Dari sudut usia sejujurnya saya masih terbilang muda untuk memasuki jenjang pernikahan. Usia saya belum genap 25 tahun. Pekerjaan tetap belum punya. Masa pembelajaran formal juga belum terbilang tuntas.
Namun, ketika berjumpa dengan teman-teman yang sudah menikah, beberapa di antara mereka kadang suka bertanya: Kapan mau nyusul? Kapan mau nikah? Kapan mau melengkapi separuh agama? Dan pertanyaan-pertanyaan sejenisnya. Masing-masing orang biasanya saya jawab dengan jawaban yang berbeda-beda.
Tapi, betapapun beragamnya jawaban itu, satu hal yang perlu kita amini bersama ialah: pertanyaan yang diawali dengan kata kapan itu sudah pasti menanyakan tentang waktu dan keberwaktuan. Dengan ungkapan lain, pertanyaan tersebut hendak meminta penjelasan tentang penisbatan sesuatu kepada waktu.
Dan dari situ muncullah kategori “keberwaktuan” yang oleh para filsuf paripatetik dimasukkan kedalam salah satu dari kategori yang sepuluh (maqûlât ‘asyrah/ten categories).
Hakikat waktu itu sendiri masih diperselisihkan oleh para pakar. Bahkan, soal keberadaan waktu itu sendiri mereka masih berbeda pendapat. Apakah waktu itu benar-benar ada atau dia hanya sekedar ilusi belaka.
Dalam pandangan para teolog (mutakallimûn), waktu itu diartikan sebagai “mutajaddidun ma’lûm, yuqaddaru bihi mutajaddidun mauhûm” (suatu hal baru yang diketahui, yang dengannya sesuatu yang lain, yang masih samar, itu bisa ditentukan).
Lebih jelasnya, para teolog memandang waktu itu sebagai sebuah ilusi, atau makna ilusif yang dihasilkan dari pengamatan kita atas kejadian-kejadian, atau peristiwa-peristiwa tertentu. Tapi bukan kejadian/peristiwa itu sendiri.
Dalam contoh tersebut, misalnya, pernikahan saya adalah sesuatu yang masih samar. Ketika ada pertanyaan kapan saya akan menikah? Maka, untuk menjelaskan hal yang masih samar itu, saya menyertakan keterangan lain yang sudah diketahui (ma’lûm) oleh mitra bicara.
Misalnya saya katakan bahwa “saya akan menikah tahun depan ketika saya lulus S2”. Kesamaran pernikahan saya dijelaskan oleh kelulusan S2. Lalu mana yang disebut waktu? Yang disebut waktu bukan kejadiannya, juga bukan hubungan antara kejadiannya, melainkan makna ilusif yang ditangkap dari keberiringan dua kejadian itu.
Frase “tahun depan ketika saya lulus S2” itu menunjukan makna waktu. Dia disertakan untuk menjelaskan dan menentukan sesuatu yang masih samar tadi. Dan itulah yang dimaksud dengan waktu. Ini satu definisi yang diamini secara luas oleh para teolog Asy’arian (Asyâirah), di samping definisi para filsuf yang pernah saya singgung dalam tulisan yang lalu.
Contoh lain: Kapan kamu diputusin sama pacar kamu? Jelas, pertanyaan tersebut juga bertujuan untuk meminta penjelasan terkait suatu hal yang masih samar. Lalu, misalnya, Anda menjawab: Saya diputusin kemarin malam ketika sedang makan di restoran.
Penyertaan kata “kemarin malam…” dalam pernyataan tersebut berfungsi sebagai penjelas dan penentu atas hal yang masih samar tadi, yang dalam hal ini adalah terputusnya hubungan Anda dengan pacar.
Terputusnya hubungan Anda masih samar, lalu diperjelas dengan ungkapan “kemarin malam ketika sedang makan bareng.” Setelah itu nalar kita menangkap suatu makna dari keberiringan/keberurutan dua kejadian itu. Dan itulah yang disebut dengan waktu.
Jadi, dalam pandangan para teolog, waktu itu sebenarnya hanyalah ilusi, atau makna ilusif, yang ditangkap oleh nalar dari pengamatan kita atas keberiringan atau keberurutan antara kejadian-kejadian.
