Kamis, April 25, 2024

Moral Subjektif dan Alotnya Pembahasan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual

Diah Avitaa
Diah Avitaa
Mahasiswi S1 Teknik Sistem Perkapalan ITS. Menuntut empirisme pada pembuktian premis. Mengimani kebebasan adalah manifestasi tertinggi kehidupan.

Banyak kasus kekerasan seksual yang mencuat di media massa akhir-akhir ini, dari mulai Yuyun, Agni, sampai Baiq Nuril. Komnas Perempuan sendiri telah mencatat pada Maret 2018, sepanjang tahun 2017 telah terjadi laporan kekerasan seksual di ranah publik sejumlah 3.528 kasus sedangkan di ranah privat sejumlah 9.609 kasus. Meskipun jumlah kasus kekerasan seksual sangat memprihatinkan, pembahasan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual yang kendati telah masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas tahun 2018 ini masih alot saja. Padahal pembahasan RUU ini telah dimulai sejak tahun 2016 dan sekarang telah di penghujung 2018.

Selama ini Indonesia memang telah memiliki pasal-pasal di Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang mengatur mengenai kekerasan seksual, memang tidak eksplisit menyebutkan kekerasan seksual, tetapi telah dibahas beberapa bentukannya—perkosaan, perbuatan cabul, dan prostitusi—di bawah Bab Kejahatan Terhadap Kesusilaan. Namun  KUHP pun tidak memuat apa itu definisi kesusilaan. Hal itu membuat masyarakat maupun aparat hukum melakukan bias-bias dalam menafsirkan kesusilaan berdasarkan latar belakang budaya, agama, ataupun etika dan moral yang mereka imani, yang kemudian menjadikan tujuan dari penyelenggaraan hukum perlindungan terhadap kekerasan seksual yaitu penghormatan otonomi dan integritas property right (hak milik) baik itu tubuh maupun keputusan konsenitas tidak terpenuhi.

Bias-bias yang dapat timbul dari penafsiran subjektif ditemui di pelbagai kasus, diantaranya adalah marital rape atau kekerasan seksual dalam perkawinan. Banyak pandangan dalam sudut agama konservatif yang mengatakan bahwa tugas istri adalah untuk melayani suami, sehingga ia eksis untuk memenuhi nafsu birahi suami tanpa mempedulikan ia sedang ingin ataupun tidak ingin berhubungan seksual, sehingga kemudian perempuan dianggap sebagai objek kepemilikan suami. Berdasarkan premis ini, perempuan yang hanya properti suami akan sah-sah saja dipaksa apapun karena ia memang bukan pemilik atas otoritas tubuh dan konsenitasnya sendiri. Padahal marital rape merupakan salah satu bentuk pelanggaran Hak Asasi Manusia sebagaimana dideklarasikan oleh United Nations High Commissioner for Human Rights.

Meskipun suami-istri memang pernah melakukan hubungan seksual sebelumnya, bukan berarti mereduksi dampak fisik maupun psikologis dari marital rape. Dari mulai kehamilan yang tidak diinginkan, penularan penyakit, luka-luka fisik, hingga gangguan-gangguan psikis yang dialami. Apalagi korban dari marital rape cenderung memilih menerima dan tetap tinggal karena bagaimanapun pelaku adalah partnernya. Belum lagi persepsi yang berkembang di masyarakat bahwa pemaksaan melakukan hubungan seksual yang dilakukan oleh pasangan yang sah secara hukum bukanlah pemerkosaan sehingga tidak dapat dikategorikan sebagai kekerasan seksual, maka tidak seharusnya dipidanakan.

Ketika seseorang diperkosa oleh orang asing maka ia akan hidup dengan bayangan memori yang mengerikan, tapi ketika ia diperkosa oleh pasangannya maka ia akan hidup bersama pemerkosa itu.

Bias yang kedua adalah tafsir dari pemerkosaan itu sendiri. Hukum secara tertulis menuntut untuk mengajukan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah dari lima alat bukti (Pasal 183 dan 184 KUHAP). Seringnya dalam praktik yang terjadi, bukti-bukti yang dituntut adalah ada atau tidaknya sperma pelaku di pakaian atau bagian tubuh korban, itu akan menyulitkan korban pemerkosaan penetrasi oleh benda lain selain penis. Ada pula tuntutan pembuktian robeknya himen, itu akan menyulitkan korban pemerkosaan yang himennya tidak sampai robek atau korban pemerkosaan dengan penetrasi anal, oral, atau hanya menggesek-gesekkan alat kelamin. Tuntutan pembuktian selama ini dapat sangat mereduksi definisi dari pemerkosaan.

Kondisi psikologis korban pasca mengalami pemerkosaan tentu tidak dalam keadaan stabil. Korban bisa mengalami depresi karena merasa bukan lagi pribadi yang utuh dan terhormat sehingga memiliki kecenderungan menyalahkan diri sendiri, belum lagi ditambah stigma yang datang bertubi-tubi. Korban dapat pula mengalami Rape Trauma Syndrom (RTS), yaitu bentuk turunan dari Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) karena pemerkosaan memang merupakan situasi yang dapat mengancam nyawa, didera kemungkinan-kemungkinan yang terjadi berupa pembunuhan hingga mutilasi. Selain itu korban juga bisa mengalami disosiasi, yaitu kehilangan orientasi akan realitas yang ada. Dengan begitu banyak potensi gangguan psikologis pasca mengalami kekerasan seksual, korban lebih mungkin ingin menghilangkan noda-noda yang mengingatkan pada hal yang menjijikkan bagi mereka ketimbang berpikir panjang dan berjalan ke kantor polisi untuk menunjukkan bukti-bukti bahwa ia baru saja diperkosa.

