Jumat, Maret 29, 2024

Menggugat Kekerasan Seksual

Asmaul Husna
Asmaul Husna
Asmaul Husna, Alumnus Pascasarjana Ilmu Komunikasi Universitas Sumatera Utara (USU) & Koordinator Forum Aceh Menulis (FAMe) Chapter Lhokseumawe.

Seulanga (bukan nama sebenarnya), gadis berusia 17 tahun itu adalah siswa berprestasi di sekolahnya. Namun nasib naas menimpanya. Di usia remajanya tersebut, kehormatannya direnggut secara sekaligus oleh lima lelaki tak dikenal. Beberapa bulan kejadian, Seulanga sering sakit-sakitan. Oleh dokter, ia dinyatakan positif hamil. Ibunya pingsan. Karena tidak sanggup menahan malu dan menutupi aib tersebut, orang tuanya memilih menggugurkan kandungan anaknya tersebut. Seulanga pun dibawa ke tempat saudaranya untuk tinggal beberapa bulan agar terhindar dari gunjingan warga setempat.

Di tempat saudaranya tersebut, Seulanga akhirnya melanjutkan kuliahnya. Namun sayang, teman-teman di kampusnya sudah mencium apa yang terjadi. Mereka mengucilkannya hingga ia tidak lagi diterima di universitas tempat kuliahnya tersebut. Karena pemerkosaan dan juga pengucilan tersebut, Seulanga mengalami trauma berat dan harus dirujuk ke rumah sakit jiwa. Kejadian pilu yang menimpanya tersebut telah merenggut semua akal sehatnya. Pemerkosaan dan ketidakadilan perlakuan yang didapatkannya, telah merajam tubuh dan jiwanya.

Paragraf di atas adalah sebuah kisah nyata yang dialami seorang gadis di desa pedalaman Aceh Utara, Aceh. Itu hanyalah satu di antara sekian banyak kasus kekerasan seksual yang dialami perempuan. Sedangkan di luar sana, masih banyak Seulanga lainnya yang dikungkung ketakutan karena maraknya kekerasan seksual dan kejamnya perlakuan sosial.

Terpasung stigma dan dirajam ketidak-adilan

Sadar atau tidak, kasus kekerasan seksual telah menggulma menjadi gunung es. Tidak hanya dialami perempuan, kasus ini juga menimpa anak di bawah usia. Jumlah kasus kekerasan yang terjadi saban hari pun semakin meningkat dan meninggalkan penderitaan fisik dan psikis bagi korban. Tidak terkecuali di Aceh, tanah yang dikenal dengan sebutan negeri syariat. Berbagai intervensi dan kebijakan telah dilakukan pemerintah dan aktivis perempuan untuk menanggulangi persoalan tersebut. Namun sayang, upaya tersebut belum memberikan kabar gembira. Alih-alih berkurang, kasus kekerasan tersebut kian mengalami peningkatan yang signifikan.

Hasil pendataan yang dilakukan oleh Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) mencatat bahwa sepanjang 2017, sebanyak 704 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak terjadi di Aceh. Angka tersebut meningkat tajam dibandingkan dengan tahun 2016 yang “hanya” 487 kasus. Sedangkan untuk skala nasional, Komnas Perempuan mencatat bahwa pada 2017 kasus kekerasan seksual di ranah KDRT mencapai 3.495 (34 %) kasus dan di ranah komunitas mencapai 2.290 kasus (74 %). Sebuah angka yang memaksa kita mengurut dada.

