Perempuan yang mengalami kekerasan seksual sering kali takut untuk menyampaikan pengalamannya. Umumnya perempuan enggan menyampaikan hal-hal yang mereka alami karena takut mengalami victim blaming atau tindakan menyalahkan korban. Budaya ini dikenal sebagai budaya perkosaan (rape culture).
Istilah ini didefinisikan sebagai konsep dimana bentuk-bentuk pemerkosaan dinormalisasi dalam nilai dan budaya oleh masyarakat, khususnya masyarakat yang patriarki (budaya dimana lelaki sebagai pemegang kekuasaan utama).
Perempuan juga berperan dalam melanggengkan budaya ini. Hal ini dikarenakan rendahnya tingkat edukasi, pengaruh dogma agama dan pemikiran konservatif yang takut dengan ide kesetaraan gender yang dianggap sebagai bentuk invasi budaya barat. Budaya perkosaan hadir di tengah-tengah masyarakat dan menjadi hantu bagi para penyintas kekerasan seksual.
Perempuan korban kekerasan seksual seringkali mendapat stigma negatif seperti perempuan nakal dan tak bermoral. Tekanan inilah yang cenderung membuat para penyintas memilih untuk diam dan lebih lagi utuk merahasiakan hal dialami karena dirasa memalukan.
Tindakan aparat hukum sendiri yang menyelesaikan kasus KPS menggunakan kekerasan ataupun tindak pidana masih belum cukup karena kasus serupa masih terjadi. Hal ini dijelaskan oleh Michel Foucault dalam Power and Sexuality, dimana bentuk kekuasaan tidak dipegang oleh golongan kecil tertentu tetapi tersebar luas dalam jaringan dan relasi yang ada.
Negara memiliki kekuasaan untuk merekonstruksi kembali makna seksualitas di masyarakat. Tubuh dan seksualitas tidak lagi dimaknai sebagai sebuah kepemilikan pribadi tetapi menjadi sebuah obyek yang dapat dengan mudahnya diintervensi nilainya ataupun diubah menjadi barang pasar oleh media dan kapitalisme.
Tulisan Foucault : The History of Sexuality menjelaskan bagaimana seksualitas saat itu direpresi atas nama moral agama (Foucault menyebutnya sensor), tidak jauh berbeda dengan apa yang dilakukan masyarakat kita saat ini. Bentuk intervensi negara hadir dalam hukum yang mengatur hal-hal terkait seksualitas warganya.
Hukum yang dianggap sebagai bentuk perlindungan atas warganya, malah berbalik menjadi kontrol atas tubuh seseorang. Hukum ini kerap kali muncul dalam perda berbasis agama yang seringkali mendiskriminasi perempuan. Perda seperti larangan menggunakan pakaian minim ataupun larangan keluar malam bagi perempuan dinormalisasi oleh masyarakat sehingga dinilai sebagai hal yang wajar. Aturan tersebut merupakan hasil dari kekuasaan yang ada pada jaringan masyarakat.
Salah satu contoh adanya relasi kuasa adalah kasus Agni yang terjadi pada November 2018 setelah beredarnya artikel dari BPPM balairung UGM mengenai mahasiswi yang mengalami pelecehan seksual saat menjalani KKN pada 2017. Sampai berita tersebut tersebar luas, pihak UGM belum melakukan tindakan apapun dalam menghukum pelaku pelecehan, pelaku baru menerima sanksi menjelang kelulusan berupa pengulangan KKN dan penundaan kelulusan.
Meskipun begitu, Agni yang merupakan korban pun mendapatkan sanksi berupa nilai C dikarenakan ikut berkontribusi pada insiden tersebut, bahkan salah satu pejabat kampus mengatakan bahwa Agni turut bersalah atas kejadian tersebut dan menganalogikan kejadian tersebut seperti kucing yang diberi ikan.
Disini kita dapat melihat bentuk kekuasaan yang dimiliki oleh kampus dalam merepresi. Kasus ini hanya permukaan dari kasus pelecehan lain dimana bentuk relasi kuasa atas tubuh seseorang masih terjadi.
Selain itu ada juga kasus Nuril Baiq yang menjadi korban pelecehan seksual tetapi malah harus mendekam di penjara karena terjerat UU ITE dimana ia dituduh menyebarluaskan rekaman bukti dirinya dilecehkan oleh mantan kepala sekolah tempat ia bekerja, meskipun bukan ia yang menyebarkannya.
Kasus-kasus di atas adalah contoh bagaimana sistem di Indonesia masih memiliki banyak celah dalam melindungi korban kekerasan seksual, ditambah lagi negara yang harusnya melindungi malah melanggengkan kekerasan-kekerasan tersebut secara struktural. Kekerasan struktural yang dimaksud disini adalah hierarki kekuasaan dari sistem seperti institusi kampus, lingkungan kerja atau instansi negara, sistem kekerabatan dimana adanya kawin paksa maupun sistem keagamaan.
Michel Foucault berbicara mengenai relasi kekuasaan tetapi juga berbicara mengenai relasi dominasi. Kekuasaan dalam ranah negara (govermentality) menjadi bentuk produktif karena berperan sebagai disipliner serta memberikan pilihan tindakan kepada subjek yang dikuasai.
