Sabtu, April 20, 2024

Ternyata Singapura Tak Ada Apa-apanya Dibandingkan Indonesia (3- Tamat)

Jalal
Jalal
Provokator Keberlanjutan. Reader on Corporate Governance and Political Ecology Thamrin School of Climate Change and Sustainability, Jakarta. Bukunya berjudul "Mengurai Benang Kusut Indonesia" akan segera terbit.

Kedua belas, hobi memeras yang selama ini dijalankan Pemerintah Singapura itu bukannya berkurang, melainkan terus bertambah. Semakin menjadi-jadi. Tahun depan mereka bakal memperkenalkan pajak karbon. Apalagi coba ini kalau bukan perwujudan kekejaman terhadap rakyat?

Begitulah. Saya membaca di beberapa sumber berita bahwa mulai tahun 2020 pajak karbon bakal diluncurkan. Dalihnya apalagi kalau bukan pengendalian perubahan iklim? Menurut Menteri Lingkungan Hidup dan Sumberdaya Air-nya, pajak karbon itu menjadi jembatan antara mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Pajak karbon itu katanya bakal membuat industri menjalankan efisiensi dan efikasi energi dengan lebih sungguh-sungguh, selain menjadi sumber dana untuk adaptasi.

Pajak karbon sudah lama didiskusikan di Indonesia, mungkin jauh lebih lama daripada di Singapura. Terutama di kalangan pakar dan aktivis. Juga oleh sebagian birokrat yang kebetulan sedikit banyak mendengar ide sok progresif itu. Tapi, aturannya tak kunjung diketok palu. Diskusi sih jalan terus. Ongkos transportasi, akomodasi dan gizi bagi pembicara dan peserta juga mengalir terus. Soal kapan aturannya keluar, ya tidak sepasti keluarnya ongkos.

Terakhir kali saya dengar soal isu ini, akan diundur lagi. Dulu sekali, konon, ada ide asli pajak karbon dalam negeri untuk pilotnya. Lalu bergeser dan bergeser terus jadi tahun depan. Tetapi, ya itu, saya dengar ada sedikit pertimbangan yang membuat sedikit pergeseran lagi. Dari sedianya tahun 2020, mengikuti rencana G20, jadi tahun 2024. Mungkin lantaran kita masih anak bawang di G20. Tetapi yang lebih masuk akal adalah bahwa Pemerintah Indonesia tak ingin memeras rakyatnya, dengan dalih lingkungan. Kalau tahun depan jadi, bersama-sama dengan negeri Tumasik itu, jangan-jangan ada yang menyangka kita ikut-ikutan. Tak usah lah mengambil risiko itu.

Ketiga belas, Pemerintah Singapura juga jelas tak percaya pada rakyatnya. Mereka ikut campur kehidupan pribadi secara kelewatan. Yang sedang sangat diributkan itu adalah soal pengaruh internet pada penyebaran hoaks dan ujaran kebencian yang bisa merusak hubungan harmonis antar-ras dan antar-pemeluk agama.

Kita di Indonesia tak khawatirlah kalau soal itu. Masyarakat kita kan cukup melek informasi. Secara umum bisa menahan diri dari keinginan untuk menyebarkan hoaks atau berita palsu.

Masyarakat kita ini tepo seliro-nya tinggi sekali, sehingga tak mudah menyatakan ujaran kebencian atau hasutan. Lihat saja kontestasi Pilpres 2019 yang selesai dengan mudah lewat pertemuan para elite di MRT, nongkrong di Sate Senayan, dan diplomasi nasi goreng. Rakyat di bawah langsung adem, seakan-akan ikut berada di gerbong MRT, menikmati sate dan mencecap nasi goreng. Rakyat kita luar biasa dewasa.

