Jumat, April 26, 2024

Trenggono dan Supremasi Sipil

Abi Rekso Panggalih
Abi Rekso Panggalih
Sekjen DPN Pergerakan-Indonesia.

Ketika Presiden Jokowi menunjuk Trenggono sebagai wakil menteri pertahanan, kesan saya dia mengemban misi supremasi sipil.

Kita tidak perlu melihat keputusan Presiden secara politis. Alih-alih berpendapat, bahwa ini upaya mengimbangi gerakan politik Prabowo yang didaulat sebagai menteri. Apa betul? Apakah pandangan itu setara dengan visi Jokowi ?

Saya bukan orang yang berpendapat seperti alih-alih di atas. Kendati juga, saya tidak berpretensi menegasikan asumsi itu. Kita perlu keluar dari kemelut politik Pilpres, sehingga menilai sebuah keputusan politik dalam koridor kebangsaan. Ini tentang bangunan negara yang hendak ditata kembali. Boleh jadi, penempatan Trenggono sebagai wakil menteri pertahanan satu upaya dengan misi besar, yakni supremasi sipil.

Perlahan kita perlu mendudukan masalah. Narasi ini bukan dalam kerangka mempertentangakan hubungan sipil-militer sebagai mana selalu dihadapi negara berkembang seperti Indonesia. Adalah satu upaya mengajak berfikir progressive dengan mengusung keutamaan hak sipil demokrasi.

Doktrin-doktrin pertahanan

Kedaulatan sebuah bangsa dan pertahanan negara adalah dua konsep yang berkorelasi saling melengkapi. Sebagaimana dalam UUD 45′ ada tiga kementerian yang katakan secara vulgar bahwa Presiden tidak bisa membubarkan. Yaitu, kementerian luar negeri, kementerian pertahanan dan kementrian dalam negeri.

Amanah UUD menyiratkan sebuah posisi negara berdaulat, adalah melingkupi prasyarat de facto dan de jure. Seperti awal-awal kemerdekaan, Menteri Pertahanan memiliki akses sekaligus kewenangan terhadap instruksi perang. Bahkan sering kali terjadi persetegangan antara lobi-lobi internasional dengan sikap-sikap angkatan perang/militer Indonesia. Risalah itu kerap tercermin dalam persilangan pendapat antara Sutan Sjahrir (Menlu) dan Amir Sjarifuddin (MenHan). Namun, kita tidak akan repot membahas terkait hal itu dalam ulasan ini.

Setidaknya, saya akan membagi doktrin pertahan berlatar periode atau rezim kekuasaan yang terselenggara sebagai pemerintahan Republik Indonesia.

Doktrin Perang Pembebasan (Doctrine of War Liberation), paradigma inilah yang menjadi cikal bakal “nasionalisme muda” Indonesia. Era pra-kemerdekaan kantong-kantong perjuangan kemerdekaan Indonesia hampir pasti berteguh pada doktrin ini. Manifestasi dalam sebuah sistem terwujud dalam era awal-awal kemerdekaan Indonesia. Soekarno membawa konsep pertahanan negara pada doktrin ini.

Bisa dimengerti mengapa era Soekarno kuat dengan corak ini, setidaknya kita mencatat dua pristiwa penting; Agresi Militer II dan Nasionalisasi Perusahaan Kolonial.

Peran militer serta milisi perjuangan sangat dominan. Karena, stabilitas nasional belum terbentuk kokoh. Ditengah juga politik dalam negri belum terkonsolidasi dengan baik.

Doktrin Negara (state doctrine), pola ini termanifest saat kekuasaan Rezim Soeharto. Ketika, negara tidak lagi mendapati ancaman secara eksternal. Maka, salah satu potensi ancaman dalam perspektif keamanan negara adalah dari dalam. Ketika era Soeharto diksi pemerintah yang sangat familiar ditelinga rakyat adalah “stabilitas”.

