Rabu, April 24, 2024

Waspada Gambar dan Video Hoax di Media Sosial

Hasanudin Abdurakhman
Hasanudin Abdurakhman
Penulis dan pekerja profesional.

Seeing is believing, kata pepatah. Artinya, melihat itu lebih meyakinkan. Satu gambar bisa mengalahkan seribu kata. Karena itu, banyak pihak memakai berbagai efek visual untuk meyakinkan orang banyak. Efek-efek visual bisa dibuat sedemikian rupa, membuat orang meyakini sesuatu. Padahal hal tersebut belum tentu benar.

Baru-baru ini polisi menangkap sekelompok penyebar hoax, yang membagikan video seolah mahasiswa bentrok keras dengan polisi, karena menuntut Presiden Jokowi mundur. Apa isi videonya? Isinya adalah “bentrok” keras antara orang-orang dengan aparat kepolisian di depan gedung Mahkamah Konstitusi. Kalau kita melihat video ini, hanya sebatas videonya saja, kita tidak bisa menyimpulkan apa-apa. Karena itu harus disadari bahwa kandungan pesan sebenarnya tidak melulu pada gambar visual.

Dalam kasus di atas, narasi yang dilekatkan pada video itulah yang penting. Dalam video yang disebar tadi dibuat narasi bahwa bentrok itu terjadi antara mahasiswa yang berdemo menuntut Jokowi turun, dengan polisi. Padahal yang sebenarnya adalah itu video latihan penanganan demonstrasi yang dilakukan polisi di depan gedung MK.

Ada banyak contoh yang mendemonstrasikan bahwa gambar-gambar sebenarnya tidak begitu kuat meyakinkan orang tentang sesuatu. Narasi yang disertakan pada gambar-gambar itulah yang sangat menguatkan. Tapi, tanpa gambar narasi-narasi itu tentu saja tidak punya tenaga yang begitu kuat.

Waktu heboh soal telur palsu, beredar video yang menujukkan serangkaian kegiatan. Ada gambar yang menujukkan telur-telur dimasukkan ke mesin, lalu dipisahkan kuning dan putihnya. Lalu diikuti dengan gambar orang-orang mencetak sesuatu, yang hasil akhirnya berbentuk seperti telur ceplok. Video apakah ini? Tidak jelas. Tapi video ini diberi narasi bahwa inilah proses pembuatan telur palsu.

Benarkah itu proses pembuatan telur palsu? Bagian terakhir yang saya sebut tadi memang sepertinya proses pembuatan telur palsu, tapi bukan untuk dijual sebagai telur yang dikonsumsi. Itu adalah telur yang dipakai untuk pajangan, petunjuk menu di restoran. Sedangkan gambar di segmen sebelumnya adalah proses pemisahan putih dan kuning telur dalam industri makanan.

Kedua gambar yang tidak saling berhubungan ini dipakai untuk mengirimkan pesan palsu, bahwa ini adalah proses pembuatan telur palsu.

Contoh terakhir, tadi malam saya melihat video orang sedang salat, bacaannya dalam bahasa Indonesia. Video apa ini? Entahlah. Tapi narasinya, ini adalah ajaran kelompok Islam Nusantara. Keponakan saya melihat video ini berkomentar, “Kenapa aliran ini ada lagi? Ada apa dengan rezim sekarang? Rasanya ingin cepat-cepat ganti presiden.”

Apakah benar itu tentang Islam Nusantara? Tidak.

Islam Nusantara tidak membenarkan orang salat dalam bahasa Indonesia. Hanya narasi video itu saja yang membuat orang yakin bahwa itu Islam Nusantara. Lagi pula, apa yang terjadi di video itu sama sekali tidak berhubungan dengan pemerintah. Pemerintah tidak mempromosikan atau melindungi kelompok seperti itu. Jadi, menyalahkan pemerintah itu salah alamat.