Tetapi Singapura membutuhkan hukum yang tegas. Rakyatnya tak dipercaya bisa menahan diri kalau tak diancam hukuman yang keras. Karenanya, draft regulasi yang mereka buat itu—namanya The Protection from Online Falsehoods and Manipulation Bill—memuat ketentuan yang membuat banyak negeri lain mendelik. Misalnya, negara ditetapkan sebagai penentu benar atau salahnya informasi, dan postingan yang bisa menurunkan kepercayaan kepada negara itu dilarang keras.

Kalau sampai menyebarkan informasi seperti itu dan dibuktikan mempengaruhi hasil pemilu, denda SGD50.000 dan penjara 5 tahun menanti. Kalau penyebaran informasinya menggunakan optimasi bot, ancaman denda dan penjaranya dua kali lipat.

Yang lebih ketat lagi, kepada platform yang digunakan. Kalau sebuah platform menyebarkan informasi yang dinyatakan palsu sebanyak tiga kali dalam enam bulan, tanpa segera memberikan klarifikasi bahwa informasi itu palsu dan langsung menghilangkan informasi palsu itu, maka denda SDG1 juta menanti. Bayangkan!

Tetapi, kalau peraturan seperti itu dibuat di Indonesia, tetap saja tak akan ada yang terkena dampaknya. Mana ada di antara orang Indonesia yang menjelek-jelekkan pemerintahnya sendiri? Mana ada usaha untuk menggerus kepercayaan kepada pemerintah, apalagi sekadar untuk memenangkan pemilu. Itu terlampau hina buat rakyat dan elite politik Indonesia yang mulia. Seluruh dunia percaya kok bahwa pemilu kita adalah yang paling dahsyat sekaligus aman, tenteram, damai dan menyenangkan.

Kekhawatiran berlebihan juga terasa hingga minggu ini Singapura sangat disibukkan dengan berita bakal diperbaruinya regulasi Maintenance of Religious Harmony Act. Ada dua pokok masalah yang bakal diperkuat.

Pertama, soal penguatan hukuman buat mereka yang menghina agama. Kedua, soal pencegahan agar agama tidak dieksploitasi bagi kepentingan politik dan subversif.  Alhamdulillah, kedua hal itu benar-benar jauh dari Indonesia, sehingga tak perlulah regulasi yang bakal mengatur apa ucapan-ucapan yang diperkenankan atau dilarang terkait dengan agama. Kalau Singapura hendak mengatur itu, pastilah karena situasi dalam negerinya, atau situasi di negeri lain yang tak sekokoh Indonesia.

Keempat belas, sikap pemerintah yang seperti itu lalu ditanggapi oleh rakyatnya yang mingkem, diam saja, bahkan secara terbuka mendukung sepenuhnya. Jelas, kalau bukan datang dari ketakutan, tentu merupakan bukti kemunafikan.

Ketika harga rokok dibikin mahal, rakyat diam. Ketika ERP diterapkan, masyarakat Singapura terus tersenyum sambil berkendara. Ketika pajak karbon didiskusikan, malah ada yang meminta segera diberlakukan. Kayaknya rakyat di negeri ini benar-benar sudah dicuci otaknya habis-habisan, atau mereka tahu bahwa mereka hidup di negeri Orwellian di mana kamera pengintai terpasang di setiap sudut negeri.

Atau, penjelasan lainnya, masyarakatnya memang kurang pandai saja. Saya ingat bertahun-tahun lalu sudah berbagai karakter kartun diperkenalkan untuk memastikan bahwa dalam menggunakan transportasi publik warga Singapura akan menjadi penuh pengertian. Stand-up Stacey diperkenalkan supaya orang segera memberikan tempat duduknya kepada yang lebih membutuhkan, Move-in Martin dibikin supaya orang tidak berdesak-desakan di pintu, dan Bag-down Benny membujuk agar penumpang menaruh tasnya di bawah agar ruang menjadi lebih lega.

Masih ada katakter-karakter lain, termasuk yang mengajari orang untuk tak bicara keras atau membuka ketiak lebar-lebar atau memersilakan orang yang membutuhkan untuk antre duluan.