Diksi itu bisa dimengerti, karena pemerintah tidak ingin ada gejolak apapun yang muncul atas keputusan pemerintah yang berlaku absolut.

Sebuah ciri identik negara otoritarian, maka pembobotan kekuatan militer didalam segala lini. Militer dan birokrasi negara menjadi perpanjangan tangan rezim berkuasa.

Doktrin Sipil-Militer (civil-military relation), ketegangan sipil-militer menguat ketika awal Reformasi. Ditandai dengan robohnya rezim otoritarian Soeharto, lantas diestafetkan kepada Habibie. Kemudian Gus Dur dengan latar belakang ulama didaulat menjadi Presiden melalui mekanisme Parlemen. Meski dalam perjalannya, Megawati menggantikan sebagai Presiden.

Konsep pertahanan pada periode anomali tidak memiliki orientasi yang fokus. Karena sistem pertahanan sedang mencari bentuknya.

Maka, ketegangan antara kelompok sipil-militer menjadi semakin terbuka. Secara teoritis defenisi pertahan lebih mengarah terhadap proteksi kekuasaan dari lawan politik.

Wajar ketegangan itu terjadi, karena kekuatan sipil dibungkam selama kurang lebih 32 tahun. Rekasi itu tidak berlebihan karena sebagai titik balik supremasi sipil. Maka penting melakukan pembatasan kekuasaan dari kalangan militer yang selama itu menjadi kekuatan dominan.

Doktrin Reformasi Militer, ketika Habibie mundur dalam tensi politik, Gus Dur terpilih secara demokratis sebagai Presiden Republik Indonesia IV. Gus Dur dianggap satu era awal transformasi reformasi.

Secara sadar, Gus Dur perlahan melakukan upaya reformasi militer. Mendorong ABRI menuju militer profesional. Salah satu langkah yang begitu kentara, adalah menempatkan Mahfud MD sebagai menteri Pertahanan dalam Kabinet Persatuan Nasional. Serta upaya memisahkan Polisi dari kesatuan TNI.

Ketika Megawati menjabat, estafet reformasi militer diteruskan. Salah satu kebijakan yang diperkuat adalah institusi kepolisian. Era Megawati polisi mengalami reorientasi kelembagaan. Dari yang memegang paradigma kemiliteran, kemudian harus bertransformasi menjadi badan pengayom sipil. Sebagai aparatus pengendalian keamanan serta perangkat penegakan hukum.

Ini adalah era-era yang menentukan banyak perubahan dalam paradigam pertahan. Pada era Soeharto, semua aktivitas yang dianggap mengganggu kenyamanan penguasa gampang dituduh sebagai pemberontak.

Pada era reformasi, bentuk-bentuk ancaman dalam negri mengalami pergeseran sudut pandang. Setidaknya, terbagi secara umum atas tiga hal; gerakan sparatisme dengan motif politik (GAM, RMS atau Papua Merdeka), gerakan terorisme dengan motif ideologi fundamentalisme (aksi bom bunuh diri), kriminal bersenjata (perampokan, pengedaran narkoba, dll).

Cara pandang dalam pengendalian keamanan perlahan berubah sesuai dengan fungsi kelembagaannya. Seperti halnya, Polisi terlibat dalam masa transisi penghapusan DOM di Aceh. Juga seperti halnya Polisi secara penuh dan otonom memimpin penumpasan jaringan teroris.

Pertahanan nusantara, upaya kedaulatan sipil

Ditengah gejolak tewasnya Jendral Soleimani, gejolak keamanan Internasional seketika meningkat. Publikasi Pentagon merilis berita bahwa aksi penyerangan itu atas perintah Presiden Trump.

Dalam spektrun keamanan Internasional, ketika terjadi sebuah ketegangan antar negara yang memiliki potensi kekuatan senjata besar, maka peluang terjadi invasi juga konfrontasi terbuka besar.

