RCTI menggugat fasilitas siaran yang menjadi banyak fitur sosial media (Youtube, Facebook, Instagram dll). Gugatan mungkin akibat penurunan rating TV dan naiknya rating siaran dalam sosial media. Mungkin juga akibat para artis yang mulai mandiri dengan chanel Youtube mereka masing-masing.
Stasiun televisi memang menghadapi persoalan serius. Ia ditinggalkan oleh para aktor dan sekaligus penontonnya. Sehingga biaya yang mahal atas perangkat (software/hardware) industri televisi yang gemuk dan monopolitik, terasa lebih nyata. Semua dimulai dari Ponsel.
Perkembangan ponsel pintar menyebabkan semua orang kini memiliki kamera. Dengan kamera semua orang bisa berfoto dan merekam video. Tengok lima puluh tahun yang lalu, berfoto adalah kegiatan yang cukup mewah. Saat itu memfoto dan merekam video adalah pekerjaan Profesional.
Perkembangan teknologi memang makin cepat. Oleh karena bagian dari “revolusi industri”. Teknologi industri awal dimulai dari perubahan tenaga manusia ke mesin mekanik, selanjutnya elektrisiti, komputerisasi dan digitalisasi. Saya menghindari pemakaian angka 4.0 karena popularitas dua angka satu titik ini melebihi fungsinya.
Namun perubahan-perubahan ini tidak begitu saja mudah diterima. Misal, orang-orang yang berjibaku mempelajari kamera analog kehilangan banyak pekerjaan oleh generasi baru yang lebih mahir menggunakan kamera digital (kecuali mereka segera bermigrasi mempelajari kamera digital). Generasi kamera digital ini telah mampu menghasilkan foto yang lebih baik dari generasi sebelumnya. Dari soal perlengkapan alat hingga keragaman editing.
Ketika para veteran fotografi ini protes—mereka perlu diingatkan—150 tahun yang lalu saat fotografi ditemukan dan potret manusia pertama kali dicetak menghasilkan gambar denotatif sempurna tanpa cela (Barthes), seorang seniman lukis wajah menulis dalam sebuah koran berjudul: “Hari ini Lukisan Telah Mati.”
Inilah kenyataan yang dihadapi setiap pekerjaan yang lahir dari perkembangan teknologi. Mereka akan segera menganggur dan tersinggir jika tidak segera melakukan migrasi teknologi. Contoh lainnya adalah tutupnya banyak divisi majalah dan koran cetak. Sebab semua pembaca telah bermigrasi ke media online.
Hal tersebut juga terjadi dalam televisi. Basis utama tv adalah video siaran. Artinya suara dan gambar bergerak yang ditayangkan secara langsung (maupun tidak). Semua bisa berlangsung melalui proses yang tidak sederhana dari antena, pemancar, dan layar yang bisa menyusun warna untuk menimbulkan ilusi sebuah realita yang bergerak. Betapa cepatnya perkembangan teknologi bahwa proses yang rumit ini disederhanakan oleh ponsel tipis.
Gambar bergerak (video) sebenarnya juga generas baru di awal abad ke 20. Televisi adalah segalanya saat itu. Bahkan para filsuf tahun 1960an fokus pada kajian media yang menjadikan televisi sebagai konteks. Sebuah lagu berjudul “Video Kill the Radio Star” menunjukan bagaimana video yang menjadi basis utama Televisi membunuh banyak pekerjaan yang dilahirkan radio.
Apa dengan demikian industri radio mati?
Awalnya iya. Tapi industri otomotif (radio mobil) menyebabkan Radio bisa bertahan. Radio tetap memiliki pelanggan setia; mereka yang berlama-lama di jalan raya. Apalagi ditopang oleh Industri otomotif yang terus melaju melebihi kapasitas kota-kota di negara dunia ketiga. Radio terselamatkan.
Bukan tanpa usaha Radio bisa bertahan. Langkah awalnya adalah beradaptasi dengan dunia digital. Mereka membuka kemungkinan streaming dengan memanfaatkan sinyal internet. Stasiun radio pun mulai membuka lapak di berbagai playstore. Setelah itu muncul podcast, anchor dan lain-lain.
Berbeda dengan nasib Televisi. Menjelang awal tahun 2020, selebriti yang bermigrasi ke Chanel Youtube mencapai puncaknya. Bahkan hal ini dikeluhkan para Youtuber dengan ancaman minggat palsu (ini sering terjadi bahwa mereka mengglorifikasi tutup akun padahal “tutup akun itu sendiri adalah kelanjutan konten.”). Beberapa diantara Youtuber bahkan merasa cukup lebih berkualitas dibandingkan selebriti TV yang membuat konten “receh.”
Inilah kesalahan Youtuber yang menganggap bahwa mereka berbeda dengan selebriti TV. Pada dasarnya, sebagai aktor panggung hiburan mereka tidaklah berbeda. Masalah utamanya, seringkali para pekerja ini menganggap pekerjaan mereka memiliki prinsip fundamental yang harus terus dipertahankan. Seolah-olah ada indikator bahwa mereka suci sedangkan saingan barunya penuh dosa (Ingat Awkarin).
Fundamentalisme semacam ini terjadi juga bagi pelaku bisnis. Mereka menganggap bisnis yang mereka jalankan, terutama cara kerjanya, akan terus seperti itu. Hal ini kemudian menjadi semacam ideologi. Repotnya, monopoli dan keistimewaan yang mereka dapatkan dianggap sebagai salah satu hasil kompetisi “persaingan bebas.”
Ini kontradiksi utama dari fundamentalisme pasar. Mereka menyebarkan harapan bahwa persaingan pasar harus terjadi dimanapun—bahkan pelosok suku pedalaman—sambil memonopoli pasar yang diatur dengan cara menyinggirkan semua kompetitor.
Cara kerja ekonomi seperti ini tampak kuat, canggih dan melesat. Sampai akhir tahun 2019 Corona menghadang ekonomi global, terjadi desentralisasi besar-besaran siaran langsung sehingga siaran televisi yang berbiaya tinggi dan tidak efesien ini lebih cepat tumbang dari perkiraan.
Sebelum menggugat perubahan zaman, alangkah eloknya RCTI menengok Radio, mesin tik, koran dan kotak pos. Mereka telah ada mewarnai hidup manusia dengan sehormat-hormatnya.
Lagi pula RCTI mesti ingat, soal moral; mengulang tiap hari lagu mars sebuah partai politik dan terhafal tidak sengaja anak Indonesia adalah dosa besar yang hanya menyakinkan publik bahwa teknologi tua dan ambisius ini sudah saatnya digantikan. Atau mereka,_kata Soekarno, _akan diseret oleh sejarah.