Kamis, Mei 16, 2024

Urgensi Penetapan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) dalam Melindungi Fisik dan Jiwa Perempuan Indonesia

Salah satu bentuk kekerasan terhadap anak dan perempuan adalah kekerasan seksual, yang berefek pada gangguan fisik dan psikis. Tidak sedikit korban kekerasan seksual yang mengalami dampak mematikan pada dirinya seperti stress, depresi, goncangan jiwa, adanya perasaan bersalah sehingga menyalahkan diri sendiri, trauma, adanya bayangan-banyangan kejadian saat menerima kekerasan seksual, timbulnya rasa takut, sakit jiwa dan bahkan bunuh diri akibat dari apa yang dialaminya. Fenomena kekerasan seksual harus dipikirkan jalan keluar agar setiap tahunnya kasus kekerasan seksual tidak meningkat dan bahkan menghilang dari sekitar kita. Tulisan ini merekomendasikan agar penegakan hukum seperti RUU Penghapusan Kekerasan Seksual disahkan dan dilaksanakan secepatnya agar pelaku kekerasan seksual pada anak dan perempuan tidak merajalela, sehingga dapat melindungi Hak Asasi anak dan perempuan Indonesia dalam menjalani kehidupannya. 

Kekerasan seksual merupakan kejahatan yang sangat memberikan dampak secara fisik dan mental korbannya, baik pada anak-anak, remaja maupun wanita dewasa. Dampak pelecehan seksual mengakibatkan korban tersebut diliputi rasa takut, malu, dendam, penuh kebencian pada orang yang melecehkan bahkan kebencian tersebut menyebar kepada oranglain. Kekerasan seksual adalah segala berbentuk pemaksaan dan ancaman yang menyerang korban secara seksual.

Kekerasan terhadap perempuan Indonesia sangat merugikan aspek fisik dan psikologis atau mentalnya. Perempuan seharusnya berhak memperoleh perlindungan terhadap hak-haknya. Telah banyak terjadi tindak kekerasan di Indonesia yang menimbulkan keresahan luar biasa terhadap masyarakat. Seperti halnya yang terdapat pada Komnas Perlindungan Anak mengenai kekerasan dari tahun ke tahun semakin meningkat, jika dilihat pada tahun 2010 kekerasan pada anak sekitas 2.046 kasus diterima, tahun 2011 meningkat lagi menjadi 2.462 kasus, 2012 menjadi 2.629 kasus kemudian pada tahun 2013 semakin meningkat 1.032 kasus kekerasan yang terdiri dari: kekerasan fisik 290 kasus, psikis 207, seksual 535 kasus, tahun 2014 berkisar 42-62% (Jurnal, 2017:188-189). Dalam hal ini jelas terlihat bahwa kasus kekerasan seksual yang paling banyak yaitu 535 kasus. Pada awal tahun 2018 kekerasan seksual semakin meningkat. Korban tidak hanya perempuan malahan kekerasan seksual pada anak laki-laki justru makin banyak. Misal yang ada di Tangerang korban mencapai 46 orang, di Jakarta Timur berjumlah 16 orang, Aceh 26 anak, Karanganyar 17 anak, Tapanuli Selatan 42 anak dan di Tasik 6 anak. Dari data sementara di beebrapa titik tertentu sudah ada korban anak laki-laki berjumlah 223 anak (Kompas, 2018). 

Hal demikian hendaknya menjadi kekhawatiran bersama dan sudah seharusnyalah kita bertindak agar kekerasan seksual ini tidak terulang lagi baik pada anak-anak, remaja atau perempuan Indonesia lainnya. Anak dan perempuan lainnya merupakan manusia yang lemah yang membutuhkan perhatian dan perlindungan lebih. Maka dari itu hendaknya negara yang katanya menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia agar menetapkan aturan yang tegas terhadap perlindungan seksual anak dan perempuan di Indonesia. Maka dari itu penulis merasa bahwa RUU dalam rangka penghapusan kekerasan seksual sangat urgen sebagai upaya perlindungan terhadap anak dan perempuan Indonesia.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia “kekerasan” diartikan dengan perbuatan seseorang atau sekelompok orang yang menyebabkan korban cedera atau bahkan meninggal juga menyebabkan kerusakan fisik atau barang oranglain. Sering sekali orang menganggap bahwa masalah kekerasan seksual merupakan hal biasa yang dialami perempuan. Padahal masalah kekerasan seksual adalah masalah yang kompleks yang berakar pada budaya yang ditanamkan berabad-abad lamanya (Siti Nafisah, 2016: 214-215). Rancangan mengenai Undang-undang penghapusan kekerasan seksual mengatur banyak hal. Dan sudah semestinya lah hukum ditetapkan dengan tegas dalam rangka memenuhi Hak Asasi Manusia.

