Indonesia dikenal sebagai negara yang menjunjung tinggi adab dan perikemanusiaan. Namun, permasalahan yang terjadi saat ini maraknya kekerasan seksual yang melibatkan anak sebagai korban, bahkan perempuan sekalipun. Padahal, proses pertumbuhan dan perkembangan anak sangatlah penting dalam membentuk kepribadiannya.
Anak adalah seorang lelaki atau perempuan yang belum dewasa atau belum mengalami masa pubertas. Sedangkan perempuan adalah sebutan bagi seorang wanita baik yang sudah dewasa maupun masih anak-anak. Dua kategori ini memiliki kesamaan untuk dijadikan alasan dalam kekerasan seksual, yaitu kelemahan. Maka tak heran jika sekarang banyak dari mereka yang menjadi korban dalam hal ini.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) “kekerasan” memiliki makna perbuatan seseorang atau kelompok orang yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain; paksaan. Sedangkan kata “seksual” memliki makna berkenaan dengan seks (jenis kelamin). Dengan demikian, kekerasan seksual mengacu pada tindakan seseorang untuk memanipulasi atau membuat orang lain melakukan tindakan seksual yang tidak dikehendaki. Namun, dalam KUHP sendiri hanya mendefinisikan sebagai tindakan atau perbuatan persetubuhan (pemerkosaan). Lalu, bagaimana dengan kekerasan seksual dengan modus yang berbeda? Padahal, jika dilihat dari berbagai kasus di Indonesia, bentuknya bermacam-macam.
Tak bisa dipungkiri, banyak sekali kasus kekerasan seksual pada anak dan juga kaum hawa yang telah terjadi di Indonesia. Dari data yang diungkap Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) hingga awal tahun 2018 tercatat ada 223 aduan kasus kekerasan seksual pada anak. Modus dari tiap kasusnya pun berbeda-beda. Ada yang menyampaikan berita mistis bahwa jin bersemayam di bagian-bagian tubuh anak. Lalu si anak disuruh melepas pakaian untuk melakukan ruqyah. Ada yang menyuruh anak untuk duduk diatas paha mereka (dipangku), dan masih banyak modus lainnya.
Kasus kekerasan seksual yang terjadi pada perempuan dari tahun ke tahun prosentasenya semakin meningkat. Jika dilihat mungkin kurang lebih 87% kekerasan seksual terjadi pada perempuan dan 13% pada laki-laki. Seperti yang telah dicatat oleh Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (KOMNAS Perempuan) bahwasanya dari tahun 2013 hingga tahun 2017 angka kekerasan seksual terus meningkat. Pada tahun 2017 tercatat sejumlah 2.290 kasus kekerasan seksual yang dilaporkan.
Mengutip pendapat Piaget, bahwasanya anak akan melalui step moralitas otonomi dimana mereka akan belajar memahami dan menilai baik buruknya suatu tindakan. Masa tumbuh kembang anak memang sangat penting. Maka, permasalahan anak yang menjadi korban kekerasan seksual layak dituntas. Anak yang sering bermain di luar tanpa pengawasan orang tua bisa menjadi penyebabnya. Mereka cenderung lebih suka untuk tidur di luar, mandi di tempat terbuka, dan lain sebagainya. Bahkan, budaya asing dan jeleknya moral yang ada di lingkungan luar dapat diserap begitu cepat oleh anak jika tak memiliki pengawasan yang ketat oleh orang tua. Pergaulan bebas, game tidak mendidik, atau bahkan film porno. Pelaku juga mengincar anak yang pendiam dan pemalu. Dengan begitu, kecil kemungkinan si anak akan melaporkan apa yang telah terjadi pada dirinya.
Perempuan yang dikenal lemah pun tak luput untuk dijadikan incaran pelaku. Budaya patriarki yang tumbuh dalam masyarakat Indonesia merupakan salah satu penyebab banyaknya korban perempuan. Mindset masyarakat Indonesia masih menempatkan perempuan berada lebih rendah dan lemah daripada laki-laki. Apa yang dilakukan seorang perempuan tak boleh melampaui derajat kaum adam. Para ilmuwan seperti Plato juga beranggapan bahwa perempuan memang lebih lemah fisik ketimbang laki-laki. Juga, nafsu seksual yang dimiliki seorang lelaki cenderung lebih besar daripada perempuan. Maka, tak heran jika kaum adam lebih banyak menyalurkan hasrat mereka pada kaum hawa. Meskipun hanya berupa colekan atau sentuhan. Malah justru bentuk pelecehan seksual seperti inilah yang jarang diadukan oleh korban.
