Jumat, Maret 29, 2024

Negara yang Memelihara Kuntilanak

Nadya Karima Melati
Nadya Karima Melati
Coordinator and Researcher, Support Group and Resource Center on Sexual Studies, Indonesia. Menyukai belajar feminisme seperti menyukai dirinya sendiri.

Ada hubungannya antara hantu-hantu perempuan dan rancangan Undang-undang penghapusan kekerasan seksual yang diinisiasi oleh LBH Apik. Indonesia adalah sebuah negara yang menyimpan sebuah rahasia umum: kita semua takut hantu. Di balik arus beragama publik yang semakin deras, ada hal dari diri kita yang tidak bisa ditampik: kita percaya pada hal yang bersifat mistis.

Kita takut azab, santet dan kuntilanak, oleh karena itu semua saluran televisi maupun Youtube yang menjual hal-hal yang mistis dan hantu selalu laku ditonton. Hantu secara simbolis adalah perwujudan dari hal-hal yang belum selesai di dunia. Mengapa banyak hantu perempuan yang menyeramkan? karena perempuan menyimpan dendam ketidakadilan di dunia yang belum selesai.

Angka Kekerasan Seksual dan Kriminalisasi Korban

Pada tahun 2017 diumumkan ada 348.446 kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan kepada 237 lembaga pengada layanan. Kekerasan itu terjadi di dalam dan di luar rumah. Setidaknya sepanjang tahun 2017 ada 9.609 istri yang jadi sakit-sakitan akibat disiksa secara fisik dan psikologis oleh suami. Ada juga sebanyak 3.528 perempuan yang mengalami kekerasan seksual di ruang publik.

Dalam angka tersebut ada pengalaman remaja yang payudaranya dirogoh saat dia berjalan kaki. Ada buruh yang dipenjara akibat melaporkan pelecehan dari atasannya di kantor. Ada seorang santri perempuan yang karena dituduh zina padahal dia hampir diperkosa ustadnya di pesantren. Ada petani bawang perempuan yang dihamili oleh pengepul malah dituduh melacur.

Angka-angka tersebut berusaha bicara atas tindak kekerasan seksual yang terjadi kepada perempuan setiap hari namun tidak digubris oleh negara. Perempuan-perempuan korban kekerasan tersebut adalah warganegara yang tidak dipenuhi hak-haknya atas rasa aman dan bebas dari kekerasan, khususnya kekerasan seksual.

Angka tiga ratus ribu kasus juga belum menceritakan fakta di lapangan yang lebih memprihatinkan. Karena tindakan melaporkan kekerasan seksual tidak dijamin dalam hukum, tidak sedikit perempuan yang justru mengalami kriminalisasi ketika melaporan perihal kekerasan seksual.

Pada tahun 2018 Anindya Shabrina menjadi korban peremasan payudara oleh satpol PP tetapi malah Anin yang dikriminalisasi melalui UU ITE karena menuliskan pengalaman sebagai korban di Facebook.

Pada tahun yang sama ada WA di Jambi, anak yang hamil akibat perkosaan harus menghadapi ruang sidang dengan tuduhan aborsi. Di tahun 2017 sempat geger kasus HA yang menjadi korban kekerasan seksual siber dan dipermalukan beramai-ramai di internet yang harus menghadapi jeratan UU Pornografi. Ini adalah kenyataan terhadap kasus-kasus kekerasan seksual di Indonesia, ketika negara tidak bisa melindungi korban kekerasan seksual, negara malah mengkriminalisasi.

Tanpa Perlindungan

Perempuan korban kekerasan seksual dipidana karena alasan moralitas bukan karena kriminalitas. Ada dua hal yang menjadi penyebab sulitnya perempuan mencari keadilan: pertama, masyarakat yang patriarkis yang tidak melihat perempuan sebagai manusia dan warga negara dan kedua, produk hukum yang bias gender.

Akibatnya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual berjalan sangat lamban sedangkan upaya kriminalisasi korban kekerasan seksual terus terjadi. Kita tidak punya peranti untuk memberikan keadilan bagi perempuan berupa undang-undang penghapusan kekerasan seksual.

