Jumat, Mei 17, 2024

Pernikahan Dini dan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual

Publik dibuat tercengang dengan pemberitaan anak laki-laki berusia 9 tahun menikah dengan remaja perempuan berusia 14 tahun pada 17 Desember 2018 lalu. Informasi ini pertama kali diunggah dan dibagikan oleh akun instagram @makassar_iinfo. Keduanya memutuskan menikah setelah pertama kali bertemu di waterbom dan terlibat cinta lokasi. Foto-foto mereka sudah tersebar luas di internet tanpa sensor. Dekorasi pesta pernikahan mereka saja bahkan tampak seperti pesta ulang tahun. Benar-benar tidak habis pikir dengan keputusan yang mereka ambil, lebih tidak habis pikir lagi dengan orang tua keduanya yang membiarkan pernikahan dini seperti ini bisa terjadi.

Literasi, pendidikan seks, dan sosialisasi yang dilakukan baik itu oleh pemerintah atau pun organisasi masyarakat dan organisasi non profit lainnya seharusnya bisa bergerak lebih masif lagi dan menjangkau daerah dengan tingkat pernikahan dini yang tinggi. Pernikahan bukanlah solusi untuk perbaikan ekonomi, pernikahan juga bukan solusi untuk menghindari perzinahan. Ironisnya, di Indonesia, seks itu tidak tabu untuk dilakukan, tetapi tabu untuk dibicarakan.

Pernikahan dini merupakan salah satu bentuk dari kekerasan seksual, karena pada usia itu anak belum siap untuk melakukan hubungan seksual. Komnas Perempuan mencatat, selama 12 tahun (2001- 2012), sedikitnya ada 35 perempuan menjadi korban kekerasan seksual setiap hari. Pada tahun 2012, setidaknya telah tercatat 4,336 kasus kekerasan seksual, dimana 2,920 kasus diantaranya terjadi di ranah publik/komunitas, dengan mayoritas bentuknya adalah perkosaan dan pencabulan (1.620). Sedangkan pada tahun 2013, kasus kekerasan seksual bertambah menjadi 5.629 kasus. Ini artinya dalam 3 jam setidaknya ada 2 perempuan mengalami kekerasan seksual. Usia korban yang ditemukan antara 13-18 tahun dan 25-40 tahun.

Kekerasan Seksual menjadi lebih sulit untuk diungkap dan ditangani dibanding kekerasan terhadap perempuan lainnya karena sering dikaitkan dengan konsep moralitas masyarakat. Perempuan dianggap sebagai simbol kesucian dan kehormatan, karenanya ia kemudian dipandang menjadi aib ketika mengalami kekerasan seksual, misalnya perkosaan. Korban juga sering disalahkan sebagai penyebab terjadinya kekerasan seksual. Ini membuat perempuan sebagai korban seringkali bungkam.

Perkosaan terjadi, ketika mereka belum paham mengenai bagian tubuh mana yang tidak boleh dilihat dan disentuh orang lain. Setelah perkosaan terjadi, mereka merasa malu dan takut, belum lagi keluarga yang harus ikut menanggung malu, membuat pernikahan menjadi solusi tercepat yang bisa diberikan. Apalagi jika pernikahan usia dini termasuk hal yang lumrah di daerahnya. Korban perlu pendampingan, bukan pernikahan. Belum lagi jika si pemerkosa berdalih bahwa seks yang mereka lakukan atas dasar suka sama suka.

Satu dari 5 anak perempuan di Indonesia di bawah 18 tahun sudah menikah. Dari faktor ekonomi, sosial budaya, hingga korban perkosaan yang dipaksa untuk menikahi pelakunya. Korban perkosaan yang dipaksa untuk menikahi pelakunya, pengalaman diperkosa saja sudah pasti menyisakan trauma mendalam, dan ini, harus menikah, menghabiskan hari-hari dengan pemerkosa itu? Bisa dibayangkan korban harus menjalani hidupnya seperti apa. Belum lagi harus menghadapi komplikasi saat hamil dan melahirkan dikarenakan kondisi fisiknya yang belum siap.

Anak perempuan yang hamil di usia dini menghadapi risiko komplikasi melahirkan yang jauh lebih tinggi, seperti fistula obsetetri, infeksi, pendarahan hebat, anemia, dan eklampsia. Komplikasi kehamilan dan melahirkan merupakan penyebab kematian utama pada anak perempuan berusia 15-19 tahun.

Persalinan di usia dini berkaitan dengan tingginya angka kematian ibu. Berdasarkan data dari BPS dan UNICEF Indonesia, anak perempuan usia 10-14 tahun berisiko lima kali lebih besar untuk meninggal dunia ketika masih hamil ataupun selama persalinan akibat komplikasinya daripada perempuan yang hamil di usia 20-24 tahun.

Mengutip dari Komnas Perempuan, perkosaan merupakan pelanggaran terhadap hak asasi  manusia seperti tertuang dalam konstitusi kita, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Secara khusus perkosaan merampas hak perempuan sebagai warga negara atas jaminan perlindungan dan rasa aman yang telah dijamin di dalam konstitusi pada Pasal 28G(1).

