Rabu, April 24, 2024

Takhayul Politik di Tengah Bencana

Rijal Mumazziq
Rijal Mumazziq
Rektor Institut Agama Islam Al Falah Assuniyyah.

Kalau ada saudara, tetangga, maupun sahabat yang tertimpa musibah bencana alam, setidaknya kita ikut berbelasungkawa lalu membantu semampunya, bukan malah mengkaitkan dengan ini-itu, politik A-B-C, ulah ini-itu. Menjaga mulut kita, jemari kita, agar tidak asal njeplak biar tidak melukai perasaan korban itu lebih bijak.

Ketika Tsunami melanda Aceh, Desember 2004, banyak simpatisan politik yang mengkaitkannya dengan Susilo Bambang Yudhoyono. Maksudnya, mereka menghubungkan peristiwa dahsyat tersebut dengan SBY. Yudhoyono diplesetkan secara serius menjadi Nyudho Nyowo (bahasa Jawa) alias mengurangi nyawa. Ini konyol, tapi banyak yang mempercayai. Ini semacam takhayul politik modern di Indonesia, sebagaimana orang Amerika mempercayai jika keluarga Kennedy terkena kutukan turun-temurun.

Kini dalam peristiwa gempa bumi di Lombok, banyak yang mengkaitkannya dengan pilihan politik Tuan Guru Bajang (TGB). Dari pendukung Prabowo ke pro-Jokowi. Akibat pilihan politik ini, daerah yang dia pimpin diguncang gempa bumi. Dikutuk akibat mendukung rezim. Azab dari Allah untuk suporter penguasa yang disokong asing dan aseng. Ini takhayul politik kontemporer.

Aneh, memang, tapi banyak yang mengimani.

Dalam logika ini ada dua skema: kalau musibah menimpa kelompok mereka, maka disebut azab; jika menimpa kubu kita, maka disebut ujian dan cobaan. Dalam bahasa Zimbabwe purba, pola pikir ini disebut dengan istilah “nggapleki“.

Anda tahu, mereka yang berpikir seperti itu ternyata juga punya pola pikir aneh terkait tragedi lain.

Bom meledak, misalnya. Alih-alih berduka cita, mereka malah memungut teori konspirasi entah dari mana. Bahwa ini adalah bikinan A untuk menuai B, dan seterusnya. Anehnya, jika pola pikir mereka ini dipinjam untuk melihat permasalahan yang mereka alami, mereka bakal sewot dan marah. Coba, ketika mereka punya masalah dan ditimpa penyakit, katakan saja jika itu adalah azab dari Allah atas tindakan dia yang begini-begitu; yakinlah bahwa Anda akan bakal dijauhi.

Lagi, jika dia tertimpa masalah, kecelakaan mobil, misalnya, kita bilang jika pelakunya sengaja mencelakakan diri untuk mencairkan asuransi, bagaimana reaksinya? Jelas marah. Memang, adil sejak dalam pikiran, sebagaimana kata Rhoma Irama, eh Pramoedya, itu sulit. Yang mudah ya menyalahkan orang lain. Apa pun konteksnya.

Dari sini kita tahu, pada sebuah tragedi bukan hanya ada simpati dan empati, melainkan ada orang tolol yang tidak punya otak dan tidak punya hati, yang mengaitkannya dengan peristiwa politik. Bersikap simpatik dan berpikir jernih memang sulit, Kawanku.

Ada sebuah peristiwa menarik 14 abad silam. Ketika Ibrahim putra Rasulullah Muhammad wafat, tidak berselang lama ada gerhana matahari cincin. Kepercayaan Arab Jahiliyyah menilai peristiwa gerhana sebagai wujud dari kesedihan alam atas wafatnya orang besar. Namun, Rasulullah menepis. Kemangkatan Ibrahim putra beliau tidak ada kaitannya dengan gerhana matahari. Lantas beliau memerintahkan umat Islam untuk menunaikan salat gerhana.

Kawan, dari Rasulullah kita belajar: duka pun selalu menyisakan ruang untuk berpikir jernih dan proporsional. Jadi, hentikan tahayul politikmu, berdoalah dan bantulah saudara-saudara kita. Kalau tidak mau, tahanlah jemarimu agar tidak menulis sesuatu memperkeruh suasana duka ini. Tahanlah, kisanak!

Rijal Mumazziq
Rijal Mumazziq
Rektor Institut Agama Islam Al Falah Assuniyyah.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.