Karena itu, dalam pandangan mereka, waktu itu tidak ada wujud eksternalnya. Dia hanya sekedar makna yang ditangkap oleh nalar manusia. Apakah di alam luar ada sesuatu yang bernama waktu atau tidak? Mereka akan menjawab tidak ada. Waktu itu hanya amrun ‘itibâri saja.
Apakah definisi ini bisa kita setujui atau tidak, kita tidak akan mendiskusikannya di ruangan yang sempit ini. Poin utama yang hendak saya tekankan ialah: pertanyaan yang diawali oleh kata kapan (matâ/when) ialah pertanyaan yang hendak menanyakan keberwaktuan, atau penisbatan sesuatu kepada waktu. Ini satu hal yang perlu kita pahami dengan baik.
Nah, karena pertanyaan tersebut hendak menanyakan keberwaktuan, maka konsekuensinya kita tidak bisa menanyakan sesuatu yang tak berwaktu dengan menggunakan kata kapan.
Pertanyaannya: Tuhan berwaktu atau tidak? Kalau Anda menjawab iya, berarti Tuhan Anda baru ada dengan adanya waktu. Tuhan yang Anda yakini itu pasti memiliki permulaan. Kalau dia memiliki permulaan, berarti dia disebabkan oleh sesuatu yang lain. Kalau dia disebabkan oleh sesuatu yang lain, berarti dia bergantung pada sesuatu yang lain itu. Kalau dia sudah bergantung pada sesuatu yang lain, apakah ketika itu kita layak menyebut dia sebagai Tuhan?
Ketergantungan itu merupakan tanda akan adanya kebutuhan. Kalau sesuatu sudah butuh, tidak mungkin kita menyebutnya sebagai Tuhan. Karena ketuhanan meniscayakan ketak-tergantungan. Yang butuh itu makhluk, bukan khaliq. Yang butuh itu lemah, sementara Tuhan tidak mungkin kita yakini sebagai sesuatu yang lemah.
Kalau Tuhan lemah, apa gunanya kita meyakini Dia sebagai pengatur utama di balik keberlangsungan jagad raya? Karena itu, logika yang sehat akan berkata dengan tegas bahwa Tuhan bukanlah sesuatu yang berwaktu.
Tetapi kapan Dia ada? Pertanyaan ini mengemuka karena nalar kita sudah kadung terkurung dalam pengalaman-pengalaman inderawi. Kita terbiasa mengajukan pertanyaan tersebut, karena segala sesuatu yang ada di sekeliling kita semuanya terikat dengan waktu.
Tidak ada makhluk yang terbebas dari kategori waktu. Semuanya berwaktu. Sehingga kita terbiasa menggunakan kata kapan untuk menanyakan keberwaktuan sesuatu yang hendak kita tanyakan itu.
Namun, kalau kita punya keyakinan bahwa Tuhan berbeda dengan makhluk—dan kita memang harus meyakini itu sebagai salah satu keyakinan mendasar dalam Agama kita—tidak akan sulit bagi kita untuk menerima penjelasan di atas. Makhluk itu berbeda dengan Sang Khaliq. Di antara perbedaannya, makhluk itu berwaktu, sementara Tuhan terbebas dari waktu.
Dalam kehidupan sehari-sehari kita mengenal masa lalu, masa sekarang, dan masa yang akan datang. Bagi Tuhan ya jelas hal itu tidak berlaku. Karena Dia tak terikat dengan waktu, seperti halnya kita. Intinya, yang berwaktu itu hanyalah makhluk. Sementara ketak-berwaktuan hanya dimiliki oleh Sang Khaliq.
Sebagai konsekuensi dari keyakinan tersebut, maka Tuhan tidak mungkin memiliki permulaan. Karena itu Tuhan sering disebut sebagai Dzat yang qadîm. Nama sifatnya qidam (ketak-berawalan). Ketika Allah dinyatakan qadîm, ungkapan tersebut mengandung makna bahwa Allah itu tidak memiliki permulaan.
Karena Dia tidak memiliki permulaan, maka Dia tidak berwaktu. Dan kalau kita mempercayai Tuhan sebagai sesuatu yang tak berwaktu, niscaya kita akan tersadar bahwa pertanyaan di atas adalah pertanyaan yang keliru. Demikian, wallâhu ‘alam bisshawâb.