Beberapa waktu lalu penulis menjelaskan tentang bahaya kudeta merangkak terhadap capaian reformasi. Elite partai politik menggulirkan usulan amandemen terbatas terhadap UUD 1945, untuk dihidupkannya kembali GBHN dan kewenangan MPR menetapkan GBHN.
Sepertinya kekhawatiran tersebut mulai menjadi kenyataan usai pemilihan paket pimpinan MPR yang baru. Indikasinya terlihat jelas dari diakomodasinya semua perwakilan partai politik, dengan menambah kursi menjadi 10 dalam unsur pimpinan MPR.
Terpilihnya Bambang Soesatyo (Bamsoet) sebagai ketua MPR memperkuat dugaan tersebut. Sebelumnya PDIP menyatakan bersedia mendukung dengan syarat Bamsoet setuju amandemen. Begitu terpilih, Bamsoet dalam sidang perdana MPR dengan lugas mengungkapkan pentingnya amandemen.
Hal ini menjadi tanda-tanda terang menuju agenda amandemen, sesuatu yang dapat memicu kembali kericuhan politik. Padahal baru saja DPR menjadi sumber masalah setelah pecah aksi-aksi mahasiswa dan rakyat terkait pengesahan sejumlah RUU bermasalah.
Sebagai catatan, Presiden Jokowi sudah menyatakan menolak usulan amandemen, tetapi parpol-parpol tampaknya tidak mau ambil pusing. Ini seperti mengulang kejadian soal RUU bermasalah, di mana Presiden meminta dihentikan pembahasan tetapi DPR bersikeras untuk terus menggulirkan.
Penulis telah mencermati bahwa amandemen terbatas soal GBHN merupakan pintu masuk menuju perubahan lebih mendasar dalam ketatanegaraan kita. Yaitu mengembalikan proses pemilihan presiden dan wakil presiden kepada MPR, alias merebut hak rakyat untuk memilih pemimpin secara langsung.
Wacana tersebut dilontarkan pula oleh Bamsoet pada Agustus silam, yang berarti menjadikan MPR sebagai lembaga tertinggi negara dan Presiden sebagai mandataris MPR. Ini sama saja dengan mengembalikan tatanan ke zaman Orde Baru yang telah kita tinggalkan sejak reformasi.
Semakin terang bahwa reformasi benar-benar telah dikorupsi oleh parpol-parpol yang duduk di DPR/MPR, sebagaimana tuduhan mahasiswa dan rakyat dalam gelombang aksi demonstrasi. Maka jangan disalahkan kalau aksi-aksi protes akan kembali meletup di jalanan.
Mahasiswa sendiri mengancam akan kembali turun ke jalan jika tuntutan mereka sebelumnya tidak dipenuhi. Sejumlah survei menunjukkan kuatnya dukungan publik terhadap gerakan mahasiswa, tanpa mengusik soal agenda pelantikan Presiden pada 20 Oktober mendatang.
Bangkitnya kembali gerakan mahasiswa mencerminkan penolakan terhadap menguatnya oligarki dalam perpolitikan kita. Aksi mahasiswa menyuarakan keresahan di tingkat masyarakat terhadap segelintir elite yang mendominasi keputusan-keputusan yang menyangkut hajat publik secara luas.
Sudah saatnya gerakan mahasiswa bangkit setegak-tegaknya. Jangan berhenti hanya pada RUU bermasalah, tapi juga mengawal demokrasi kita secara utuh. Jangan biarkan bangsa ini kembali pada masa-masa kelam Orde Baru. Bergeraklah kembali mahasisiwa Indonesia!