Dalam RUUPKS mengatur banyak hal, tidak hanya mengenai penanganan hukum acara atau sanksi pidana, akan tetapi RUU lebih banyak memberikan manfaat bagi korban kekerasan seksual. Lembaga Badan Hukum (LBH) mengatakan bahwa korban kekerasan seksual harus dapat manfaat dari apa yang dilaporkan. Veny mengatakan bahwa RUUPKS mencakup mulai dari pencegahan, pemenuhan hak korban, pemulihan korban hingga pada penanganan selama proses hukum.

Dalam RUUPKS sistem peradilannya akan dibuat seperti peradilan anak, diadakan dalam sidang tertutup. Adapun korban berhak memilih untuk bertemu pelaku atau tidak. RUU juga mengatur tentang peran serta masyarakat seperti pengaduan dan layanan terpadu oleh masyarakat atau komunitas setempat. RUUPKS juga mengatur sanksi bagi pelaku kekerasan seksual misalnya pelaku membayar restitusi kepada korban (Kompasnas, 2017).

Kekerasan seksual yang terjadi harusnya menjadi perhatian dari semua pihak, karena kekerasan seksual bisa saja terjadi kepada siapa saja. Bahkan kekerasan seksual di Indonesia nampaknya sudah tidak di tolerir lagi. Namun demikian, DPR belum ada kepastian mengenai penetapan RUUPKS ini masih menjadi prioritas. Sementara korban kekerasan seksual semakin banyak terjadi di Indonesia, sehingga keterlambatan pengesahan RUUPKS dianggap tidak tanggap terhadap peningkatan kekerasan seksual yang terjadi (Kompasnas, 2017).

Dalam hal ini penulis mengimbau bahwa pengesahan RUUPKS sangat penting dalam melindungi Hak Asasi Manusia, mencegah tindakan kekerasan seksual yang semakin yahun semakin meningkat. Pengesahan RUUPKS dalam melindungi fisik dan mental atau psikologis anak dan perempuan Indonesia sangat diharapkan. Sudah seharusnya lah RUUPKS menjadi RUU proiritas, karena mneurut penulis sendiri RUU ini sangat urgen dalam mencegah dan menangani kasus kekerasan seksual pada anak dan perempuan negara Indonesia terutamanya.   

Di Indonesia atau bahkan di penjuru dunia kekerasan seksual telah menjadi fenomena global tanpa melihat suku, kultur maupun kelas sosial. Kekerasan seksual terhadap anak dan perempuan mengakibatkan gangguan pada kesehatan baik fisik maupun mental bahkan akibat dari kekerasan seksual banyak yang mengalami kematian. Ada beberapa bentuk kekerasan pada perempuan, yaitu kekerasan dalam rumah tangga dan diluar rumah tangga atau ranah publik (Siti Nafisah, 2016: 219-220):

Kekerasan dalam Rumah Tangga

Kekerasan dalam rumah tangga adalah penganiayaan yang dilakukan seseorang dalam satu keluarga terhadap keluarga lainnya, berupa: penganiaayaan fisik (pukulan, tendangan), penganiayaan psikis (ancaman, hinaan), penganiayaan seksual (pemaksaan hubungan seksual). Dalam kekerasan rumah tangga akan melibatkan siapa saja dalam keluarga baik penganiayaan suami terhadap istri, penganiaayaan ibu terhadap anaknya dan lain sebagainya. Adapun yang menjadi penyebab adalah kurangnya pemahaman masyarakat terhadap ajaran agama mengenai aturan mendidik istri ataupun anak.