Perlu berapa tahun sih untuk mengajari orang Singapura supaya jadi begitu sehingga sampai sekarang masih saja bisa saya lihat di mana-mana? Di Indonesia, orang beramai-ramai memberikan tempat duduknya di kereta, bus atau MRT. Tak ada yang pura-pura tidur. Orang-orang selalu masuk ke dalam gerbong, tidak berkumpul di dekat pintu.  Dan, jelas sekali, tak ada orang yang bicara keras-keras di kendaraan umum hingga mengganggu orang lain.

Jadi, tak perlulah ada pengajaran bertahun-tahun untuk hal-hal seperti itu. Masyarakat Indonesia sangat cerdas, sadar sepenuhnya akan maslahat dan selalu bersedia mendahulukan kepentingan orang lain.

Maka, peraturan atau pendidikan publik seperti itu ya tidak dibutuhkan di Indonesia.  Masyarakat Indonesia terkenal punya kecerdasan intelektual, emosional, dan spiritual yang tinggi, sehingga sangat mampu mengatur dirinya sendiri. Kalau pemerintahnya coba-coba selebay Pemerintah Singapura, maka publik tak ragu-ragu untuk mengingatkan. Tentu dengan jalur-jalur yang benar dan tertib.

Kelima belas, Pemerintah Singapura jelas sedang dalam kesulitan keuangan yang parah. Tengah tahun ini, rasio hutang terhadap GDP mereka mencapai 106%, dan tahun depan bakal jadi 110%. Utang segunung itu menjelaskan semua perilaku mata duitan pemerintahnya. Segala denda atas nama ketertiban, cukai atas nama kesehatan, serta tambahan pajak atas lingkungan sebetulnya cuma akal-akalan agar pundi-pundi negara bisa terisi.

Begitu juga segala karakter yang membuat naik transportasi publik di Singapura, sebetulnya cuma biar mereka betah menggunakannya, dan tak bersungut-sungut lantaran banyaknya pungutan oleh negara.

Indonesia jauh lebih mapan. Hutang luar negerinya tak sampai 30% dari GDP, walau kebijakan negara bilang bahwa pemerintah bisa berhutang sampai 2 kali lipat rasio itu, tetapi rakyat yang menyayangi Indonesia kerap mengingatkan bahwa kita tak perlu menambah hutang.

Cara rakyat menyampaikannya juga sangat santun, dan selalu disertai dengan data yang valid dan memadai; sehingga pemerintah pun tak sembarangan menambah hutang, walau sesungguhnya ruang untuk menambahnya sangatlah terbuka luas. Singapura yang rakyatnya cenderung manut itu dalam setahun membiarkan hutang pemerintahnya meningkat 4%.

Demikianlah. Quod erat demonstrandum. Indonesia adalah negeri yang jauh lebih baik daripada Singapura. Kalau tahun ini Singapura dinyatakan sebagai negara dengan peringkat ke-66 kinerja SDGs-nya di seluruh dunia menurut Sustainable Development Report 2019, dan Indonesia ada di peringkat 102; sementara dalam World Happiness Report 2019 mereka nangkring di peringkat 34, dan Indonesia ada di nomor 92, pastilah itu semata-mata hasil pencitraan luar biasa oleh pemerintahnya. Manalah mungkin mereka lebih berkelanjutan sekaligus lebih bahagia daripada Indonesia? Yang bener aja!

Bacaan terkait

Ternyata Singapura Tak Ada Apa-apanya Dibandingkan Indonesia

Ternyata Singapura Tak Ada Apa-apanya Dibandingkan Indonesia (2)

Jalal
Jalal
Provokator Keberlanjutan. Reader on Corporate Governance and Political Ecology Thamrin School of Climate Change and Sustainability, Jakarta. Bukunya berjudul "Mengurai Benang Kusut Indonesia" akan segera terbit.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.