Jumat, April 26, 2024

Tak Mungkin Mengajarkan Kerbau Mengaum dan Menerkam

Kajitow Elkayeni
Kajitow Elkayeni
Novelis, esais

Di tengah langit yang sedang muram dan ambyar ini, tiba-tiba saja terdengar kabar, tuan muda Demokrat mencak-mencak. Awalnya dari status Denny Siregar yang menyindir serangan politik lewat anaknya. Jurus baper, salah satu warisan keluarga ini, akhirnya jadi andalan.

Denny Siregar bukan siapa-siapa. Saya tahu dia kenal banyak orang. Tapi tetap saja dia orang biasa. Rakyat pada umumnya. Menyerang Denny, seolah dia adalah lawan politik sepadan adalah kekeliruan. Demokrat menggali lubang kuburnya sendiri.

Jika mereka menganggap ini adalah peperangan, Demokrat tidak paham, perang yang mereka masuki ini tanpa ujung. Hasil yang akan mereka peroleh hanyalah kerugian dan kerugian.

Maklum saja, Demokrat adalah partai yang terancam bangkrut. Suara mereka terus merosot tajam. Besar kemungkinan pada pemilu mendatang, partai itu akan tereliminasi. Jika tak cepat dilakukan langkah penyelamatan.

Maka Demokrat sedang melakukan segala daya upaya. Mereka seperti kerbau yang sedang terperosok dalam lumpur. Menyerang Denny hanya langkah tambahan. Karena mereka tak bisa membidik Jokowi. Tak ada rotan akar pun jadi.

Taktik Demokrat sebenarnya boleh juga. Membelokkan serangan. Denny tak mungkin dihajar dengan menggunakan peluru partai. Sebesar apapun jaringan Demokrat. Mereka kalah melawan warga sipil.

Nama mereka akan tercemar. Meskipun sebelumnya juga tak bersih-bersih amat. Oleh sebab itu ditempuh cara lain, tuduhan cyber bullying.

Almira dijadikan seolah-olah korban. Sekarang posisi hendak dibalik, bukan partai lawan rakyat sipil, tapi orang dewasa versus seorang bocah.

Apakah ini akan berhasil?

Tentu tidak. Rencana ini telah gagal sejak dalam pikiran. Saya tidak tahu siapa konsultan Demokrat. Tetapi dalam hal ini, mereka bodoh sekali.

Atau jangan-jangan ini gagasan dari kepala bau kencur AHY sendiri? Kalau benar malah saya maklumi.

Secara jelas terlihat, Demokrat justru memperalat seorang bocah untuk masuk kubangan politik. Karenanya pesan politik yang dilesatkan bocah itu: lockdown.

Ada jutaan tema, tapi dia memilih tema politik.

Ini bukanlah gagasan di tempurung kepala gadis kecil biasa. Tapi cuci otak dan penyelewengan. Mungkin tidak dilakukan secara langsung. Awalnya bisa melalui gagasan sederhana. Memberikan gambaran tanpa pilihan.

Akhirnya, bocah yang lazimnya polos dan berpikir merdeka, menjadi terbebani oleh pesan-pesan politik orang tuanya.

Hal ini, jika memang karena alasan tugas sekolah, sebenarnya bisa dicegah. Orang tua harus menyelamatkan anaknya agar tidak jadi zombie politik. Meskipun kakek dan bapaknya anti kebijakan Pemerintah, gadis kecil itu jangan dilibatkan.

Oleh sebab itu pembicaraan tentang politik harus dihindarkan dari telinganya. Tapi agaknya bukan itu tujuan orang tua bocah ini. Mereka dengan sengaja telah membentuknya sedini mungkin. Menjadi zombie politik.

Melihat AHY hari ini mengingatkan kita pada Raffi Ahmad saat berpacaran dengan Yuni Shara. Raffi jelas jauh lebih muda. Untuk itu ia mengubah penampilannya. Memelihara jenggot dan kumis. Ia ingin terlihat dewasa. Atau setidaknya tampak pantas bersanding dengan pasangannya.

AHY dalam kondisi kejiwaan yang sama. Ia masih muda. Terlalu muda. Kemudi partai sudah diserahkan kepadanya. Padahal ia tak punya pengalaman yang cukup.

SBY, bapaknya, telah kehabisan waktu. Tampuk kekuasaan harus secepatnya diwariskan. Ia tahu anaknya belum siap. Hanya anak bawang dalam belantara politik. Belum apa-apa.

AHY juga sadar hal itu. Maka untuk menggenjot wibawanya, ia mengubah penampilan. Persis yang dilakukan Raffi dulu.

Mungkin ia berpikir, kedewasaan akan datang dari tampilan luar. Dari jenggot dan kumis yang dipanjangkan. Atau dari tindakan yang ditegas-tegaskan. Seperti upaya untuk memenjarakan Denny Siregar ini.

Tapi justru yang dia dapat adalah gelak tawa. Orang-orang hanya akan melihatnya sebagai seorang bocah yang kehilangan mainan. Mengamuk, merajuk, dan menjerit sejadi-jadinya.

Tak mungkin mengajarkan kerbau mengaum dan menerkam. Karena potensi kerbau bukan pada suara dan cakarnya. Tapi kekuatan otot dan daya tahan tubuhnya.

Sepertinya Demokrat tak paham filosofi ini. Mereka memaksakan tuan muda mengaum dan mencakar membabi-buta. Hasilnya lelucon. Bukan takut, khalayak malah tertawa.

Apa yang terjadi dengan Raffi, begitulah AHY hari ini. Sebagai laki-laki, saya memahami sikap inferior mereka. Meskipun tetap saja, saya ingin tertawa jika mengingatnya.

Kajitow Elkayeni
Kajitow Elkayeni
Novelis, esais
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.