*“Kekerasan terhadap perempuan merupakan manifestasi dari hubungan yang secara historis tidak setara antara laki-laki dan perempuan, yang menghasilkan dominasi dan diskriminasi terhadap perempuan oleh laki-laki dan pencegahan akan kemajuan perempuan ….”. (Deklarasi PBB tentang Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan Desember 1993)*
Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) telah diusulkan kepada DPR sejak 26 Januari tahun 2016 dan pada Desember tahun 2017 telah ditetapkan menjadi Program Legislasi Nasional Prioritas tahun 2018. RUU PKS diharapkan rampung pada akhir tahun ini. Namun hingga saat ini, 31 Desember 2018, RUU PKS belum juga selesai dibahas dan disepakati oleh DPR dan Pemerintah.
Sodik Mudjahid, wakil ketua komisi VIII DPR RI mengatakan terdapat kendala dalam RUU PKS selain perbedaan pendapat, alasan yang paling membuat penulis geram adalah karena saat ini sudah memasuki tahun sibuk politik yang memungkinkan rapat sering tidak memenuhi kuorum anggota untuk mengambil keputusan karena sibuk untuk melakukan safari politik.
Saat ini telah memasuki tahun sibuk politik? Atau memang setiap tahun adalah tahun politik?
Sungguh miris, hal tersebut dijadikan suatu alasan. Banyak pihak yang sudah dikorbankan disaat para elite sibuk melakukan hal-hal yang dapat menguntungkan pribadi atau partainya, lalu amanat rakyat yang telah kami berikan kepada wakil-wakil rakyat ini dihempaskan begitu saja.
Sebenarnya seberapa besar urgensi dari pengesahan RUU PKS?
Berdasarkan Catatan Tahunan Komnas Perempuan (CATAHU) 2018, tahun 2016 jumlah kekerasan pada perempuan adalah sebanyak 259.150 kasus dan pada tahun 2017 meningkat menjadi 348.446 kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan dan ditangani.
Dua tahun sudah RUU PKS mandek di DPR. Disaat para wakil rakyat tersebut “sibuk” safari politik, para pelaku kekerasan seksual juga “sibuk” safari korban-korban selanjutnya. Salah satu tugas dari DPR adalah membuat peraturan perundang-undangan. Absennya anggota dewan dalam proses legislasi RUU PKS dan malah menyibukkan diri melakukan safari politik menunjukan kualitas buruk dalam sistem legislatif di Indonesia.
Beberapa pihak mengatakan mandeknya RUU PKS salah satunya disebabkan budaya patriarki yang masih menjadi-jadi di Indonesia. Hal ini seharusnya tidak lagi menjadi alasan. Apalagi pada tahun 2017 kekerasan yang terjadi di ranah privat atau personal tercatat sebagai kasus yang paling tinggi. Data Pengadilan Agama sejumlah 335.062 adalah kekerasan terhadap istri yang berujung pada perceraian.
Belum selesai dengan RUU PKS, muncul sorotan media yang memberitakan orangutan dijadikan PSK di Kalimantan. Sungguh miris, jika pengaturan yang mengenai manusia saja belum rampung, apakah pengaturan kekerasan seksual terhadap binatang mungkin akan diatur?
Tidak perlu memperpanjang angan-angan akan adanya undang-undang kekerasan seksual pada binatang, mari kita kilas balik beberapa kasus kekerasan pada perempuan yang cukup disorot oleh media.
Pada tahun 2017, YF, seorang wanita yang asmanya kambuh dan jatuh pingsan pada saat naik Transjakarta. Bukannya ditolong, YF malah diperkosa oleh 4 petugas Transjakarta di ruang genset Halte Harmoni. Pelaku berhasil ditangkap, diadili dan terbukti bersalah. Belum selesai sampai disitu. Terjadi penyalahgunaan relasi kuasa di sini.
Relasi kuasa yang tidak imbang di kasus ini diperparah dengan adanya *victim blaming* di dalam sidang perkara. Penasihat hukum memojokkan YF seakan-akan YF yang memancing para terdakwa dan meminta YF mendemonstrasikan pakaian YF pada saat itu. Dan yang paling parah hakim mengatakan sebagai muslim kenapa tidak mau memaafkan para pelaku yang sudah mencoba meminta damai.
Kasus pilu lainnya, YY, pelajar SMP berusia 14 tahun menjadi korban 14 pemuda usai pulang dari sekolah diperkosa dan setelah itu, dibunuh.
Pada tahun 2018, Agnia, Mahasiswi FISIPOL UGM yang menjadi korban pelecehan seksual temannya pada saat Kuliah Kerja Nyata (KKN). Peristiwa pelecehan tersebut terjadi pada tahun 2017, namun pada akhir tahun 2018 belum juga menemukan titik terang.