Suka atau tidak, rasanya tak terlalu salah kalau saya katakan bahwa yang gampang tertipu oleh video-video semacam itu adalah kelompok-kelompok anti (pemerintah) Jokowi. Kelompok-kelompok ini memang mencari-cari “data” untuk menyalahkan Jokowi. “Data” yang mereka temukan adalah yang meyakinkan diri mereka, dan kelompok mereka.

Masalah utamanya ada pada confirmation bias. Mereka tidak mencari data untuk dipakai sebagai pertimbangan, dalam rangka membuat kesimpulan. Mereka sebenarnya hanya sedang mencari ilustrasi pembenar atas kesimpulan yang sudah mereka miliki. Dengan kata lain, mereka mencari sesuatu yang bisa dipakai untuk melakukan konfirmasi.

Pembuat video-video semacam itu tahu betul kekuatan narasi yang disertakan di gambar-gambar visual tadi. Ditambah lagi, mereka paham betul karakter orang-orang yang mengidap confirmation bias. Maka, video-video semacam itu laris beredar di berbagai platform media sosial.

Bagaimana menghindarkan diri agar tidak terjebak untuk cepat mempercayai narasi pada gambar-gambar yang kita lihat?

Pertama, lakukan proses pengecekan ulang. Dalam kasus video hoax demo di MK tadi, saya menemukan beberapa orang yang membagikan sambil bertanya, benarkah ini? Sebenarnya ia tidak perlu bertanya seperti itu. Dengan kata kunci “demo rusuh di MK” misalnya, ia bisa segera menemukan tautan berita, kalau kejadian itu nyata. Terlepas dari sesekali ada juga yang lalai, media-media utama tetap bisa dijadikan rujukan untuk memastikan. Kalau tidak ada beritanya di media utama, besar kemungkinan kejadian itu hoax.

Kedua, telitilah kandungan gambar. Foto-foto hasil penyuntingan biasanya sangat mudah dideteksi, kecuali penyuntingnya benar-benar ahli. Kalaupun sulit, kita bisa melakukan pencarian gambar, dan memastikan itu gambar hoax atau bukan.

Ketiga, tentu saja tidak ada jalan lain selain mendepankan nalar daripada kepercayaan. Seeing is believing adalah mantra yang menyesatkan. Kita diyakinakan untuk meyakini apa yang kita lihat. Kita tidak harus mempercayai apa yang kita lihat. Kita harus mencernanya dengan nalar, kemudian menilai apakah yang kita lihat itu sahih atau tidak.

Nalar setidaknya ditentukan oleh 2 komponen utama, yaitu kesahihan informasi masukan dan proses berpikir. Orang yang punya wawasan bagus punya sederet panjang informasi sahih dalam memorinya. Ketika mendapat informasi baru, ia akan membandingkannya dengan infomasi sahih yang sudah ia miliki. Ia bisa segera mendeteksi kalau ada keanehan.

Orang yang terbiasa mengalami confirmation bias tidak bisa membedakan informasi yang sahih dan yang tidak. Memorinya dipenuhi oleh hal-hal yang ia percayai. Ketika menerima informasi, mekanisme membandingkan tadi tidak berfungsi. Ia lebih cenderung mencari konfirmasi.

Alur logika adalah komponen penting lainnya. Dalam kasus telur palsu, misalnya, seharusnya secara nalar sulit untuk diterima kalau ada orang membuat telur palsu. Berapa harga telur? Bagaimana mungkin orang bisa membuat telur palsu dengan biaya yang lebih murah dari telur asli, lalu menjualnya untuk mengambil untung? Lagi pula, bagaimana mungkin telur itu bisa dimasak lalu dimakan?

Kuncinya pada akhirnya terletak pada si penerima informasi. Apakah ia mau mengeluarkan energi intelektual untuk memeriksa dan memastikan atau tidak. Poin terpentingnya sekali lagi, jangan gampang percaya pada apa yang Anda lihat. Seeing is not always believing.

Hasanudin Abdurakhman
Hasanudin Abdurakhman
Penulis dan pekerja profesional.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.