Pertahanan Nusantara, adalah salah satu wujud dari terusan dari Doktrin Perdamaian Dunia. Tentu, amanat ini termaktub dalam pembukaan UUD 45. Ada spirit menjaga tatanan perdamaian dunia adalah salah satu spirit para pendiri bangsa diatas manifestasi kemerdekaan.

Soekarno, merintis sebuah gerakan perdamaian Internasional Pan Asia-Afrika. Sebuah sikap politik yang berani keluar dari kemelut perang dunia II.

Yang dimaksud dengan proyeksi pertahan Nusantara adalah mendidik kewaspadaan warga negara dalam memandang situasi dunia.

Hal ini ada kaitannya dengan sikap Mentri Prabowo yang mengambil sikap negosiasi terkait isu Natuna. Sekiranya, sikap Prabowo ini perlu diapresiasi dan hal realistis dengan kondisi kemiliteran kita.

Setidaknya Pertahanan Nusantara melingkupi empat hal penting; ideologis (pendidikan Pancasila), geografis, antropologis, ilmu pengetahuan – teknologi dan cadangan energi.

Pendidikan Pancasila, mungkin sebagian besar sudah diambil BPIP yang memiliki strategi kelembagaannya sendiri. Dalam konteks ini ada baiknya jika Wamen Trenggono membangun kerjasama kelembagaan antara Kementrian Pertahanan dan KBIP.

Dalam menjaga kedaulatan bangsa, ideologi negara menjadi salah satu indikator dalam membaca simpul-simpul potensial yang bisa dirangkul sebagai kekuatan pertahanan. Diwaktu yang sama juga, membaca kelompok pengancam yang bisa jadi dalam upaya pelemahan pertahanan Nasional. Sebagai sipil, Wamen Trenggono perlu mengambil peranan ini. Karena boleh jadi, sektor militer dan alutista dibawah komando Mentri Prabowo.

Diwaktu yang sama, pengawalan ideologi Pancasila dalam koridor sipil juga tidak kalah pentingnya. Karena jika kita sepakat mendorong karakter militer kita dari transisi tentara pretorian menuju tentara professional, ideologi negara tidak boleh terjebak dalam perspektif yang militeristik.

Dalam konteks ini pengawalan ideologi Pancasila menjadi salah satu fondasionalisme supremasi sipil. Maka, tugas Wamen Trenggono menjadi begitu eksplisit.

Kedua adalah geografis, luas wilayah Indonesia yang dominan berada dalam wilayah perairan bisa menjadi keuntungan juga kekurangan dalam Pertahanan Nusantara. Dalam standar kemiliteran, kebencanaan dan aktivitas pecinta alam.

Dalam kurikulum sekolah geografi menjadi salah satu mata pelajaran. Namun, tema itu tidak menarik bagi siswa perkotaan. Karena ada jarak kesadaran perkotaan dengan kontur geografis yang cenderung berada pada wilayah gunung, bukit atau hutan.

Masalah lain yang kerap dihadapi adalah rezim kurikulum geografi yang dominan pada perspektif daratan. Wawasan kemaritiman masih sangat minim dalam kurikulum geografi ditingkatan sekolah. Hal ini juga berkaitan dengan dominasi ketahanan militer di basis darat ketimbang laut. Sama sepertihalnya, lebih banyak anak-anak muda Indonesia piawai membaca navigasi darat, ketimbang navigasi laut. Padahal, wilayah Indonesia dominan adalah lautan.

Pembobotan geografi dalam kemaritiman menjadi upaya besar dalam melakukan Pertahanan Nusantara. Konsep ketahanan Nasional masih bersifat klasik, karena masih bergantung pada wilayah berpenduduk. Padahal, dengan situasi global seperti sekarang, wilayah laut kita juga perlu pengawasan ekstra. Karena sekian lama kita kerap absen dengan wilayah maritim Indonesia.

Kemudian adalah maksimalisasi ruang antropologis kita yang begitu kaya. Masyarakat kita memiliki banyak kearifan lokal yang bisa menambah pembobotan dalam konsep pertahanan Nusantara. Semisal tanaman-tanaman yang bisa dijadikan konsumsi makanan atau obat-obatan yang tumbuh diatas vegetasi tropis kita. Konsep ketahanan dengan pendekatan antropologis, juga masih menggunakan pendekatan klasik.

