Rabu, April 24, 2024

TVRI, Televisi Tanpa Visi?

Anto Motulz
Anto Motulz
Tertarik dengan berbagai kegiatan, kolaborasi, eksperimen, dan aktivitas yang berkaitan dengan kreativitas, inovasi, dan desain. Chief Executive Officer di Kreavi.com

Dunia pertelevisian di Indonesia pernah mencapai puncaknya, yaitu saat frekwensinya dibuka untuk penyiaran TV swasta. Sejak itulah para pebisnis TV swasta bersaing merebut uang pengiklan lewat perlombaan yang jurinya adalah rating, atau angka skor yang menentukan apakah tayangan sebuah program TV itu banyak ditonton atau tidak.

Pembahasan tentang rating TV ini adalah wajib dan sahih bagi pekerja TV swasta. Sindiran banyak pekerja TV pun menyebutnya sebagai industri “penyembah rating“. Suka tidak suka persaingan periuk uang TV swasta memang diatur oleh angka rating. Berbeda dengan TVRI, mengapa? Karena TVRI adalah stasiun penyiaran publik atau public broadcasting.

Lembaga TVRI pun sejak pasca reformasi diputuskan sebagai LPP atau Lembaga Penyiaran Publik. Artinya, lembaga ini berkewajiban membuat program penyiaran lewat anggaran yang diberikan negara tanpa perlu bergantung pada sponsor atau pengiklan. Lantas bagaimana konten TVRI selayaknya dibuat atau diproduksi jika tidak harus diukur dengan rating?

Visi Televisi Publik

Dari tahun ke tahun sejak tumbuhnya dunia pertelevisian di Indonesia, TVRI yang dulunya berkuasa di Tanah Air, perlahan-lahan terseok, ambruk, tak berdaya, dan terlupakan. TVRI yang dulu dikenal besar dan tangguh, kini bagaikan seonggok raksasa tua, malas, tak sanggup bekerja, dan tak berdaya, yang hanya hidup dengan memakan pajak saja. Kondisi ini jadi lingkaran setan jika TVRI ditagih membuat program acara yang bagus dan berbobot. Bagi para pekerja di TVRI hal tersebut mustahil dilakukan karena anggaran yang tidak mencukupi.

TVRI sudah lama menjadi raksasa tua, lesu, malas, bangun siang, dan sudah dikerumuni lalat. Berharap pada raksasa tua tersebut sudah tak mungkin dilakukan karena “si raksasa tua ini” susah dikasih tahu. Singkat kata TVRI sudah harus “bongkar ulang”. Karena visi TVRI sudah tidak jelas dan tidak akan sejalan dengan kondisi zaman yang semua serba digital, teknologi, dan berorientasi pada konten, bukan malah ikut-ikutan menyembah rating seperti TV swasta.

Zaman sudah sangat berubah, TV swasta kini pun compang-camping dan terseok-seok untuk bertahan hidup. Mereka dipaksa bertarung dengan tayangan basis medium digital mulai dari YouTube sampai TikTok. Jika dulu TV swasta harus sibuk dengan angka rating, kini mereka tambah susah karena harus bersaing dengan angka like dan subscribe pada konten tayangan di basis platform digital.

Dulu, menjadi pembawa acara TV adalah model, bahkan biduan di TV itu menjadi sangat ekslusif sekali, kini seorang penyanyi jalanan bisa mudah jadi bintang lewat video di medsos, pegawai polisi jadi komedian, bahkan semua orang pun bisa jadi narasumber di media sosial. Situasi yang demikian sudah mengancam hidup TV swasta, lantas mengapa TVRI malah harus memilih jalan menjadi seperti TV swasta? Arah barusan hanya akan membuat TVRI semakin terpuruk. Lantas visi apa yang seharusnya dipilih oleh TVRI?

Solusi Visi TVRI

TVRI sudah saatnya diubah menjadi lembaga arsip dan dokumentasi bangsa. Tempat menyimpan video, footage, atau program tentang literasi, seni, dan budaya khas Indonesia. Kita semua tahu bahwa Indonesia memiliki banyak sekali seni, budaya, kuliner, artefak, dan seterusnya.

Semua itu adalah konten yang khas, konten yang memiliki nilai ke-lokal-an yang sangat unik di tengah era konten yang makin seragam. Bayangkan jika TVRI rutin mendokumentasikan tari-tarian yang ada di seluruh daerah di Indonesia, maka kelak Indonesia akan punya perpustakaan berbentuk video yang tersimpan baik dan rapih oleh lembaga yang namanya TVRI ini.

Cepat atau lambat, zaman akan berubah, mengubah seluruh aspek kehidupan masyarakat di banyak tempat di Indonesia. Satu per satu produk seni, budaya, kuliner, permainan rakyat, pakaian, perayaan adat, dan seterusnya, akan terancam lenyap dan terlupakan. Perlahan-lahan kita semua mulai tak lagi bisa melihat Tari Jaipong yang asli? Proses cara membuat Rendang Bukitinggi?

Upacara panen padi? upacara berburu ikan di Sumba? bakar batu di Papua? dan seterusnya. Selama ini jika kita ingin menonton video barusan akan cari kemana? Coba googling materi tersebut, siapa pemiliknya? rata-rata adalah televisi asing, baik itu NHK Jepang, BBC Inggris, DW Jerman, dan seterusnya. TVRI? sama sekali tidak ada. Kenapa? karena TVRI beranggapan tayangan jenis tersebut tidak ada penontonnya atau tidak laku untuk cari sponsor.

TVRI harusnya jadi perpustakaan konten tayangan kebudayaan Indonesia. Selain ditayangkan di TV, juga bisa diakses lewat medium digital baik web atau ponsel. Konten-kontennya diproduksi oleh stasiun-stasiun daerah dan dikumpulkan di TVRI Pusat. Selain itu konten yang khas tersebut bisa disewa-jualkan dalam format program video maupun footage.

Saya pikir TV asing akan tertarik untuk menyewa dan membelinya. Kita tahu bahwa selain seni dan budaya, Indonesia pun kaya akan alam yang jika dibuat tayangan video atau footage jelas menjadi daya tarik tersendiri untuk dunia audio visual dan pertelevisian dunia.

Sudah saatnya TVRI menjadi televisi dengan visi besar, kreatif, berkelas, mendunia, dan sanggup melihat Indonesia jauh ke depan. Merekam semua perjalanan sejarah bangsa ini, mulai dari peristiwa, cerita, tokoh, pembangunan, dan seterusnya, agar dapat tetap ditonton dan menjadi literasi bagi generasi mendatang.

Anto Motulz
Anto Motulz
Tertarik dengan berbagai kegiatan, kolaborasi, eksperimen, dan aktivitas yang berkaitan dengan kreativitas, inovasi, dan desain. Chief Executive Officer di Kreavi.com
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.