Selanjutnya nasib buruk menimpa Baiq Nuril, bermaksud untuk membela diri, alih-alih mendapat keadilan atas kejadian yang menimpanya, rekaman percakapan antara ia dengan pelaku pelecehan tersebut malah menjadi bumerang untuk Baiq Nuril karena karena rekaman tersebut tersebar dan ia dihukum karena dinyatakan bersalah melanggar UU ITE.
Kasus yang masih hangat adalah kasus pegawai BPJS Ketenagakerjaan yang seringkali mendapatkan pelecehan seksual verbal maupun nonverbal dari atasannya mencoba mencari keadilan dengan melaporkan kejadian tidak pantas itu ke Ketua Dewan Pengawas BPJS Ketenagakerjaan. Setelah melaporkan kejadian tersebut, mirisnya, dia justru mendapatkan surat PHK. Ia diminta menandatangani surat PHK pada 5 Desember 2018.
Melihat kasus-kasus diatas, terdapat beberapa permasalahan yang belum dapat terselesaikan hanya dengan pengaturan hukum yang sudah ada sekarang. Beberapa kasus masih mencoba menyelesaikan permasalahannya melalui jalur internal terlebih dahulu. Padahal, penyelesaian kekerasan seksual tidak perlu dilakukan penyelesaian melalui internal, melainkan dapat langsung dilaporkan ke polisi karena perbuatan tersebut sudah masuk ranah pidana. Penyelesaian internal biasanya berujung melindungi pihak yang lebih tinggi kedudukannya dan institusi berusaha untuk menutupi kejadian tersebut demi nama baik institusi terkait.
Di Indonesia, kerap kali terjadi, tidak hanya terjadi di kalangan penegak hukum namun juga disekitar kita. Misalnya, korban harus menikahi pemerkosanya, korban perkosaan yang masih di bangku sekolah harus dikeluarkan dari sekolahnya, dan yang terparah korban dikucilkan, dipasung bahkan disembunyikan.
Dengan payung hukum yang telah ada, tidak cukup mengcover kasus-kasus di Indonesia, masih banyak bentuk kekerasan seksual yang belum ada pengaturannya, salah satunya adalah pelecehan seksual nonverbal. Dasar hukum kekerasan seksual di Indonesia yang telah ada hanya bertujuan untuk menjerat pelaku namun tidak ada perubahan untuk korban.
Kepentingan hak-hak korban tidak menjadi jiwa hukum dari hukum pidana indonesia yang bersumber pada KUHP. Perlindungan terhadap korban diandaikan terjadi dengan diprosesnya dengan diprosesnya pelaku dalam proses peradilan pidana, dimana kepentingan korban direpresentasikan oleh para penegak hukum, khususnya jaksa penuntut umum. Dalam praktiknya korban lebih diposisikan sebagai pihak yang memberikan kesaksian untuk membongkar kasus pidana, bukan sebagai korban yang menjadi pihak yang telah mengalami penderitaan atau kerugian karena adanya perbuatan pidana.
Dengan disahkannya RUU PKS, selain mengatur mengenai perbuatan kekerasan seksual yang belum diatur, RUU ini dapat membahas mengenai pencegahan dan yang paling penting mengakomodir hak-hak korban yang terdiri dari hak atas penanganan, perlindungan dan pemulihan korban.
Ada 3 rekomendasi utama dari para peneliti di lembaga Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI) yang pertama, kondisi psikologis yang dialami korban kekerasan seksual harus diperhatikan. Kedua, kasus kejahatan seksual adalah kejahatan serius, maka penegak hukum harus sensitif, berempati, berpihak dan melindungi korban dalam melakukan kerjanya, ketiga segera realisasikan pembahasan hukum yang melindungi korban dari kejahatan seksual agar korban bisa mendapatkan keadilan, perlindungan hukum, dan pemulihan atas kondisi psikologisnya sebagai dampak dari kejahatan seksual yang dialaminya.
Melihat segelintir kasus tersebut yang sebenarnya dapat teratasi dengan disahkan RUU PKS namun alih-alih mengesahkan RUU tersebut, DPR sibuk untuk safari politik.
Urgensi dari RUU PKS adalah mencegah perbuatan kekerasan seksual serta memberikan payung hukum untuk melindungi korban dari kekerasan seksual yang perlu dilihat sebagai kejahatan kemanusiaan, bukan sekedar tindakan asusila. Namun hal tersebut tidak akan pernah terealisasikan jika RUU PKS tidak kunjung disahkan menjadi undang-undang.
Masihkah ada harapan hak-hak korban akan segera ditegakkan?