Ini bukan kelompok ekstrim kanan atau ekstrim kiri atau kelompok radikal lainnya yang mengkerut ketika diancam bui— tapi ‘tentara Allah’ berupa virus korona yang dulu di awal kedatangannya dikira azab untuk negeri kafir, tapi kemudian malah ngamuk di negeri-negeri Muslim dan bikin Masjid al Haram sepi dicekam takut, puluhan ribu sekolah diliburkan—ibadah di masjid dirumahkan, dan shalat Jumat dihentikan.
Apa ada jaminan ketika sekolah di semua jenjang diliburkan, ibadah dirumahkan, lantas ‘tentara Allah’ ini tidak datang menjemput ke rumah-rumah?
Tempo menyebut bahwa pemerintah terlihat mulai gelagapan setelah sebelumnya menganggap enteng dan remeh—‘cara pemerintah menangani wabah Covid-19 membuat publik panik. Koordinasi Presiden Joko Widodo dan menteri kesehatan Terawan belepotan” tulis Tempo pedas. Bukan hanya negara, ormas sekelas Muhammadiyah dan NU pun juga ikut gelagapan mau bertindak apa.
Sebut saja isu tentang salah satu menteri yang diserang ‘tentara Allah—virus korona’ telah membuat istana luluh lantak, tergagap corona, tak urung semua menteri harus chek up dengan efek takut yang tidak sedikit.
Bukan hanya istana. Korona efek juga telah membuat masyarakat secara personal atau berkelompok membuat banyak kebijakan prematur karena ada sebagian masyarakat yang paranoid dan sebar berita untuk membuat panik, takut dan resah massal. Panik massal ini yang menurut saya jauh lebih dahsyat dibanding daya rusak virus korona.
Sekolah diliburkan. Ibadah di masjid, gereja, pure, vihara ditiadakan. Hampir serempak masjidpun sepi. Adzan diubah. Orang takut jumatan. Pengajian, halaqah bahkan arisan ibu ibu PKK terancam diliburkan. Layanan publik ada yang dihentikan entah sampai kapan. Apakah ini namanya bukan chaos?
Tidak pernah diketahui mana menjadi sebab—- apakah daya lesak virus korona sebagai penyebab mati atau berita bombastis yang dibuat agar masyarakat takut dan panik. Jika yang pertama menjadi sebab maka orang mati karena virus korona ini tak sebesar virus Mars lima tahun lalu. Tapi jika sebaran takut dan panik yang menjadi tujuan maka sudah terbukti. Panik dan takut melahirkan keresahan massal penyebab chaos.
Masyarakat pun terbelah. Ada yang sangat takut kemudian bertindak irasional, ada yang menganggap remeh tiada sama sekali dan ada yang rasional berpikir dan bertindak. Tapi siapa bisa memilah dalam konteks sosial yang urap dan terus berubah.
Pemenangnya biasanya yang berperilaku irasional—lantas mendorong masyarakat mengambil tindakan gegabah dan emosional—ada sebagian yang mencoba memainkan suasana kebatinan masyarakat untuk panik. Maka lahirlah suasana takut berlebih— kecemasan massal dan ketakutan.
Libur sekolah bukan solusi. Ibadat di rumah juga bukan cara baik. Kalau diniati hanya sekedar menghindar dari kerumunan dan silaturrahim. Ironisnya tempat rekreasi malah macet. Mall, pasar dan Plaza tetap ramai pengunjung. Di kampungku, Yu Satukah, Mbok Mi, Cak Jum dan Kang Supingi malah belum dengar isu virus korona, jadi ia masih rajin adzan, shalat jamaah dan menggenggam erat tangan saat salaman.
Kita bisa belajar dari Kang Supingi jebolan sekolah rakyat generasi ‘sabak dan grib’ yang sumeleh tidak gampang panik—syaratnya cuman satu: tak banyak tahu. Sebab banyak tahu bisa berbalik menjadi kutukan—gampang panik dan stres kata Bhisma sesaat sebelum berangkat ke Padhang Kurusetra.