagai presiden Amerika Serikat (1992). Saya gembira ia memasangnya sebagai artikel utama. Ia menceritakan hal ini lebih dari setahun kemudian, ketika kami berkenalan dan menjadi kolega di harian Republika.
Badannya tinggi dan tegap. Suaranya kurang mewakili posturnya yang mengesankan itu. Sikap, keramahan dan kekocakannya yang cerdas semakin melunakkan keangkeran sosoknya. Meski tak pernah terkesan ingin dipandang sebagai intelektual, ia selalu menunjukkan secara alami semangat, minat dan kejernihan akademisnya dalam melihat banyak hal.
Menyenangkan melihat spirit keilmuannya sebagai mantan dosen Sosiologi Universitas Airlangga tak pernah pudar. Tampaknya bagi Daru jurnalistik adalah perpanjangan langsung — atau ekspresi popular — dari etos, etik dan aktualisasi pemikiran akademis.
Barangkali ia sepakat dengan Philip Graham (Washington Post, Newsweek) bahwa jurnalisme adalah rancangan awal sejarah (the first draft of history). Ia lebih banyak mengungkapkan prinsip ini dengan tindakannya, dan kurang menularkannya kepada rekan-rekan juniornya dengan perkataan.
Tapi menggeluti kerja jurnalistik bersamanya membuat kepercayaan kita pulih tentang berharganya kerja menulis potongan-potongan sejarah setiap hari, setiap pekan, setiap bulan.
Seperti kebanyakan intelektual, ia menyimpan energi humor dan memeliharanya dengan rapi. Perbedaannya dengan kebanyakan orang jenaka lain: ia mampu merumuskan kejenakaan dengan ringkas, padat dan mengena. Di Republika, semua sepakat bahwa ia penulis terbaik ruang pojok berisi satir pendek, yang biasa memuat sindiran tajam-cerdas tentang situasi aktual, umumnya di arena politik.
Sore tadi, entah dalam konteks apa, saya menceritakan sebuah karya Daru yang paling saya ingat kepada A.S Laksana dalam obrolan di rumah. Ceritanya, di sekitar tahun 1995, ada peristiwa pelarangan oleh Kedubes RI di Belanda terhadap suatu kegiatan warga Indonesia di negeri itu. Daru menuliskan komentarnya di rubrik pojok Republika: “En kowe di negeri orang masih suka main larang, heh?!”
Itu baris yang sangat kocak dan substansinya tepat. Kita paham bahwa Daru meminjam fraseologi klise itu dari film, sinetron dan komik silat yang berisi adegan polisi kolonial sedang menekan pejuang kemerdekaan di negeri kita. Memang terlalu sering budaya pop kita memotret polisi kompeni dengan ungkapan standar yang didahului dengan “en kowe”, dan diakhirnya dengan “heh?!”
Para sutradara dan pengarang cerita tidak pernah mampu menyajikan kegarangan penjajah dengan cara yang lebih cerdas. Jadi, selain mengkritik kedubes RI di Belanda dengan kocak, Daru sekaligus menyentil kemiskinan ekspresi para pembuat film, sinetron dan komik — suatu “en kowe” yang sering juga muncul di drama pendek dalam perayaan 17 Agustusan di kampung-kampung.
Ketika menceritakan hal itu kepada Sulak dengan geli, saya tidak tahu bahwa pagi harinya, sekitar pukul 9, penulis “en kowe” itu telah menutup mata selama-lamanya, di rumahnya di Cibubur. Kabar itu seketika menghapus sisa rasa geli kami.
Daru pergi dalam usia tepat 57 tahun 4 bulan (12 Agustus 1963 – 12 Desember 2020). Saya akan terus mengenangnya sebagai wartawan yang, dengan cara khasnya sendiri, berusaha menempatkan jurnalisme di tempat yang sama terhormatnya dengan semua ikhtiar intelektual lain — dan saya tahu ia tidak gagal.