Perlu diketahui, bahwa data-data yang dimiliki oleh badan-badan penanganan khusus hanya berdasarkan laporan aduan para korban semata. Lalu, berapakah kasus yang tidak diadukan? Faktanya, banyak korban yang hanya bungkam karena beberapa faktor, salah satunya rasa cemas dan ketakutan akan tindakan pelaku. Butuh nyali besar bagi korban untuk melaporkan kasus yang menimpanya.
Sejatinya, penindakan kasus kekerasan seksual pada anak ini telah diatur dalam Undang-undang nomor 35 tahun 2004 tentang Perlindungan Anak. Undang-undang ini mengatur tentang pemidanaan bagi seseorang yang melakukan atau memaksa anak melakukan persetubuhan atau pencabulan dan juga mengenai eksploitasi seksual. Juga dijelaskan di dalamnya mengenai bentuk pemulihan dan rehabilitasi bagi korban anak.
Sayangnya, Undang-undang ini hanya terbatas pada ‘anak’ saja, tidak meliputi seluruh orang yang menjadi korban dalam kekerasan seksual. Padahal, jika kita lihat kasus yang terjadi saat ini banyak sekali perempuan yang menjadi korban. Seperti kasus Agni (nama samaran) di Yogyakarta, Anindya Sabrina di Surabaya, dan masih banyak lagi.
Jenis kekerasan seksual yang disebutkan dalam undang-undang hanya sebatas persetubuhan dan eksploitasi seksual. Padahal, bentuk-bentuk kekerasan seksual yang terjadi saat ini tak hanya berupa dua macam itu saja. Sebenarnya, banyak dari bentuk-bentuk kekerasan seksual yang telah dijelaskan dalam Undang-undang. Namun, kebanyakan belum digambarkan secara jelas tentang pemidanaan bagi pelaku ataupun pemulihan bagi sang korban.
Pada tahun 2016, Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual mulai dibentuk. RUU ini mengisi kekosongan hukum yang ada dalam Undang-undang nomor 35 tahun 2004 tentang Perlindungan Anak. Bukan hanya mengatur tentang pemidanaan bagi pelaku, RUU ini juga mengatur secara komprehensif mengenai hak korban kekerasan seksual, baik anak-anak maupun orang dewasa, laki-laki maupun perempuan. Mulai dari pencegahan, rehabilitasi, hingga pemulihan.
Di dalamnya juga dijelaskan mengenai 9 dari 15 jenis kekerasan seksual, yaitu pelecehan seksual, eskploitasi seksual, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, pemerkosaan, pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual, dan penyiksaan seksual. Sedangkan untuk jenis lainnya tidak harus diselesaikan dengan pengaturan pidana. Dari ke sembilan jenis ini sudah cukup mendefinisikan kekerasan seksual secara luas.
Namun, sayangnya RUU ini hingga sampai saat ini masih mandek di DPR dan belum dapat disahkan karena masih ada beberapa pertimbangan. Padahal, sangat diharapkan undang-undang ini dapat menjadi payung hukum bagi kasus kekerasan seksual yang sedang marak terjadi, terkhusus bagi kaum perempuan.
Hubungan antara masyarakat dan pemerintah menjadi hal yang penting. Peran keluarga dan masyarakat harus dilibatkan dalam pengawasan dan pendidikan. Karena, dengan terciptanya lingkungan yang baik, akan memberikan potensi yang kecil bagi pelaku untuk berbuat kekerasan seksual. Ataupun jika ada, segala bentuk kekerasan dapat segera dilaporkan dan ditangani. Kemudian, urusan pemerintah adalah menyelesaikan kasus dengan hukum yang ada. Maka, sangat diharapan kasus kekerasan seksual ini memiliki undang-undang yang mengaturnya secara komprehensif. Dengan begitu, kekerasan seksual yang menimpa anak maupun orang dewasa, khususnya perempuan dapat diberantas dan terselesaikan dengan baik.