Mungkin dirjen Kebudayaan Hilmar Faridz dalam satu upaya melakukan pencatatan kembali atas segala kearifan lokal yang terkandung di Indonesia.

Kaitannya dengan konsep Pertahanan Nusantara, pendekatan antropologis bukan saja dicatat dalam tradisi bertahan hidup secara konsumsi. Namun juga, keunggulan atau keahlian berburu (skills of hunt) yang identik dimiliki oleh komunitas etnis dalam melakukan perburuan atau bertahan hidup dari serangan musuh (predator).

Seperti halnya, tradisi menyumpit orang Dayak, menyelam orang Bajo, ini adalah contoh keahlian yang bisa menjadi pembobotan Pertahanan Nusantara. Sehingga ketika memang negara dalam kondisi darurat, warga negara siap mempertahankan kedaulatan.

Dalam sistem militer hal ini biasa disebut dengan penggalangan potensi ketahanan nasional. Meskipun pendekatan berbasis militeristik, dan kerap kali digunakan oleh oknum-oknum militer untuk mengambil keuntungan semata. Konsep penggalangan perlu menambah potensi baru, juga dengan pendekatan yang baru. Tanpa harus menegasi yang telah atau sedang berlangsung.

Keempat, adalah pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam hal ini, konsep perang asimetris. Penguasaan data wilyah, potensi yang bisa digerakan, sirkulasi Logistik dan terapan pertahanan dalam aspek militer.

Artificial of intelligent, menjadi tombak utama dalam mengelola sistem informasi pertahanan.

Dalam Pertahanan Nusantara, teknologi tertinggi berhak digunakan militer. Namun ketika dalam keadaan normal, sipil juga berhak melakukan komersialisasi secara legal dari teknologi tersebut.

Ketika teknologi militer, menjadi non-militer maka pemerintah berkewajiban untuk mengembangkan lebih maju lagi teknologi pertahanan yang dikembangkan penuh berada dibawah otoritas sivitas akademik yang berbasis sipil. Intervensi militer dibatasi dalam fungsi terapan teknis dilapangan.

Kelima sekaligus terakhir, adalah cadangan energi. Alih-alih berpendapat bahwa cadang energi kita hanya sanggup untuk beertahan selama 20 hari. Ini sangat riskan, ditengah kekuatan global bisa bertahan berbulan-bulan hingga setahun.

Ditengah carut marutnya BUMN bidang energi, tentunya kondisi terkini adalah situasi paling riskan jika kita menghadapi konfrontasi perang.

Meski sebenarnya, jumlah cadangan energi adalah salah satu rahasia negara yang tidak boleh dipublish secara luas.

Kembali mengulang dari sikap Mentri Prabowo yang mengambil sikap negosiasi atas upaya penyelesaian Natuna, adalah satu posisi yang relevan. Diwaktu yang sama, juga bentuk dari refleksi kekuatan militer Indonesia dan ketahanan nasional.

Ditengah pertarungan US, China, dan Rusia sikap Prabowo sudah relevan. Prabowo kedepan tidak saja menjadi Mentri Pertahanan Indonesia, tetapi juga bukan tidak mungkin dirinya menjadi salah satu utusan juru negosiasi Internasional urusan pertahanan.

Ditengah situasi seperti itu, ada baiknya jika Wakil Mentri Pertahanan Trenggono mengambil sebuah keputusan strategis dalam melakukan konsolidasi-konsolidasi ketahanan nasional kita.

Mempromosikan Pertahanan Nusantara, adalah sebuah kewaspadaan internasional dengan mengemban semangat perdamaian demokrasi sipil.

Abi Rekso Panggalih
Abi Rekso Panggalih
Sekjen DPN Pergerakan-Indonesia.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.