Di sisi lain sudah ada upaya untuk memberikan keadilan melalui serangkaian peraturan yang sifatnya tidak mengikat dan rentan dilanggar sendiri. Misalnya saja walau sudah ada Perma No.3 Tahun 2017 tentang Perempuan Berhadapan dengan Hukum oleh Mahkamah Agung (MA). Hakim MA sendiri melanggarnya saat berhadapan dengan kasus Baiq Nuril yang dikriminalisasi tanpa peduli peraturan yang mereka buat sendiri.

Sedangkan untuk Permenkes No. 3 tahun 2016 tentang aborsi legal bersyarat, negara gagal melihat kedaruratan medis dengan batas 40 hari yang diberikan. Kenyataannya banyak perempuan baru menyadari dirinya hamil setelah 3 bulan, belum lagi untuk kehamilan akibat perkosaan, korban tentu mengalami trauma dan mengurus pembuktian korban perkosaan di instansi terkait memakan waktu lebih dari 40 hari.

Hantu yang Mengamuk

Ketika film Pengabdi Setan karya Joko Anwar meledak di pasaran, banyak pertanyaan yang muncul mengapa hantu perempuan kebanyakan perempuan? Hantu adalah wujud dari alam bawah sadar kita akan hal-hal yang tidak selesai. Hantu perempuan hadir karena negara tidak bisa memberikan keadilan bagi perempuan. Tragedi-tragedi kekerasan terhadap perempuan dan ketidakadilan gender mewujdu dalam sejarah lisan yakni kemunculan hantu perempuan yang menyeramkan dan ingin membalas dendam.

Hantu perempuan menuntut dendam dengan melakukan amuk. Amuk adah sebuah tindakan tidak terkontrol dan merusak yang diserap dalam bahasa Inggris untuk menjelaskan tentang kemarahan seseorang secara membabi buta. Amuk adalah ekspresi amarah dan penghancuran oleh seorang kawula atas penindasan feodalisme yang terjadi terus menerus pada masa kolonialisme.

Karya sastra merangkum bagaimana peristiwa amok terjadi, Eka Kurniawan dalam Lelaki Harimau misalnya menceritakan penindasan yang dialami seorang lelaki kampung dan amarah yang membuat dia menyerang orang-orang desa yang punya kuasa. Banyak karya sastra mengisahkan amuk hanya terjadi kepada lelaki sedangkan perempuan harus terlebih dahulu meninggalkan tubuh yang mengunci keperempuannnya untuk melakukan amuk dan membantai seluruh orang yang menyengsarakan hidupnya.

Folklore dan mitos yang dipelihara masyarakat hingga hari ini membuktikan kemunculan hantu perempuan dihasilkan oleh masyarakat itu sendiri. Viktimisasi dan kriminalisasi yang dilakukan terhadap korban kekerasan seksual menghasilkan hantu perempuan yang kejam dan menakutkan.

Sundal Bolong adalah korban perkosaan yang dicap sebagai pelacur, Kuntilanak adalah seorang ibu yang terusir dari tanahnya akibat pembangunan kota Pontianak, Wewe Gombel mencuri anak orang lain karena dia harus kehilangan anaknya akibat pernikahan di usia anak dan hamil muda. Hantu-hantu perempuan adalah kenyataan terpendam dari tragedi-tragedi ketidakadilan terhadap perempuan. Hantu perempuan adalah korban kekerasan seksual yang menuntut keadilan semasa hidupnya.

Tanpa ada perlindungan terhadap korban kekerasan seksual, negara sama saja melestarikan hantu perempuan untuk terus bergentayangan dan membalas dendam. Perempuan diatur melalui moral dan kesusilaan seperti doa-doa yang diucapkan ustad kepada arwah penasaran, tidak mempan. Perempuan dan hantu perempuan tidak butuh diatur tapi dijamin haknya atas rasa aman. Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual adalah upaya untuk memanusiakan perempuan yang harus segera dipenuhi.

Nadya Karima Melati
Nadya Karima Melati
Coordinator and Researcher, Support Group and Resource Center on Sexual Studies, Indonesia. Menyukai belajar feminisme seperti menyukai dirinya sendiri.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.