Orang cepat lupa. Dalam soal ingatan, lima tahun itu jaraknya adalah lima juta tahun cahaya. Untuk itu, jangan berharap bahwa orang akan ingat.
Itu terjadi dimana-mana. Maksud saya, ingatan pendek itu. Dan, para politisi tahu persis itu. Itulah sebabnya seorang politisi kadang menghilang beberapa saat. Politisi menunggu orang lupa. Setelah itu mereka bertiwikrama — menjadi politisi dengan wajah, bentuk, dan ideologi lain.
Orang dengan gembira menerimanya kembali. Ingat seorang narapidana yang bernama Tommy Suharto? Dia kembali dan menjadi ketua partai. Dia memoles diri sedemikian rupa, berpartisipasi dalam sebuah proses demokratik, sebuah proses yang ditindas habis oleh bapaknya.
Tidak hanya Tommy. Saudarinya, Titiek pun sama saja. Demikian pula dengan para minion keluarga cendana. Sekarang mereka bebas berbicara. Bebas berdemokrasi, sistem yang dulu dikutuki, bahkan berpartisipasi langsung dan tidak langsung membunuh para aktivisnya.
Hal yang sama terjadi pada Prabowo Subianto. Setelah kejatuhan mertuanya, dia dipecat dari dinas militer. Tidak itu saja. Keluarganya berantakan. Dia kehilangan kepercayaan dari keluarga istrinya.
Dia mengasingkan diri ke Jordania. Tidak berapa lama, dia kembali dan merajut orang-orang yang selama ini loyal kepada dirinya (Fadli Zon termasuk yang paling awet loyalitasnya). Dia bertiwikrama menjadi politisi sipil.
Dia ikut konvensi Golkar. Namun kalah. Kemudian dia mendirikan partai sendiri, Gerindra. Bahkan dia berhasil meyakinkan Megawati Sukarnoputri untuk menjadikannya sebagai calon wakil presiden. Dia kalah lagi. Namun partainya berkembang dan membesar. Tahun 2014, dia mencalonkan diri lagi menjadi presiden. Kali ini pun dia kalah.
Nah, disinilah orang tidak ingat bagaimana proses Pilpres 2014 dan hasil-hasilnya. Demo-demo terhadap KPU juga dilancarkan menjelang rekapitulasi Pilpres 2014. Pihak Prabowo-Hatta ketika itu berusaha mendelegitimasi hasil Pilpres.
Bahkan, PKS yang mendukung Prabowo mengatakan bahwa mereka memiliki 10 truk bukti-bukti kecurangan pemilu. Hitungan internal PKS mengatakan bahwa Prabowo memenangkan Pilpres. Namun data itu ternyata tidak ada.
Sesudah rekapitulasi Pilpres, pihak Prabowo-Hatta menggugat ke Mahkamah Konstitusi. Mereka mengklaim telah terjadi kecurangan di 52.000 TPS di seluruh Indonesia. Ada 21 juta suara di seluruh TPS tersebut. Tuduhan yang amat serius.
MK menolak semua gugatan kubu Prabowo-Hatta. Namun situasi diluar sidang jauh lebih mencekam. Pendukung Prabowo-Hatta berdemo diluaran. Tidak itu saja. Mereka membawa tiga buah truk Unimog — truk pengangkut pasukan. Dengan truk-truk besar itulah massa pro-Prabowo berusaha menembus pagar kawat yang dipasang polisi untuk mencegah massa masuk ke dalam kawasan MK.
Kemudian diketahui bahwa tiga buah Unimog 1300L tersebut adalah milik Djoko Santoso, mantan Panglima TNI (saya tidak tahu truk seperti itu bisa dimiliki oleh pribadi). Sekarang Djoko Santoso menjadi Ketua Badan Pemenangan Nasional, tim kampanye Prabowo-Sandi.
Sidang MK berlangsung hingga malam. Ketika malam itulah massa yang tidak jelas berusaha membakar satu mini market di utara Jakarta. Namun pembakaran meluas bisa dicegah, massa bisa dipecah dan diisolasi. Provokasi untuk memancing kerusuhan gagal.
Saya hanya ingin mengingatkan bahwa perilaku sang jendral dan pendukungnya bukan sesuatu yang baru. Mereka sudah melakukannya pada 2014. Kini mereka melakukan lagi. Dan, yang agak mengherankan bahwa sangat sedikit orang melihat betapa samanya kelakuan mereka di tahun 2014 dan 2019.
Mengapakah Prabowo melakukan ini? Ada banyak jawaban, saya kira. Ego Prabowo sebagai pribadi mungkin adalah satu faktor. Sedangkan faktor yang lain adalah kewajiban Prabowo untuk membuktikan diri sebagai orang yang kuat dan teguh pendiriannya.
Itulah citra yang ditanamkan oleh Prabowo tentang dirinya kepada pengikutnya. Kalau dia mengalah, maka pendukungnya akan berbalik menyerang dia karena menampakkan kelemahan.
Namun ada hal yang berbeda antara Prabowo 2014 dan 2019. Di tahun ini, 02 lebih memiliki pendukung yang jauh radikal. Hasil pemilihan pun sangat berbeda. Prabowo dipilih oleh pemilih luar Jawa sementara Jokowi dipilih oleh Jawa dan minoritas.
Hasil pemilihan memperlihatkan pembilahan ideologi yang makin tajam di Indonesia ini dan itu dipersonifikasikan dengan Prabowo dan Jokowi. Bagaimanapun menguatnya pembilahan ideologis ini — yang bertepatan dengan kondisi geo-cultural Indonesia — sangat mencemaskan.
Prabowo, saya kira, pasti tahu ini. Dia tahu dia bisa mengeksploitasi pembilahan ini. Itulah mungkin yang menyebabkan dia bertahan dengan menuduh telah terjadi kecurangan.
Menggerakan aksi jalanan untuk memenangkan pemilu tentu mengkhianati proses demokrasi itu sendiri. Seharusnya Prabowo menghormati apapun yang terjadi. Jika merasa tidak adil, dia harus menggugatnya ke Mahkamah Konstitusi seperti yang dia lakukan pada 2014. Tentu dengan membawa bukti-bukti yang kuat.
Tapi itu tidak terjadi pada si jendral. Dia tetap bersikeras telah terjadi kecurangan dalam skala massif. Saya tidak tahu apakah kubu 02 tahu konsekuensi dari sikap ini atau tidak. Prabowo sendiri harus bertanggungjawab jika terjadi sesuatu pada Jakarta pada 21-22 Mei ini. Dia yang memiliki massa ini. Jika terjadi kerusuhan maka dialah yang pemilik kerusuhan itu. Bukan orang lain.
Tahun 2014, menjelang rekapitulasi KPU, saya menulis artikel yang menyoroti pribadi si jendral. Saya kira, saya masih setuju dengan kesimpulan saya ketika itu, yaitu bahwa Prabowo merasa dirinya berhak (entitled) untuk menjadi presiden negeri ini.
Perasaan seperti ini datang dari kelas elit yang tidak pernah sedikit pun merasakan hidup susah. Anehnya semua manuver politiknya seolah-olah memberi harapan pada kaum susah.