Belum lama ini saya menerima tamu asal Sumenep, Madura. Namanya Akhmad Fauzi. Salah seorang peserta Sekolah Kebudayaan dan Kemanusiaan Ahmad Syafii Maarif (SKK ASM) gelombang III yang berasal dari Pulau Garam.
Semangat belajarnya sungguh luar biasa. Bisa dilihat saat dia mengikuti short-course selama seminggu lamanya di Sawangan, Depok. Hampir di setiap sesi ia aktif bertanya. Bacaannya juga kuat. Keingintahuannya begitu besar.
Terlebih saat bertemu Kyai Abdul Moqsith Ghazali–yang sama-sama dari Madura–saat menjadi narasumber di acara SKK. Serasa pertemuan antara santri dan Kyainya. Keduanya belum pernah bertemu, tapi anehnya langsung akrab. Rupanya ikatan primordialitas kedaerahan begitu sangat kuat.
Sejak awal, saya melihat semangatnya begitu besar untuk bisa mengikuti kegiatan SKK. Anda bayangkan, jarak tempuh dari desa kelahirannya, Masa Lima, (Kecamatan Masa Lembu) ke kota Sumenep, memakan waktu kurang lebih 13 jam naik kapal, yang menurut pengakuannya hanya beroperasi dua kali saja dalam seminggu.
Dari kota Sumenep ke Surabaya memakan waktu 5 jam. Cukup jauh dan melelahkan, tentunya. Namun, bagi Fauzi, itu tidak ada artinya sama sekali dibanding tekad kuatnya untuk bisa mengikuti kegiatan SKK.
MAARIF mengambil kebijakan agar ia diberikan tiket pesawat dari Surabaya – Jakarta, mengingat esok harinya, ia harus mengikuti tes wawancara di kantor MAARIF. Sehingga sampai Jakarta, ia bisa beristirahat dengan cukup. Begitu pertimbangan kami.
Tinggal beberapa hari pasca short-course, Fauzi memanfaatkan waktu dengan sebaik mungkin untuk mengunjungi senior seniornya yang aktif di PMII, dan juga teman temannya yang sedang menempuh pendidikan di Jakarta.
Meskipun baru pertama kalinya ke Jakarta, dia cukup berani bepergian sendiri mencari alamat teman temannya—termasuk inisiatifnya mengunjungi rumah saya di Parung, Bogor. Kemarin dia saya ajak bergabung bersama rombongan Caknurian, Gusdurian, Cahaya Guru, ANBTI, untuk hadir dalam perayaan misa Natal bersama teman teman Kristiani di gereja Katedral. “Ini pengalaman saya pertama kali masuk Gereja. Apa kata teman teman saya jika mereka mengetahui saya berada di sini?”, katanya.
Dia suka sekali dengan pemikiran Cak Nur, Gus Dur dan Buya Syafii Maarif, utamanya tentang isu isu kebangsaan, keislaman, dan kemanusiaan. Karena itu, saat dia ke rumah, saya memberinya beberapa buku–yang kebetulan kembar–tentang pemikiran Cak Nur, Buya Syafii, dan sejumlah buku lain tentang isu isu pendidikan dan pluralisme. Dia sangat senang dan berjanji akan membacanya di rumah.
Saat pulang ke Sumenep, dia berangkat dari Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta. Kepadanya saya beri nasehat. Hidup ini laksana angin, air dan api. Jangan terlalu percaya pada angin, sebab ia bisa menyesatkan kamu dari jalan pulang. Pun, jangan mengutuk api, karena panas yang ditimbulkannya. Dan, jangan berlebihan pada air sebab ia bisa membawamu ke badai besar.
Perlakukan ketiganya sebagaimana kamu menaruh kepercayaan pada kekuatan tubuhmu, pikirmu dan hatimu. Tubuhmu adalah api, pikirmu adalah angin, dan hatimu adalah air. Artinya apa?
Hidup itu perlu keseimbangan dalam melihat segala sesuatu. Pilihlah jalan hidup yang kamu yakini benar. Perjuangkan pilihanmu dan jangan menyerah oleh suatu keadaan–apapun itu. Jangan ragu ragu mengambil keputusan sebab keragu-raguan akan membawamu pada kerapuhan.
Sampai jumpa lagi, Akh Fauzi. Semoga di suatu hari nanti kita bisa bertemu kembali.