Sabtu, April 27, 2024

Saya Mendukung Prabowo Jadi Oposisi

Capres 02, Prabowo Subianto naik ke atas panggung beralas karpet berwarna merah di depan rumahnya, Jalan Kertanegara V, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, Rabu malam (17/4). Memakai setelan khasnya, pakaian safari berwarna cokelat dan peci hitam, ia didampingi sejumlah orang tim pemenangannya yang berdiri di samping dan belakangnya. Di antaranya Yusuf Martak, Salim Seggaf al-Jufri, Mustafa Kamal, dan Idrus Sambo.

Malam itu Prabowo menyampaikan pidato kemenangan di Pilpres 2019 yang telah rampung beberapa jam sebelumnya. “Ini kemenangan bagi rakyat Indonesia, seluruh rakyat indonesia, dan saya katakan di sini, saya akan jadi presiden seluruh rakyat Indonesia, dan bagi saudara sekalian yang membela 01, tetap kau akan saya bela,” pekiknya yang kemudian disambut teriakan “Prabowo presiden, Prabowo menang” dari para pendukungnya.

Prabowo menyatakan hasil real count pada 320 ribu yang dilakukan timnya dan telah diyakinkan ahli-ahli statistik menunjukkan dirinya dan Sandiaga Uno mendapatkan suara sebesar 62 persen. Mengalahkan pasangan Jokowi-Ma’ruf Amin yang mendapatkan suara sisanya. Ia meminta kepada para pendukungnya agar senantiasa mengawal suara tersebut sampai keluar keputusan resmi dari Komisi Pemilihan Umum (KPU).

“Allahu akbar. Allahu akbar. Allahu akbar,” teriak Prabowo mengakhiri pidato kemenangannya lantas melakukan sujud syukur bersama para timnya.
Adegan yang disiarkan secara langsung oleh seluruh stasiun televisi nasional ini kemudian menjadi olok-olok warganet. Ia dianggap mengulang adegan pada pilpres 2014 saat mengklaim kemenangan atas pasangan Jokowi-JK berdasarkan hasil hitung cepat lembaga survei internalnya yang berbeda dengan hasil hitung cepat lembaga survei publik. Hasil real count KPU setelahnya pun menyatakan pasangan Jokowi-JK sebagai pemenang dengan perolehan suara sebesar 53,15 persen. Sementara Prabowo dan pasangannya saat itu, Hatta Rajasa, hanya memperoleh suara sebesar 46,85 persen.

Kali ini, seluruh hasil hitung cepat lembaga-lembaga survei publik atas pilpres 2019 pun menyatakan Jokowi-Ma’ruf menang. Indikator Politik Indonesia menyatakan Jokowi-Ma’ruf mendapat 53,91 persen suara dan Prabowo-Sandiaga mendapat 46,09 persen suara. Saiful Mujani Research and Consultant (SMRC) menyatakan Jokowi-Ma’ruf mendapat 54,85 persen suara dan Prabowo-Sandiaga mendapat 45,15 persen suara. CSIS dan Cyrus menyatakan Jokowi-Ma’ruf mendapat 55,6 persen suara dan Prabowo-Sandiaga mendapat 44,4 persen suara. Charta Politica menyatakan Jokowi-Ma’ruf mendapat 54,31 persen suara dan Prabowo-Sandiaga mendapat 45,69 persen suara.

Sementara, sampai tulisan ini dibuat, hasil real count KPU berdasar data 21.153 TPS dari keseluruhan 813.350 TPS atau setara 2,60073 persen suara masuk menyatakan, Jokowi-Ma’ruf mendapat 2.206.564 suara atau 54,9 persen dan Prabowo-Sandiaga mendapat 1.812.407 suara atau 45,10 persen.

Harus Berani Jadi Oposisi
Belum jelas memang apakah klaim Prabowo atau hasil hitung cepat dari lembaga survei publik yang benar terkait hasil pilpres kali ini. Saya pun tak akan membahas soal itu. Biar yang paham ilmu statistika dan berwenang saja. Yang jelas, klaim dan penggalangan opini Prabowo bahwa petahana curang, lembaga survei publik bohong dan KPU tak netral telah membuat tensi politik meningkat serta mengindikasikannya enggan menjadi oposisi.