Secara garis besar, saya merekam utuh kumpulan kasus-kasus kekerasan seksual yang terjadi di Aceh, khususnya Aceh Utara. Awal 2018, saya diminta oleh LBH APIK Aceh untuk menjadi editor kumpulan tulisan paralegal tentang kasus-kasus kekerasan yang dialami oleh perempuan dan anak. Tidak mudah menyunting buku tersebut. Sebagai editor, saya harus beberapa kali mengambil jeda usai mengedit satu atau dua  tulisan. Psikologis saya terganggu ketika membaca berbagai kasus kekerasan dan pelecehan seksual yang dialami oleh anak dan perempuan. Setiap usai mengedit tulisan hingga tengah malam, dapat dipastikan semua kisah yang dituliskan oleh paralegal dalam buku ini kembali hadir dalam mimpi saya. Di mimpi, saya seolah melihat dengan nyata wajah-wajah perempuan dan anak-anak yang menjadi korban pelecehan seksual tersebut. Saya seolah berada di tempat kejadian dan melihat langsung wajah-wajah ketakutan itu.

Kisah yang dialami korban benar-benar menghantui saya. Jika saya yang posisinya hanya sebagai editor dalam tulisan yang dituliskan oleh paralegal, lalu bagaimana dengan mereka yang menjadi korban? Sebagian besar kita mungkin merasa baik-baik saja karena mereka yang menjadi korban bukanlah saudara kita, adik kita, atau bahkan anak kita sendiri, sehingga kurang merasa bahwa itu adalah sesuatu yang menyakitkan. Sebagai perempuan, saya paham bagaimana derita yang harus ditanggung lahir batin oleh korban. Malangnya, mereka tidak hanya menderita secara fisik, tapi juga harus merasakan bagaimana sakitnya dikucilkan di tengah masyarakat. Di mata masyarakat, ketika kasus pelecehan seksual terjadi, alih-alih dibela karena menjadi korban, kaum perempuan malah kerap dipandang sebagai pihak tersalah. Derita pun semakin lengkap sudah.

Pentingnya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual

Selama ini, kasus-kasus pelecehan seksual ibarat fenomena gunung es yang hanya terlihat dari atasnya saja, sedangkan bongkahan-bongkahannya terbenam jauh ke dalam. Namun sayang, isu kekerasan seksual kerap dianggap kalah penting dibandingkan dengan isu politik. Padahal menjelang pemilu, oleh kandidat calon dan semua parpol selalu menggaungkan bahwa perempuan dinilai sebagai kekuatan besar dalam pemilu. Perempuan adalah kelompok strategis dan elemen penting bagi negara. Perempuan adalah amunisi kuat bagi majunya sebuah bangsa.

Namun sayang, kalimat manis tersebut hanya terperangkap dalam retorika. Nyatanya, setelah terpilih dan pemilu usai, perempuan hanya menjadi pelengkap penderita. Kebutuhan mereka tidak diprioritaskan di parlemen. Termasuk RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS). Alih-alih disahkan, RUU PKS kini sudah dua tahun mengendap di meja DPR. Mungkin ada yang terlupa, bahwa mereka terpilih juga tidak terlepas dari besarnya partisipasi kaum perempuan.

Padahal saban hari korban kekerasan seksual semakin berjatuhan. Anak yang diperkosa oleh ayah kandung, perempuan korban KDRT dari suaminya hingga mengalami gangguan jiwa, hingga kasus santri yang mendapat pelecehan seksual dari pimpinan pesantren. Belum lagi kasus-kasus pelecehan seksual yang dialami oleh anak karena pengaruh pornografi dan teknologi.

Kita boleh saja terbelalak membaca kasus tersebut, tapi nyatanya, begitulah adanya. Pelecehan seksual terjadi di mana saja dengan pelaku siapa saja. Kasus-kasus tersebut bahkan terjadi di lingkungan pendidikan seperti pesantren dan sekolah yang pelakunya bahkan dilakukan oleh pimpinannya langsung. Kita tidak bermaksud mendeskreditkan pimpinan lembaga pendidikan, apalagi menggenaralisasi bahwa semuanya sama. Hanya saja melalui kasus tersebut, membantu kita membuka mata bahwa pelecehan seksual bisa terjadi di mana saja, bahkan di tempat yang sudah kita anggap aman bagi anak.