Kekerasan di luar Rumah Tangga (Publik)

Kekerasan bentuk ini sama halnya dengan kekerasan dalam rumah tangga akan tetapi tempat terjadinnya berada di ranah publik, misal di tempat kerja, dalam lembaga pendidikan, angkutan umum, maupun di jalanan. Adapun yang menjadi penyebab terjadinya kekerasan dalam ranah publik disebabkan faktor potensi pribadi, kesalahan pola asuh orangtua, tiruan dari media sosial, maupun karena frustasi. Bentuk kekerasan seksual dalam publik yang paling banyak terjadi sekarang ini adalah tindakan pencabulan terhadap anak di bawah umur dan pemerkosaan.    

Ada banyak bentuk kekerasan seksual terhadap anak dan perempuan terutama di Indonesia yang ditemukan di Komnas, yaitu (Toeng Sabrina: 4-12):

  1. Pemerkosaan, ialah pemaksaan hubungan seksual dengan menggunakan kekerasan, penahanan, tekanan psikologis, atau mengambil kesempatan dari lingkungan yang penuh dengan paksaan.
  2. Intimidasi seksual termasuk ancaman percobaan pemerkosaan, ialah tindakan penyerangan seksualitas untuk menimbulkan rasa takut atau penderita psikis pada perempuan korban.
  3. Pelecehan seksual, Tindakan seksual lewat sentuhan fisik maupun non fisik dengan sasaran organ seksual korban. Termasuk menggunakan siulan, main mata, ucapan bernuansa seksual, colekan bagian tubuh, gerakan bersifat seksual hingga membuat tidak nyaman, tersinggung, merasa direndahkan martabatnya, hingga menyebabkan masalah kesehatan.
  4. Eksploitasi seksual, penyalahgunaan kekuasaan yang timpang, penyalahgunaan kepercayaan dengan tujuan kepuasaan seksual. Eksploitasi seksual yang banyak terjadi adalah dengan menggunakan kemiskinan perempuan sampai ia masuk kepada prostitusi atau pornografi.
  5. Perdagangan perempuan untuk tujuan seksual, ini adalah tindakan merekrut, menampung, mengirim, menculik, mengamcam kekerasan, penipuan, penjeratan utang, dan lainnya yang dapat terjadi di dalam negara maupun diluar negara.
  6. Prostitusi paksa, ialah keadaan dimana perempuan mengalami tipu daya, ancaman maupun kekerasan untuk menjadi pekerja seks.
  7. Perbudakan seksual, ialah situasi dimana pelaku merasa menjadi pemilik atau tubuh korban, sehingga ia berhak melakukan apapun termasuk kepuasan seksual melalui pemerkosaan atau bentuk kekerasan seksual lainnya.
  8. Pemaksaan perkawinan, pemaksaan perkawinan dimasukkan ke dalam kekeran seksual karena adanya pemaksaan hubungan seksual menjadi hubungan tidak terpisahkan dari perkawinan yang tidak diinginkan oleh perempuan tersebut.
  9. Pemaksaan kehamilan, situasi ketika perempuan dipaksa, dengan kekerasan atau ancaman untuk melanjutkan kehamilan yang tidak dia kehendaki. Ini biasanya dialmi oleh korban pemerkosaan yang tidak ada pilihan lain kecuali melanjutkan kehamilannya.
  10. Pemaksaan aborsi, ialah pengguguran kandungan karena adanya tekanan, ancaman, maupun paksaan dari pihak lain.
  11. Pemaksaan kontrasepsi dan sterilisasi, ialah pemaksaan ketika pemasangan alat kontrasepsi/pelaksanaan strerilisasi tanpa persetujuan utuh dari perempuan karena ia tidak mendapat informasi lengkap dan dianggap tidak cakap hukum untuk dapat memberikan persetujuan.
  12. Penyiksaan seksual, tindakan khusus menyerang organ atau seksualitas perempuan, yang dilakukan secara sengaja, hingga menyebabkan rasa sakit, derita hebat baik jasmani maupun rohani. Ini biasanya dilakukan untuk mendapatkan keterangan darinya untuk menghukumnya atas perbuatan yang telah atau disuga dilakukan olehnya. Penyiksaan seksual juga bisa dilakukan untuk memaksa atau mengancam.
  13. Penghukuman tidak menusiawi dan bernuansa seksual, adalah cara menghukum seseorang yang mengakibatkan penderitaan. Termasuk padanya hukuman cambuk dan hukuman lainnya yang mempermalukan atau merendahkan martabat manusia karena dituduh melanggar norma-norma kesusilaan. 
  14. Praktik tradisi bernuansa seksual yang membahayakan dan mendiskriminasi perempuan, ialah kebiasaan dalam masyarakat kadang ditopang dengan alasan agama atau budaya yang bernuansa seksual  yang dapat menimbulkan cedera secara fisik, psikologis maupun seksual pada anak dan perempuan.
  15. Kontrol seksual, termasuk aturan diskriminatif beralasan moralitas dan agama, adalah cara berpikir masyarakat yang menempatkan perempuan sebagai simbol moralitas komunitas, yang membedakan perempuan baik-baik dan perempuan nakal dan menghakimi perempuan sebagai pemicu kekerasan seksual menjadi landasan upaya mengontrol seksual perempuan. 