Begitu pula bias dikotomi masyarakat antara perempuan baik-baik dan perempuan nakal. Masyarakat cenderung menganggap bahwa perempuan baik-baik adalah yang berhijab, berbaju panjang, tidak keluar malam hari kecuali didampingi mahram, sedangkan perempuan yang nakal adalah yang berpakaian minim, bekerja malam hari, dan sering keluar dengan laki-laki. Ketika kekerasan seksual terjadi kepada perempuan yang dianggap nakal maka masyarakat cenderung menganggap bahwa itu adalah hal yang layak mereka dapatkan.

Masih banyak lagi bias-bias lain yang menjelaskan betapa multitafsirnya definisi kesusilaan yang ada di KUHP, sehingga diperlukan rekonstruksi definisi yang rigid serta objektif, mengakomodasi kemerdekaan akan otoritas tubuh, berorientasi pada bukti tetapi tidak menyulitkan penyintas untuk mencari keadilan. Dalam RUU PKS sendiri diajukan kategori kekerasan seksual ada sembilan yang harus diregulasi, yaitu; pelecehan seksual, eksploitasi seksual, pemerkosaan, pemaksaan aborsi, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan pelacuran, pemaksaan perkawinan, penyiksaan seksual, dan perbudakan seksual.

Pada berita yang rilis tanggal 26 Desember di tempo.co, Wakil Komisi VIII Dewan Perwakilan Rakyat, Marwan Dasopang mengakui bahwa Komisi VIII memang belum sepakat mengenai definisi kekerasan seksual yang diusung oleh RUU PKS ini. Menurut Komisi VIII, RUU PKS dianggap mengadopsi nilai-nilai barat yang cenderung bebas dan harus diramu agar memasukkan nilai agama, adat, budaya, dan sosial kemasyarakatan Indonesia.

Ketimbang menguji apakah definisinya sesuai akan penghargaan otonomi tubuh setiap insan manusia, anggota dewan justru mempermasalahkan moral barat atau timur yang dipakai dan mencoba memasukkan nilai-nilai yang sangat mungkin sarat akan budaya patriarkis sehingga berpotensi merugikan korban yang seringnya adalah perempuan. Apa guna dari harapan terbentuknya RUU yang mampu mengakomodasi perlindungan property right ini apabila sekali lagi diberi muatan-muatan yang cenderung mengobjektifikasi perempuan sehingga lagi-lagi perempuan tidak punya otoritas akan tubuhnya? Bagaimana caranya hukum positif di Indonesia lebih progresif apabila sekali lagi dikembalikan pada kultural yang patriarkis?

Marwan juga mengatakan bahwa perdebatan yang lain adalah mengenai anggapan bahwa RUU PKS akan mengganggu tatanan dan relasi perkawinan, karena seorang istri bisa menolak berhubungan seksual dengan suami dan berlindung di bawah RUU PKS ini. Saat RDP dengan Komnas Perempuan dan Forum Pengadaan Layanan pada 23 Januari lalu salah satu anggota Komisi VIII dari fraksi Partai Keadilan Sejahtera, M. Iqbal Romzi mempertanyakan apakah suami bisa dihukum lantaran ‘memaksa’ istrinya yang sedang tidak mau atau tidak bisa berhubungan seksual, padahal menurut agama kewajiban seorang istri adalah ‘melayani’ suami. Hal ini sungguh menyedihkan karena sudah jelas bahwa marital rape adalah pelanggaran HAM. Pernikahan adalah akomodasi negara untuk mencatat komitmen dua insan manusia menjadi sebuah urusan yang legal secara administratif. Penikahan membuat hubungan seksual menjadi legal tapi bukan berarti meligitamasi perbudakan atau penguasaaan kepemilikan atas tubuh manusia lain, sehingga konsenitas antara dua individu tetap menjadi hal yang krusial.

Tubuh dan keputusan itu termasuk properti yang dimiliki oleh subjeknya. Otoritas tubuh menuntut pembebasan atas apapun yang dikehendaki subjek akan tubuhnya selama tidak menciderai hak subjek lain. Keputusan ingin berhubungan seksual dengan siapa, kapan, atau di mana adalah hak subjek untuk menentukan. Bukannya sekonyong-konyong setelah dinikahi tubuh perempuan jadi milik suaminya kemudian apapun yang diinginkan suami wajib dipenuhi. Seolah-olah istri adalah properti suami untuk menyalurkan birahi. Seolah-olah pernikahan adalah sistem jual-beli perempuan sebagai properti orang tua menjadi properti suami.

Selain itu Komisi VIII juga mengkhawatirkan bahwa RUU PKS berpotensi dimanfaatkan kelompok Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT) untuk mencari perlindungan. Kekhawatiran ini jelas berlaku diskriminatif. Apakah itu berarti heteroseksual saja yang dilindungi dari kekerasan seksual? Padahal potensi menjadi korban kekerasan seksual tidak mengenal orientasi seksual.

Semoga saja RUU PKS ini segera disahkan tanpa mereduksi tujuannya, yaitu penghapusan kekerasan seksual itu sendiri.

Diah Avitaa
Diah Avitaa
Mahasiswi S1 Teknik Sistem Perkapalan ITS. Menuntut empirisme pada pembuktian premis. Mengimani kebebasan adalah manifestasi tertinggi kehidupan.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.