Hal yang terakhir itu bisa saya pahami. Mengingat semenjak mengikuti pemilu pada 2009 sampai sekarang, Prabowo tak pernah menang. Pada 2009, ia yang menjadi wakil Mewgawati kalah dari SBY-Boediono. Pada 2014 ia yang berpasangan dengan Hatta kalah dari Jokowi-JK. Sekarang, ia dan Sandiaga diambang kekalahan dari Jokowi-Ma’ruf.

Akan tetapi, sebagai seorang yang selalu mengaku pejuang demokrasi dan kepentingan rakyat, Prabowo seharusnya menyadari bahwa menjadi oposisi adalah jalan yang bisa diambil dalam mewujudkan perjuangannya.

Dalam mencapai konsolidasi demokrasi, kemunculan oposisi yang kuat merupakan keniscayaan. Sebab akan mampu membendung peluang kembalinya otoritarianisme akibat kekuatan pemerintah yang terlalu dominan. Kita sudah melihat sendiri bagaimana rezim Orde Baru dengan berbekal Golkar dan ABRI secara terus menerus melemahkan kekuatan oposisi, yakni PDI dan PPP.

Selama 32 tahun yang menjemukan itu, pelaksanaan pemerintahan hanya demi mewujudkan kepentingan segelintir orang saja, bukan keseluruhan rakyat. Meskipun rezim dalam kampanyenya selalu mengatakan segala kebijakannya berdasarkan kepentingan rakyat. Terbukti hanya segelintir orang yang bisa “sejahtera” di era itu. Sebaliknya, yang tak setuju dengan kebijakan rezim mesti rela berhadapan dengan kejamnya popor senapan dan dinginnya lantai penjara.

Bukan tak mungkin kenyataan semacam itu terulang kembali apabila setelah pemilu ini tak ada oposisi yang kuat. Sebab Jokowi-Ma’ruf yang berpeluang besar menjadi pemenang disokong lebih banyak partai dan sangat mungkin mengendalikan pemerintahan dengan kekuatan penuh di tingkat eksekutif dan legislatif.

Hari ini Prabowo memiliki semua instrumen menjadi oposisi yang baik dan kuat. Hasil hitung cepat seluruh lembaga survei publik menyatakan, partai-partai pendukungnya mendapatkan suara signifikan. Hasil versi Indobarometer, misalnya, Gerindra mendapat 13,45 persen suara, PKS mendapat 9,94 persen suara, Demokrat mendapat 7,46 persen suara, dan PAN mendapat 6,9 persen suara. Sedangkan di kubu Jokowi, PDIP gagal meraih 20 persen suara dan Hanura mesti tersingkir dari parlemen karena tak memenuhi ambang batas parlemen sebesar 4 persen.

Dengan sembilan partai yang lolos, lima di kubu Jokowi dan empat di kubu Prabowo, dan selisih suara yang tipis di antara mereka, besar kemungkinan pengambilan kebijakan di DPR akan berimbang. Otomatis pengawasan terhadap kinerja eksekutif yang menjadi salah satu fungsi DPR akan lebih efektif ketimbang periode-perode sebelumnya ketika partai koalisi pemerintah lebih dominan.

Sebenarnya banyak visi-misi Prabowo-Sandiaga yang bagus untuk rakyat. Seperti mencegah kebocoran uang negara dan pemerataan ekonomi bukan sekadar pemerataan pembangunan infrastruktur. Semua itu bisa tetap terwujud apabila Prabowo serius mengambil komando oposisi dan memperjuangkannya di parlemen.

Pembuatan undang-undang yang diskriminatif dan tak berpihak pada rakyat kecil bisa, serta pembuatan anggaran yang berpeluang menambah kebocoran uang negara bisa dicegah dengan kekuatan mereka. Sebaliknya, undang-undang yang sesuai dengan visi-misi mereka bisa tetap diperjuangkan untuk terwujud.