Dari banyaknya kekerasan seksual ini tidak menutup kemungkinan masih banyak bentuk kekerasan seksual lainnya yang terjadi akhir-akhir ini.

Kekerasan seksual memberikan dampak negatif pada anak dan perempuan dewasa lainnya. dampak kekerasan seksual ditandai dengan adanya powerlessness, yang berarti bahwa korban merasa tidak berdaya dan tersiksa ketika mengungkap peristiwa pelecehan ataupun kekerasan seksual. Kekerasan seksual berakibat pada emosional, fisik dan psikis korban. Secara emosional anak dan perempuan lainnya yang menjadi korban akan mengalami stress, depresi, goncangan jiwa, adanya perasaan bersalah sehingga menyalahkan diri sendiri, trauma, adanya bayangan-banyangan kejadian saat menerima kekerasan seksual, timbulnya rasa takut ketika berhubungan dengan oranglain, sakit kronis, bunuh diri, kecanduan, kehamilan yang tidak diinginkan, mimpi buruk, insomnia, dan lainnya.

Dari segi psikologisnya muncullah gangguan-ganggua seperti pascatrauma stress disorder, kecemasan, penyakit jiwa, gangguan kepribadian gangguan identitas disosiatif, kecenderungan untuk reviktimasi dimasa dewasa. Adapun cedera fisik pada anak dan perempuan yang mengalami kekerasan seksual adalah mengalami penurunan nafsu makan, sulit tidur, sakit kepala, sekitar vagina tidak nyaman, beresiko tertular penyakir menular seksual, luka ditubuh akibat pemerkosaan, kehamilan yang tidak diinginkan (Ino Noviana, 2015: 18-19).   

Dari beberapa paparan diatas dapat disimpulkan bahwa, kekerasan seksual yang terus terjadi di sekitar kita, mengakibatkan banyak korban yang mati, stress, mengalami gangguan pada fisik dan psikis yang membuat masyarakat resah akan anak mereka, karena tindakan kekerasan seksual yang tidak hanya ada dalam masyarakat sosial bahkan telah menyebar keseluruh penjuru baik itu dalam lembaga pendidikan maupun dalam keluarga yang tidak bisa di tolerir lagi. Kekerasan seksual terhadap anak dan perempuan semakin meningkat dari tahun ke tahun.

Pentingnya pengesahan dan penetapan RUUPKS dalam menyikapi tindakan penghapusan kekerasan seksual yang telah merajalela dikalangan masyarakat. RUUPKS mestinya menjadi landasan demi untuk mengurangi angka kekerasan seksual. Dalam melakukan perlindungan terhadap fisik dan psikis anak dan perempuan akibat kekerasan seksual pemerintah dan penegak hukum hendaknya memperhatikan prioritas hukum yang berkaitan dengan penjatuhan hukuman yang semestinya kepada pelaku kekerasan seksual agar Hak-hak Asasi Manusia tercapai dalam kehidupan selanjutnya. 

Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.