Karena lahir dari ketimpangan relasi kuasa antara laki-laki dan perempuan, pembiaran terhadap terus berlanjutnya perkosaan terhadap perempuan merampas hak perempuan sebagai warga negara untuk bebas dari perlakuan diskriminatif dan untuk mendapatkan perlindungan dari perlakuan diskriminatif itu (Pasal 28I(2)).

Akibat dari perkosaan itu, perempuan sebagai korban dapat kehilangan hak untuk hidup sejahtera lahir dan batin (Pasal 28H(1)), hak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia (Pasal 28G(2)), dan bahkan mungkin kehilangan haknya untuk hidup (Pasal 28A).

Banyak pula perempuan korban yang kehilangan haknya atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum (Pasal 27(1) dan Pasal 28D(1)) karena tidak dapat mengakses proses hukum yang berkeadilan.

Untuk menghindari perzinahan, pernikahan juga tidak bisa dibenarkan. Ketika permasalahan mereka yang seharusnya seputar PR Matematika atau Fisika yang belum dikerjakan, menjadi susu dan popok anak yang sulit terbeli. Sibukkan anak-anak dengan kegiatan sekolah, ekstrakurikuler, bermain, mengaji, dll. Mereka menyukai lawan jenisnya adalah hal yang wajar, bukan sebuah urgensi bahwa mereka harus segera dinikahkan karena takut terjadi perzinahan. 

Di usia mereka, seharusnya mereka masih mengenyam pendidikan, bermain bersama teman-teman, dan melakukan hobi mereka. Bukannya menikah, dan harus menghadapi segala macam persoalan rumah tangga yang belum siap untuk mereka hadapi, pun solusi untuk berbagai permasalahan yang akan muncul yang merupakan implikasi dari pernikahan dini yang mereka lakukan.

Biarkan mereka menikmati masa kecil dan masa remajanya, biarkan mereka mendapatkan pendidikan yang layak sehingga suatu hari nanti dapat memberikan perubahan nasib bagi dirinya dan juga keluarganya. Biarkan mereka melakukan hal-hal yang mereka sukai, sehingga suatu hari nanti mereka bisa bangga dengan dirinya sendiri, dengan pencapaian-pencapaian yang sudah diraih.

Pentingnya RUU Penghapusan kekerasan seksual salah satunya adalah untuk melindungi anak-anak Indonesia, dan juga menyelamatkan masa depan mereka. Apalagi di era globalisasi yang sudah serba canggih ini, ironis sekali rasanya jika masih berpikiran tradisional mengenai pernikahan.

Selain segera mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, penting juga untuk merevisi Undang Undang Perkawinan. Pada tanggal 13 Desember 2018 lalu, Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian dari gugatan uji materi terkait pembedaan usia perkawinan dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1 tahun 1974. Namun lagi-lagi, waktu yang diberikan untuk DPR merevisi Undang-Undang tersebut terlalu lama, yakni 3 tahun. Sementara permasalahan ini sudah sangat mendesak. Belum lagi berbagai macam kekerasan seksual lain yang juga perlu diperjuangkan untuk memiliki payung hukum, dalam hal ini adalah RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.

Terkait batas minimal usia perkawinan bagi perempuan, selagi diperjuangkan di tingkat pusat, DPRD juga seharusnya bisa segera membuat Perda yang mengacu pada Undang-Undang Perlindungan anak. Di dalam Undang-Undang Perlindungan anak, disebutkan bahwa usia di bawah 18 tahun itu masih dikategorikan sebagai anak-anak. Artinya, jika mengacu pada putusan Mahkamah Konstitusi, perempuan di bawah usia 18 tahun belum boleh menikah.

Setiap daerah yang memiliki angka pernikahan dini yang tinggi seharusnya bisa membuat Perda berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi terkait pembedaan usia perkawinan dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1 tahun 1974 tersebut dan Undang-Undang perlindungan anak. Perda nomor 9 tahun 2018 yang dibuat oleh Pemkab Katingan tentang pencegahan perkawinan pada usia anak, dapat menjadi contoh dan diikuti oleh seluruh daerah di Indonesia.

Meski prioritas utama tetaplah revisi Undang-Undang Perkawinan No. 1 tahun 1974 yang menjadi tugas DPR RI, tetapi masyarakat juga bisa mendesak Pemerintah Daerah untuk segera membuat Perda terkait pencegahan perkawinan pada anak. Selagi literasi, pendidikan seks, dan sosialisasi terus digaungkan dan diberikan, payung hukum juga tetap harus diperjuangkan. Pernikahan dini dapat dicegah dengan kerjasama yang baik antara pemerintah dan masyarakat. Karena permasalahan ini adalah permasalahan bangsa yang harus dipikirkan solusinya secara bersama-sama.

Anak-anak Indonesia, harapan bangsa, tanpa terkecuali

Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.