Ditambah lagi Prabowo memiliki pengaruh ideosinkretik yang besar di berbagai kalangan, terutama kelompok muslim sebagai mayoritas penduduk di negara ini. Tentunya upaya kelompok oposisi di bawah komandonya akan mendapat dukungan besar dalam pertarungan opini publik melawan koalisi pemerintah saat proses pengambilan keputusan di parlemen.

Namun, sikap Prabowo seperti saat ini, akan merugikan dirinya dan partainya. Besar kemungkinan partai-partai koalisinya akan meninggalkannya akibat langkahnya menaikkan tensi politik setelah pemilihan, lantaran rentan berdampak gesekan horizontal yang bisa berakibat buruk bagi persepsi publik kepada mereka apabila turut di dalamnya.

Indikasi meninggalkan Prabowo sudah mulai terlihat dari Demokrat lewat surat perintah SBY agar seluruh kadernya undur diri dari BPN Prabowo-Sandiaga dan tak terlibat segala tindakan inkonstitusional. PAN pun terlihat enggan terlibat terlalu jauh dalam penggalangan opini yang dilakukan Prabowo terkait kecurangan di pemilu kali ini. Hanya Gerindra, partainya sendiri dan PKS yang memainkan peran sentral.

Seandainya nanti Demokrat dan PAN benar beralih ke koalisi Jokowi-Ma’ruf, maka semakin minimlah peluang terciptanya koalisi yang kuat di negeri ini. Sejarah pun akan berulang. Pemerintahan tak bisa terkontrol jalannya. Janji-janjinya di pemilu bakal banyak yang tak ditepati lagi. Sekali lagi rakyat yang bakal jadi korban dan, dengan segala maaf, Prabowo terlibat di dalamnya seperti juga periode lalu. Ketika partainya tak mampu menggalang penuh kekuatan oposisi dan perannya di parlemen sebatas garang ketika bersangkutan dengan kepentingan politik elite semata, seperti penyusunan UU Pemilu dan perebutan pimpinan DPR/MPR. Alih-alih menjadi saluran aspirasi masyarakat yang tak puas dengan kinerja pemerintahan Jokowi-JK.

Sebagai efek jangka panjang ketika Prabowo tak mampu menciptakan oposisi yang kuat, adalah sangat mungkin suara Gerindra bakal berkurang drastis pada pemilu selanjutnya karena citra yang buruk sebagai partai pasif dan hanya berpikiran kepentingan politik elite. Seperti halnya telah menimpa Demokrat yang berubah dari partai penguasa menjadi partai kelas menengah. Atau, lebih buruk lagi seperti Hanura yang kini terlempar dari parlemen. Sebab, bagaimanapun Gerindra, Demokrat dan Hanura sama-sama partai baru yang belum memiliki basis massa mengakar seperti halnya Golkar, PDIP dan PPP. Bukan pula partai dengan basis massa kultural besar seperti PKB, PKS dan PAN yang memiliki persinggungan dengan ormas Islam. Mereka selama ini mampu bertahan karena kekuatan ketokohohan. Prabowo di Gerindra, SBY di Demokrat dan Wiranto di Hanura.

Perlu diingat Prabowo, Indonesia menerapkan sistem trias politika. Kekuatan eksekutif hanya salah satu saja dalam menjalankan pemerintahan di negeri ini. Masih ada legislatif yang bisa digunakan untuk berjuang dan seperti dikatakan sebelumnya, Prabowo memiliki segala instrumen untuk berjuang di kamar ini. Yang perjuangannya bisa juga berimbas pada perbaikan jalannya yudikatif di negeri ini.

Maka, daripada terlalu fokus pada mengejar kemenangan eksekutif dengan menggalang opini yang bisa berimbas pada konflik horizontal, terancamnya demokrasi, mengorbankan rakyat, dan tenggelamnya Gerindra di masa mendatang, lebih baik Prabowo mengakui kekalahan lalu menegakkan kepala untuk menjadi pemimpin oposisi. Saya pikir langkah ini lebih patriotik demi mewujudkan Indonesia menang.
Saya dengan sepenuh hati mendukung Prabowo menjadi oposisi sejak ia memutuskannya.

Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.