Sedangkan relasi dominasi membatasi tindakan subjek yang didominasi. Negara perlu hadir bukan untuk membatasi hak seksualitas warganya tetapi mendefiniskan ulang hal-hal terkait seksualitas dan menciptakan hukum yang benar-benar melindungi warganya dari kekerasan seksual.
Bentuk perlindungan itu sendiri tidak hanya dari tindak pidana tetapi juga melalui edukasi yang baik bagi pelaku maupun korban. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tidak mengenal istilah pelecehan seksual, yang ada hanya perbuatan cabul yang diatur dalam KUHP Buku Kedua tentang Kejahatan Bab XIV tentang kejahatan kesusilaan.
Definisi pencabulan dalam KUHP hanya terbatas pada kontak fisik, seperti pasal perkosaan yang secara sempit didefinisikan sebagai memasukan alat kelamin laki-laki ke alat kelamin perempuan. Padahal bentuk perkosaan ada sangat banyak dan luas. Pasal-pasal mengenai pencabulan dalam KUHP, UU tentang KDRT ataupun aturan lain dianggap sudah cukup dalam menangani masalah-masalah kekerasan seksual, padahal pada kenyataannya kasus kekerasan seksual terus meningkat setiap tahunnya.
Komnas Perempuan sendiri telah menyampaikan urgensi kasus kekerasan seksual sejak tahun 2012 dan berdasarkan data dari Komnas Perempuan selama kurang lebih tiga tahun terakhir yakni dari tahun 2014 tercatat sebanyak 4475 kasus, pada 2015 tercatat 6499 kasus, pada 2016 tercatat 5785 kasus kekerasan seksual.1 Berdasarkan data Mitra Komnas Perempuan dari Forum Pengadalayanan, kasus kekerasan seksual yang diproses hingga persidangan rata-rata hanya 10 persen.
Ketua DPR Bambang Soesatyo, dalam kasus Nuril Baiq melalui keterangan tertulis mengatakan jika, hakim kekurangan dasar hukum dan terkesan tidak cermat dikarenakan tidak adanya aturan baku yang mengatur masalah kekerasan seksual yang dijadikan dasar utama pembelaan terhadap kaum perempuan.
Karena itu, Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual dianggap penting karena mengatur lebih detil mengenai bentuk-bentuk kekerasan seksual seperti pelecehean seksual, eksploitasi seksual, pemaksaan perkawinan, pemaksaan sterilisasi, pemaksaan prostitusi, penyiksaan seksual dan perbudakan seksual.
Selain itu, RUU PKS juga mengatur jenis penghukuman yang mengadopsi bentuk pemidanaan yang beragam dan memiliki gradasi dari setiap bentuk kekerasan seksual, meliputi pemasyarakatan, rehabilitasi terhadap pelaku di bawah umur, dan restitusi terhadap korban yang dibebankan kepada pelaku atau negara. Prinsip dari RUU PKS adalah penghukuman yang mendidik menjerakan, manusiawi dan tidak merendahkan martabat, juga memenuhi rasa keadilan bagi korban.
RUU PKS juga mengatur masalah pendampingan yang melindungi korban melalui sistem pelayanan psikis, medis, bantuan hukum, ekonomi dan sosial. Sebelum adanya RUU PKS ini, negara terkesan tidak hadir dalam memperjuangkan hak-hak korban kekerasan seksual. Korban kekerasan seksual masih harus melewati proses birokrasi yang sulit mulai dari tes pemeriksaan kesehatan/ visum yang memakan biaya sebelum bisa mengajukan kasusnya ke pengadilan, serta tidak adanya bantuan hukum dan pendampingan psikologi guna memulihkan kondisi mental korban.
Sayangnya RUU PKS mengalami hambatan dalam pembahasannya. Sejak ditetapkan menjadi RUU inisiatif DPR pada Februari 2017, pembahasan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual belum mengalami kemajuan berarti, meskipun pertengahan tahun 2019 merupakan tahun terakhir bagi anggota DPR periode 2014-2019. Hal ini dikarenakan sebentar lagi akan memasuki tahun politik dan banyak dari anggota DPR yang mempersiapkan pemilu legislatif maupun eksekutif 2019.
RUU PKS terancam akan bernasib seperti RUU Kesetaraan dan Keadilan Gender yang kandas di tengah jalan dikarenakan bergantinya periode yang mana ditakutkan pembahasan RUU tersebut harus diulang dari awal lagi di periode DPR selanjutnya3. Selain itu masalah lain dalam pembentukan RUU PKS ini adalah lemahnya keterlibatan LSM dikarenakan rasio keterlibatan LSM dibandingkan organisasi keagamaan
sangat sedikit.
Padahal keterlibatan LSM penting sehingga pembahasan RUU PKS bisa menjadi lebih objektif membela korban. Menurut Valentina Sagala, aktivis Jaringan Kerja Prolegnas Pro Perempuan (JKP3) mengatakan bahwa perspektif korban dalam RUU tersebut merupakan substansi penting4. Karena selama ini pernyataan dan data yang diperoleh dari LSM-LSM maupun instansi pemerintah yang melindungi dan memperjuangkan hak korban kekerasan seksual hanya seperti tip of the iceberg atau hanya menyentuh bagian permukaan dari permasalahan yang sebenarnya kompleks.