Dalam Avengers: Infinity War, obsesi Thanos untuk menciptakan keseimbangan lahir karena para penguasa di planet asalnya melakukan overeksploitasi sumber daya alam. Kekayaan Titan (bulan planet Saturn) yang semestinya dirawat dan diambil seperlunya, dikeruk gila-gilaan, atas nama apa saya tak tahu. Mendorong ekspor? Meningkatkan APBN? Atau menarik Investor? Kemungkinan itu tak pernah dijelaskan dalam film.
Mungkin sebelum menggunakan anekdot tentang Avengers dan Thanos, Pak Jokowi mesti paham mengapa Thanos menjadi Thanos. Baik dalam kanon komik, maupun dalam tafsir Film. Pak Jokowi menganggap bahwa Thanos menghabisi separuh mahluk hidup di jagat raya untuk bisa menyeimbangkan sumber daya alam dan kebutuhan. Pandangan ini tak salah, tapi mengapa ia bisa sampai pada pandangan ini?
Dalam dialog bersama Doctor Strange, Thanos memperlihatkan imaji tentang Titan yang indah.
Kanon komik Marvel memperkenalkan sosok Thanos sebagai seorang warga Titan yang pasifis. Ia menolak kekerasan, mencintai mahluk hidup, tak suka berkelahi, dan gemar belajar, dan tumbuh menjadi ilmuwan yang jenius.
Dalam film Avengers, Thanos adalah sosok pragmatis. Ia meramalkan bahwa sumber daya Titan itu tak mampu mendukung penduduknya jika tak ada kendali. Ia memperingatkan penguasa bahwa jika eksploitasi diteruskan tanpa kontrol, sementara populasi terus bertambah, Titan akan mengalami kepunahan. Apakah penguasa itu mendengar Thanos? Tidak. Titan hancur dan ramalan Thanos terbukti.
Dalam komik, Thanos Rising (2013), Titan hancur karena kecintaan Thanos pada Kematian yang membuatnya membantai seluruh penghuni Titan kecuali A ‘Lars. Dalam film, kehancuran Titan akibat keserakahan para penguasanya. Tapi tentu, penjelasan tentang Thanos dan Avengers dalam pidato Jokowi bukan soal ketepatan narasi dalam komik atau film, melainkan tentang optimisme. Pak Jokowi memosisikan diri sebagai superhero, melawan Thanos dalam perang dagang yang ia pikir akan menghancurkan separuh populasi.
Masalahnya, siapa sebenarnya Thanos? Thanos dalam Infinity Wars jelas bukan penguasa yang menentukan arah kebijakan Titan. Thanos tak punya kuasa untuk yang membiarkan bentang alam karst penyimpan air hancur untuk membuat pabrik semen. Thanos jelas akan menolak proyek raksasa reklamasi untuk penduduk kaya di Titan. Thanos juga jelas akan menolak membiarkan pemilik modal untuk menghancurkan hutan dan menanam sawit.
Thanos juga tak akan mengancam mereka yang melawan perusahaan sawit dengan buldozer.
Thanos dalam Infinity Wars adalah seorang pragmatis yang percaya akan keseimbangan alam, merawat sumber daya, dan harmoni makhluk hidup. Pilihan itu ia ambil karena ia sadar bahwa Titan memiliki terlalu banyak penduduk, sementara sumber daya yang ada sangat terbatas. Maka saat planetnya sudah terlalu sesak, ia menawarkan solusi pragmatis pula: menghabisi separuh populasi, supaya yang lain bisa hidup.
Pragmatisme ini yang sebenarnya dimiliki oleh para pemimpin di bumi, bahwa agar yang lain bisa hidup, kelompok yang lain mesti berkorban. Dalam bahasa Pak Jokowi, “the misguided belief that in order to succeed others must surrender”.
Apakah Pak Jokowi yakin, dengan pembangunan pabrik semen di Rembang tak ada warga yang sawahnya ternacam hancur dan ekosistem alamnya rusak? Apakah saat membangun bandara Kulonprogo, tak ada warga yang dirugikan atau diusir paksa agar proyek raksasa itu bisa dilanjutkan dengan mengundang investor dari India? Atau demi industri sawit, pembakaran hutan boleh dilakukan dan mengorbankan ribuan orang yang dirugikan oleh asap?
The misguided belief that in order to succeed others must surrender.
Untuk mencapai apa yang ia inginkan, Thanos mengumpulkan tukang jagal yang bersedia melakukan apa pun. Ia tak merangkul korban kejahatan, tapi mendekatkan diri pada elite. Ebony Maw, Proxima Midnight, Corvus Glaive, dan Black Dwarf adalah jenderal-jenderal yang punya rekam jejak kejahatan serius. Orang-orang itu yang dilawan Avengers, bukan dirangkul oleh Avengers.
Tapi tenang, Pak, setidaknya Pak Jokowi bukan Red Skull, jenderal nazi yang gemar menculik orang supaya menjadi orang terdekat Hitler. Kalau enggak percaya, coba baca Tales of Suspense edisi 66 tahun 1959.