Jumat, Mei 17, 2024

Pentingnya Pengesahan RUU Kekerasan Seksual bagi Perempuan

Bagi penyintas kekerasan seksual seperti Dewi, bukan nama sebenarnya, mengingat masa lalu adalah kutukan tersendiri. Diam-diam dia selalu berharap agar bisa lupa pernah dicabuli pamannya bertahun-tahun yang lalu. Namun kenangan buruk itu masih sering melintas, membuatnya murung, sambil sesekali menangis, karena merasa kotor dan rendah.

“Pelaku pencabulan itu biasanya justru orang dekat,” Kata Dewi.

Seingat Dewi, pencabulan yang dialaminya terjadi ketika dia masih sangat kecil, namun bukan berarti dia tidak ingat apa yang terjadi kala itu. Paman yang seharusnya melindunginya, justru melakukan tindakan bejat itu berkali-kali, kadang dengan iming-iming uang atau makanan kecil. “Anak-anak mana mengerti apa yang sebenarnya terjadi,” kata perempuan paruh baya itu.

Ketika telah remaja, Dewi menjadi perempuan tertutup dan takut bergaul dengan lawan jenis. Orang di sekitarnya sering menganggapnya sombong, padahal dia beranggapan bahwa sikapnya itu adalah tameng untuk melindungi dirinya sendiri. Ketika sekarang sudah memiliki anak, dia was-was tiap buah hatinya bergaul dengan laki-laki, bahkan dengan saudara sendiri.

Dewi menyadari bahwa trauma atas pencabulan yang dialaminya sulit hilang. Hal yang menyedihkan, kenangan itu ia pendam sendiri selama bertahun-tahun, tanpa orang lain tahu, tanpa sekalipun mendapat pertolongan. “Kadang saya merasa sendiri,” Kata Dewi, yang ingin identitasnya disembunyikan.

“Saya dendam dengan paman saya. Namun saya cuma bisa diam. Tidak bisa apa-apa,” katanya.

Karena pengalaman buruknya itu, Dewi kini terdorong untuk lebih banyak berperan melindungi orang lain, baik perempuan maupun laki-laki, dari tindakan kekerasan seksual. Dia sangat peduli dengan isu-isu terkait gender dan bersedia menjadi pendengar bagi teman-temannya yang menjadi korban, baik dilakukan oleh pasangan, rekan kerja, atau orang asing sekalipun. “Tidak ada satu orang pun yang pantas diperlakukan seperti saya. Akibatnya tidak setahun dua tahun, tapi mungkin seumur hidup,” katanya, kali ini sambil menitikkan air mata.

Dewi tidak sedang membual. Hasil berbagai penelitian menunjukkan bahwa kekerasan seksual menimbulkan efek psikologis dan fisik, baik jangka pendek maupun jangka panjang, bagi para korban. Studi yang dilakukan Angela Browne and David Finkelhor dari University of New Hampshire, misalnya, mengungkap bahwa akibat jangka panjang yang dialami seseorang yang pernah dilecehkan saat kecil antara lain depresi dan perilaku merusak diri sendiri, kecemasan, perasaan terisolasi dan terstigma, kepercayaan diri yang rendah, sulit mempercayai orang lain, penyalahgunaan obat-obatan, berpotensi menjadi korban kembali (revictimization) ketika sudah dewasa.

Sementara itu, beberapa peneliti di University of Pittsburgh pada Oktober 2018 merilis hasil penelitian yang menyimpulkan bahwa kekerasan seksual berpengaruh terhadap kesehatan korban seperti; berpotensi mengalami tekanan darah tinggi sehingga beresiko menderita penyakit jantung, memiliki kualitas tidur yang buruk (insomnia), sering merasa cemas, dan depresi.

Dengan demikian, meski banyak kasus kekerasan seksual menunjukkan tidak ada akibat yang terlihat secara kasat mata, namun psikis korban sebenarnya terdampak, bahkan sakit. Kalau kata anak jaman sekarang, “sakit tapi tak berdarah”. Kita barangkali sepakat bahwa sakit secara psikologis jauh lebih sulit disembuhkan daripada luka yang terlihat dengan mata telanjang.

Bagi korban perempuan, tantangan tidak hanya datang dari dalam dirinya, namun juga lingkungan sekitar dan perangkat hukum yang seharusnya memberi keadilan. Dalam sistem kemasyarakatan yang sangat patriarkis, perempuan dianggap sebagai simbol kesucian dan kehormatan sehingga apabila dia mengalami kekerasan seksual, seperti pemerkosaan, maka dia akan dianggap aib. Korban juga sering disalahkan sebagai penyebab terjadinya kekerasan seksual, yang pada akhirnya membuat dia seringkali bungkam. Kondisi itu diperparah dengan perangkat hukum pidana yang ada di Indonesia yang seringkali tidak berpihak pada korban, namun kepada pelaku. Tidak heran mengapa akhirnya kasus-kasus kekerasan seksual sulit diungkap dan ditangani karena sering dikaitkan dengan konsep moralitas masyarakat. Sudah jatuh, tertimpa tangga pula.