Namun sayang, tidak semua kasus tersebut mendapat keadilan dan perlindungan hukum. Hanya beberapa kasus tergolong sadis seperti pemerkosaan disertai pembunuhan yang dipublikasi ke publik dan dilanjutkan proses hukumnya. Sedangkan sebagian besar lainnya harus berakhir “damai” karena takut pada ancaman pelaku dan juga khawatir aibnya akan terbongkar. Maka damai yang menyakitkan itu pun berakhir dengan kehormatan perempuan yang hanya dihargai dengan beberapa lembaran rupiah saja untuk kemudian harus menanggung derita seumur hidup. Alasannya, bahwa segala sesuatu telah terjadi dan tidak ada gunanya dipermasalahkan lagi. Pemerkosaan adalah takdir Tuhan yang harus diterima dengan lapang dada. Selebihnya, keberlanjutan kasus melalui hukum, hilang rimbanya. Tak ada keadilan yang menyentuhnya.

Jika kasus kekerasan seksual berat seperti pemerkosaan yang sudah jelas korban dan pelakunya saja tidak mendapat keadilan secara utuh, lalu bagaimana dengan kasus kekerasan seksual lainnya? Padahal Komnas Perempuan menyebutkan bahwa terdapat 15 jenis kekerasan seksual. Diantaranya adalah kekerasan yang terjadi dalam relasi pacaran, pemaksaan aborsi, hingga pemaksaan perkawinan.

Namun sayang, kekerasan jenis tersebut sulit dideteksi dan jarang dilaporkan karena belum ada payung hukumnya. Perubahan KUHP cenderung menempatkan isu kekerasan seksual sebagai persoalan kesusilaan, sehingga pengaturannya lebih melindungi kesusilaan masyarakat dibandingkan rasa keadilan korban. Seperti, kasus tersebut dianggap aib bagi keluarga ataupun kampung, sehingga tidak perlu dilaporkan dan dibesar-besarkan karena hal tersebut adalah sesuatu yang memalukan, bukan keadilan yang harus diperjuangkan.

Itulah alasan mengapa RUU PKS menjadi penting untuk segera disahkan. Karena semua orang, baik laki-laki maupun perempuan bisa menjadi korban. Namun karena adanya ketimpangan relasi di masyarakat, perempuan kerap kali menjadi korban kekerasan seksual dibandingkan laki-laki. Selain mencegah segala bentuk kekerasan seksual, RUU tersebut juga bertujuan untuk menangani, melindungi, dan memulihkan korban yang terlanjur dirajam tubuh dan jiwanya, juga seluruh hidupnya. Tidak hanya itu, RUU tersebut juga bertujuan untuk menjerat pelaku yang selama ini kerap melenggang bebas tanpa hukum bahkan sanksi sosial, karena aib dan persoalan moral hanya ditanggung oleh pihak perempuan sebagai korban. Tameng pamungkas yang disalahgunakan lelaki adalah: melakukan atas dasar suka sama suka. Lalu mereka pun bebas tanpa hukuman.

Terlepas dari itu semua, Indonesia tidak hanya darurat ekonomi dan bencana, tapi juga darurat kekerasan seksual. Persoalan negara ini juga bukan hanya terkait politik yang saban hari dibahas di ruang publik, tapi juga keadilan korban kekerasan yang harus diperjuangkan melalui undang-undang. Sudah cukup satu Seulanga  yang dirajam tubuh dan jiwanya. Lindungi Seulanga lain agar tidak gugur sebelum berputik dan berbunga. Karena kekerasan seksual adalah kejahatan kemanusiaan yang meninggalkan luka menganga.

Asmaul Husna
Asmaul Husna
Asmaul Husna, Alumnus Pascasarjana Ilmu Komunikasi Universitas Sumatera Utara (USU) & Koordinator Forum Aceh Menulis (FAMe) Chapter Lhokseumawe.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.