Makassar, MANDHANINEWS — Setelah Mahasiswa Makassar melakukan penolakan dan kericuhan terkait film Dilan 1991, para mahasiswa ini akan melakukan kudeta terhadap film tersebut di bioskop-bioskop kota Makassar.
Niat itu disampaikan dalam konfrensi pers Aliansi Mahasiswaan Peduli Pendidikang di Liquid Club, Hotel Clarion, Sabtu dini hari (2/3).
“Kami akan melakukan kudeta terhadap orang-orang yang terlibat pemutaran film Dilan 1991, seperti adegan di G30SPKI,” tutur Baco selaku ketua Aliansi tersebut sembari diiringi musik oleh DJ.
Mereka bertutur akan melakukan penculikan terhadap orang-orang yang terlibat dalam pembuatan film ini. Mulai dari Iqbal Ramadhan, sang penulis Pidi Baiq, sang sutradara Fajar Nugros, hingga mbak-mbak yang menjual tiket dan menjaga pintu studio sekuel film Dilan 1990 ini.
“Akan kami bilang, ‘Makassar itu merah, Dilang, seperti jersey PSM (Pesatuan Sepakbola Makassar)’, lalu kita sayat bersama-sama,” tuturnya setelah menenggak sebotol whiskey.
Menurutnya, film ini sangat jauh dari nilai kearifan lokal Bugis-Makassar. Juga dapat berbahaya bagi warisan budaya di Bugis-Makassar.
“Di film Dilang, tidak ada adegan berartung pakai badik dan sitobo lalang lipa‘ (pertarungan dalam sarung khas Bugis-Makassar). Harusnya Dilang sama gurunya seperti itu, itu baru laki dan jantan,” lanjut Baco sembari mengangkat sebotol whiskey yang sisa seperempat itu.
Selain dari itu, aliansi lintas mahasiswa Makassar ini sepakat untuk memberi tiada batasan umur untuk film Foxtrot Six dan The Night Comes for Us. Film aksi yang menunjukkan kekerasan dan kesadisan itu menurutnya bagus untuk anak-anak.
“Karena ini akan bagus untuk pembinaan karakter usia dini, utamanya untuk anak SD,” tutur mahasiswa semester 20 Universitas Hampir Swasta Makassar (Uhamsam).
Menurutnya anak-anak harus dibiasakan terhadap kekerasan, agar mereka dapat terbiasa dengan lingkungan yang keras di Indonesia.
Dalam acara yang dilangsungkan hingga subuh itu, dia mengatakan pihaknya akan mendukung remake film G30SPKI.
Setelah melakukan kudeta terhadap film Dilan 1991, Baco menuturkan pihaknya akan melakukan sweeping terhadap buku-buku yang melecehkan nilai dan budaya Bugis-Makassar.
Dalam rilisan yang diterima oleh Bombonews, terlihat beberapa penelitian di sejumlah institusi pendidikan. Juga terlihat beberapa buku, seperti, Latoa karya antropolog begawan Prof. Mattulada, Manusia Bugis karya peneliti senior Christian Pelras, Semesta Manusia karya budayawan Nirwan A. Arsuka, dan La Galigo.
“Buku-buku itu mengajarkan bahwa masyarakat Bugis-Makassar itu bersifat terbuka, intelektual, dan ramah. Padahal dari kata ‘kasar’ di ‘Makassar’, sudah jelas bahwa orang Bugis-Makassar itu primitif,” lanjutnya.
Dia juga menuturkan bahwa epik La Galigo—epik mitos tentang penciptaan dari Bugis Makassar, karya yang diduga sebelum Mahabarata— sudah tidak orisinil dan adalah rekaan semata. Menurutnya, La Galigo adalah buatan asing, untuk menghancurkan peradaban Bugis-Makassar.
“Kalau La Galigo itu asli, harusnya ada PDF dan ebooknya, toh,” paparnya menahan tubuhnya yang oleng.
Kontroversi Budaya Bugis-Makassar
Perdebatan mengenai budaya Bugis-Makassar, memantik pendapat ahli. Salah satunya Pakar Sejarah Kotoran Manusia, Prof. Andi Tipu-Tipu. Saat ditemui oleh Bombonews di kediamannya Minggu (3/3), dia menuturkan bahwa banyak kebohongan yang dihembuskan mengenai budaya Bugis-Makassar.
“Mattulada, Pelras, dan Nirwan A. Arsuka adalah pembohong besar,” tegasnya.
Menurutnya budaya Bugis-Makassar memang selalu terikat dengan kericuhan dan kekacauaan. Dia juga melanjutkan bahwa gambaran soal asal muasal terma ‘Makassar’ dari mangkasarak sebagai masyarakat yang ramah dan terbuka adalah penistaan terhadap akal sehat.
Turut juga dia menentang mitos terhadap Karaeng Pattingalloang, intelektual dan perdana menteri Makassar, dan ketenaran Makassar sebagai bandar terbesar di abad ke-17
“Semua itu adalah hoax. Makassar sudah jelas berasal dari kata ‘kasar’. Saya kira itu sudah terbukti sekarang kan, kalau demo di Makassar pasti keos,” lanjut guru besar Uhamsam ini.
Dia menyebutkan gerakan-gerakan literasi seperti yang dilakukan oleh banyak komunitas-komunitas ataupun festival sastra di Makassar, justru akan melemahkan nilai budaya Bugis-Makassar itu sendiri.
“Buat apa itu gerakan literasi, itu yang bikin gerakan mahasiswa melemah. Karena jadinya, mereka lebih melatih otak ketimbang otot,” ujar Tipu.
Lanjutnya, Tipu melanjutkan bahwa Budaya Makassar yang sebenarnya dapat dilihat dari sikap tawuran, bakar ban, tutup jalan, hingga uang panaik yang tinggi (semacam mahar dalam tradisi Bugis-Makassar).
Dia mendukung framing media tentang mahasiswa Makassar yang gemar tawuran dan primitif.
“Framing media terkait mahasiswa yang gemar ricuh itu baik, utamanya untuk kebugaran tubuh, apalagi Pak JK (Jusuf Kalla) sepakat ji juga toh,” lanjutnya.
Untuk itu, dia menyarankan agar budaya Bugis-Makassar ini segera dilestarikan dan masuk dalam cagar budaya baik nasional ataupun internasional.
“Di mana lagi dapat mahasiswa yang lebih suka tutup jalan dan demo dibandingkan baca buku? Saya kira berkat kegiatan bermanfaat para mahasiswa itu, prestasi minat baca rendah dan tidak masuk Indeks Kota Cerdas Indonesia (IKCI) 2018 dapat diraih. Itu cukup baik untuk masyarakat primitif,” tutur Tipu.
Selanjutnya, menurut ketua pakar kotoran se-Indonesia ini, visi-misi terkait Walikota Makassar, Danny Pomanto terkait Makassar kota dunia adalah omong kosong.
“Makassar tidak butuh jadi kota dunia, Makassar cuma butuh ruang yang lebih banyak untuk tawuran dan bakar ban,” ujarnya.
Dia kemudian sepakat mendukung gerakan penolakan film Dilan 1991 dilarang diputar di Makassar. Menurutnya itu berbahaya penolakan dari mahasiswa dan dapat berefek pada pengrusakan bioskop-bioskop dan fasilitas umum lainnya.
“Lebih baik tidak usah putar itu film. Maumi diapa? (Mau bagaimana lagi?),” tutupnya.