Darurat Kekerasan Seksual

Nasib Dewi tidak lebih parah dari korban-korban kekerasan seksual lain yang baru-baru ini terekspos di ranah publik seperti Agni, nama samaran yang merujuk pada mahasiswi Universitas Gadjah Mada (UGM) yang dilecehkan oleh teman kampusnya. Juga seorang guru, Baiq Nuril, yang dilecehkan kepala sekolahnya, namun justru akhirnya diputus bersalah atas tuduhan menyebarkan rekaman berisi percakapan cabul pelaku. Nama mereka menjadi perbincangan berbulan-bulan oleh pihak yang pro dan kontra. Tidak ada keadilan bagi mereka hingga kini, namun kontroversi seperti tidak ada henti. Bisa dibayangkan bagaimana beban psikologis yang mereka tanggung.

Belum lagi kasus-kasus kekerasan seksual lain yang menjadi sorotan media, seperti; Seorang anak 13 tahun penderita epilepsi di Mojokerjo diperkosa oleh tujuh tetangganya berkali-kali, seorang wanita pemandu lagu dibunuh oleh pemuda-16-tahun langganannya karena “servisnya” dinilai tidak memuaskan, serta seorang mahasiswi di Depok yang mengalami pelecehan seksual dan ancaman pembunuhan oleh pria bermotor. Dalam kasus terakhir, pelaku divonis satu tahun penjara, lebih berat dibanding tuntutan jaksa yang hanya 4 bulan penjara.

Itu hanya sekelumit contoh dari ratusan ribu, bahkan jutaan tindakan kekerasan seksual lainnya di Indonesia. Data yang dipublikasikan Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan 1 dari 3 perempuan usia 15-64 tahun pernah mengalami kekerasan, dan lebih dari separuhnya (15,3 persen) merupakan korban kekerasan seksual.

Sementara itu, data Komnas Perempuan yang disimpulkan dari laporan tahunan sepanjang 2001-2012, diperkirakan 35 perempuan menjadi korban kekerasan seksual setiap harinya. Pada 2014, Angka kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak perempuan yang berhasil dicatat sebanyak 4.475 kasus. Pada 2017, angkanya telah mencapai 5.649.

Tidak berlebihan apabila Indonesia disebut tengah mengalami darurat kekerasan seksual. Namun ironisnya, tidak ada upaya signifikan yang dilakukan untuk mengatasinya. Pemerintah dan aparat keamanan, yang juga memberlakukan aturan tegas terkait kejahatan narkoba dan illegal fishing, seperti tidak menaruh perhatian yang sama terhadap kekerasan seksual, padahal frekuensi kejahatan ini tidak kalah masif.

Sudah seharusnya pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), sebagai dua lembaga yang memiliki otoritas penuh dalam penanganan persoalan ini, memiliki kesadaran tinggi untuk segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS). Namun seperti pungguk merindukan bulan, pembahasan RUU tersebut hingga kini terkatung-katung di parlemen.

Pentingnya Pengesahan RUU P-KS

Meski angka kekerasan seksual terus meningkat, namun Indonesia hingga kini belum memiliki sistem hukum yang mumpuni untuk mengatasinya secara komprehensif. RUU P-KS, yang digadang-gadang sebagai terobosan bagi penghapusan kekerasan seksual terhadap perempuan, pembahasannya masih mandek di DPR. Padahal, RUU tersebut sudah masuk ke DPR sejak 2009. Melihat perkembangan yang terjadi akhir-akhir ini, terutama terkait kasus Agni dan Nuril, tidak ada lagi alasan bagi DPR dan pemerintah untuk menunda-nunda tugasnya.

Lalu mengapa RUU P-KS begitu penting? Hingga saat ini, Indonesia belum memiliki UU yang khusus mengatur tentang kekerasan seksual sehingga banyak kasus terkait kejahatan ini belum memiliki payung hukum. Dari 15 jenis kekerasan seksual, Indonesia hanya mengatur tiga diantaranya yakni pemerkosaan, eksploitasi seksual, dan perdagangan perempuan. Sementara 12 jenis kekerasan seksual lainnya seperti intimidasi seksual dan pelecehan seksual, tidak diatur.

Rancangan UU P-KS sangat penting karena ini mencakup penanganan kekerasan seksual dari hulu sampai hilir, termasuk pencegahan, pemenuhan hak korban, pemulihan korban, mengatur penanganan selama proses hukum, dan sanksi bagi pelaku. Jika telah disahkan, maka UU ini tidak hanya menjadi alat pelindung bagi korban di depan hukum, tapi secara khusus juga menjadi peringatan bagi laki-laki dan siapapun di luar sana agar tidak melakukan kekerasan seksual terhadap perempuan, serta memberi pesan bagi seluruh masyarakat bahwa harkat dan martabat perempuan harus dihormati.

Kembali kepada Dewi. Dia berharap agar RUU P-KS segera dibahas dan disahkan, meski akan selalu ada perdebatan yang menyertainya. Dia mengingatkan bahwa seluruh pihak terkait, mulai dari pemerintah, DPR, hingga masyarakat, harus memiliki empati yang besar terhadap korban sehingga aturan tersebut dapat bermanfaat dan memberi keadilan sebesar-besarnya bagi korban.

“Siapapun mereka yang telah peduli dan berjuang untuk menghapuskan kekerasan seksual, maka kalian telah juga berkontribusi terhadap kemanusiaan. Dan Tuhan pasti akan mencatatnya,” Katanya.

Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.